Penggunaan kecerdasan buatan untuk membantu deteksi dan diagnosis penyakit kian akurat. Salah satunya, penyakit alzheimer.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan kecerdasan buatan untuk membantu tenaga kesehatan mendiagnosis penyakit terus berkembang. Tim peneliti dari Massachusetts General Hospital baru-baru ini mengembangkan metode deteksi alzheimer yang mengandalkan citra otak. Metode ini dapat membantu diagnosis yang lebih akurat.
Hasil studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal PLOS One, 2 Maret 2023. Peneliti kajian ini dari Massachusetts Alzheimer’s Disease Research Center, Matthew Leming, dan koleganya menggunakan deep learning, jenis machine learning dan kecerdasan buatan yang memakai sejumlah data dan algoritma kompleks untuk melatih pemodelan.
Dalam studi ini, para ilmuwan mengembangkan pemodelan untuk mendeteksi alzheimer berdasarkan pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak dari pasien dengan dan tanpa penyakit alzheimer di Massachusetts General Hospital sebelum tahun 2019.
Secara keseluruhan, penelitian itu menggunakan 11.103 citra MRI dari 2.348 pasien dengan risiko alzheimer dan 26.892 citra dari 8.456 pasien tanpa risiko alzheimer.
Kemudian, tim peneliti tersebut menguji model deteksi ini pada lima kumpulan data. Kelima kumpulan data ini ialah data pasien Massachusetts General Hospital sebelum 2019, data pasien sebelum dan sesudah 2019 di Brigham and Women’s Hospital, dan data pasien sebelum dan sesudah 2019 di luar kumpulan data dua rumah sakit tersebut. Pengujian terhadap data pasien di luar rumah sakit bertujuan untuk melihat tingkat akurasi model deteksi dalam mendiagnosis alzheimer berdasarkan data klinis dalam situasi yang sesungguhnya.
Dalam uji terhadap kelima kumpulan data, model tersebut mendeteksi risiko penyakit alzheimer dengan akurasi 90,2 persen. Inovasi penting dari penelitian ini antara lain kemampuan mendeteksi alzheimer terlepas dari variabel lain yang berpengaruh, seperti usia.
Penyakit alzheimer umumnya diderita oleh orang lanjut lansia dan model deep learning sering kali kesulitan mendeteksi gejala awal penyakit ini yang memang jarang diketahui. Seperti dikutip The Harvard Gazette, 3 Maret 2023, Leming mengatakan, ia dan timnya mengatasi hambatan itu dengan membuat model ”buta” terhadap citra otak yang terkait erat dengan usia.
Para ilmuwan mengembangkan pemodelan untuk mendeteksi alzheimer berdasarkan pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak dari pasien dengan dan tanpa penyakit alzheimer.
Selain itu, Leming juga menyampaikan, tantangan lainnya adalah deteksi penyakit, terutama dalam kondisi sesungguhnya, ketika dihadapkan pada kumpulan data yang berbeda dari kumpulan data yang dipakai saat penelitian. Misalnya, model deep learning yang dilatih menggunakan citra dari alat MRI buatan General Electric bisa gagal mengenali hasil pencitraan dari alat MRI produksi Siemens.
Model ini memakai metrik ketidakpastian untuk menentukan apakah data pasien terlalu berbeda dari data yang dimasukkan saat model dikembangkan sehingga dapat melakukan diagnosis dengan tepat.
”Ini satu-satunya studi yang memakai citra MRI otak untuk mendeteksi demensia. Sementara sudah banyak studi deep learning untuk mendeteksi alzheimer menggunakan citra MRI otak, riset ini mengambil langkah substansial dengan mengaplikasikannya dalam kondisi klinis sesungguhnya, berbeda dengan kondisi di laboratorium,” tutur Leming. ”Hasil kami, dengan lintas lokus studi, lintas waktu, dan lintas populasi, menjadi dasar yang kuat teknologi diagnosis ini untuk dipakai secara klinis.”
Studi serupa
Studi Leming dan koleganya tersebut mirip dengan studi yang dilakukan Carol Y Cheung dari Department of Ophthalmology and Visual Sciences Chinese University of Hong Kong dan kolega. Cheung menggunakan model deep learning untuk mendeteksi alzheimer berdasarkan foto retina. Studi kasus-kontrol multisenter retrospektif ini telah dipublikasikan di The Lancet Digital Health, 30 September 2022.
Dalam studi itu, Cheung melatih, memvalidasi, dan menguji algoritma deep learning untuk mendeteksi alzheimer berdasarkan foto-foto retina menggunakan data yang dikumpulkan secara retrospektif dari 11 studi. Studi-studi ini melibatkan pasien alzheimer dan orang-orang tanpa alzheimer di Singapura, Hong Kong, dan Inggris.
Sebanyak 526 orang dengan alzheimer dan 2.999 orang tanpa alzheimer berpartisipasi dalam riset ini dengan 12.132 foto retina dipakai dalam penelitian ini. Berdasarkan validasi internal, model deteksi ini mencapai akurasi 83,6 persen, sensitivitas 93,2 persen, dan spesifitas 82 persen.
Menurut Charles R Marshall dari Unit Neorologi Preventif Wolfson Institute of Population Health Queen Mary University of London, para peneliti telah tertarik untuk menggunakan retina sebagai penanda (biomarker) dalam mendeteksi dan mendiagnosis alzheimer.
”Retina adalah jendela yang relatif terbuka menuju otak dan ada bukti bahwa beberapa komponen patologi alzheimer terkait dengan perubahan retina sehingga menjadi penanda,” kata Marshall pada The Lancet Digital Health, 30 September 2022.