Hidup Damai dengan Menjaga Warisan Kemajemukan Nusantara
Sejumlah kota di Tanah Air sudah lama ditinggali orang-orang dari berbagai tempat. Pada zaman prakolonial, masyarakat Nusantara hidup rukun di tengah berbagai perbedaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak berabad-abad lalu, masyarakat Nusantara telah hidup di tengah keberagaman identitas, baik agama, kepercayaan, suku, ras, maupun budaya. Kemajemukan tersebut patut dijaga dalam kehidupan bermasyarakat yang damai di tengah perbedaan.
Sejarawan Peter Carey mengatakan, masyarakat Nusantara hidup dalam silang budaya sehingga tidak terpaku hanya pada satu pola. Sudah lama imigran menjadi bagian dari masyarakat Nusantara dan turut berkontribusi membentuk identitas multikultural.
Setidaknya terdapat tiga arus pokok yang membentuknya, yaitu dari Timur Tengah, India, dan Asia Timur, khususnya Tiongkok. Carey menyebutkan, berdasarkan kajian Lembaga Eijkman, rata-rata orang Indonesia yang dianggap pribumi mempunyai DNA dari tiga arus pokok itu.
Sejumlah kota di Tanah Air sudah lama ditinggali orang-orang dari sejumlah tempat. Pada zaman prakolonial, masyarakat Nusantara hidup rukun di tengah berbagai perbedaan.
”Kita perlu menghargai perbedaan seperti pada zaman prakolonial itu. Hidup dalam kemajemukan, hidup dalam damai,” ujarnya saat memberi ceramah umum Perbedaan Bisa Dikepangkan yang digelar secara hybrid, Jumat (10/3/2022).
Kegiatan ini merupakan proyek kolaborasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Hadir juga secara daring Rektor UAJY Prof Yoyong Arfiadi dan editor senior KPG Candra Gautama.
Masa prakolonial merupakan era sebelum datangnya kekuatan dari Eropa yang menguasai Nusantara. Pada zaman ini, eksis sejumlah kerajaan yang menjalankan pemerintahan.
Kita perlu menghargai perbedaan seperti pada zaman prakolonial itu. Hidup dalam kemajemukan, hidup dalam damai. (sejarawan Peter Carey).
Carey menuturkan, masyarakat di era itu sangat menghargai perbedaan. Mereka terbuka terhadap pendatang, baik dari Timur Tengah, India, maupun Asia Timur. ”Negara yang sukses adalah yang welcome pada banyak arus. Hal ini terjadi di Nusantara sejak lama,” ujarnya.
Kekerasan berbasis etnik beberapa kali terjadi pada masa kolonial. Pada 1740 (masa penjajahan Hindia Belanda), misalnya, terjadi pogrom terhadap orang-orang Tionghoa yang dikenal dengan ”Geger Pecinan”.
Padahal, orang Eropa, Timur Tengah, dan Tiongkok pernah berbaur dalam aktivitas perdagangan di Nusantara. Mereka juga bekerja sama dalam menentukan harga dan membangun jaringan pasar.
”Jadi, orang Arab dan Tionghoa turut membantu VOC (persekutuan dagang asal Belanda). Tanpa mereka, VOC akan buta dan tuli dalam aktivitas pasar,” katanya.
Teladan dari pemimpin
Carey menambahkan, pada masa prakemerdekaan, orang dari sejumlah daerah juga bekerja sama dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai contoh, para cendekiawan dari penjuru Nusantara dengan latar belakang berbeda bahu-membahu membangun semangat persatuan melawan penjajahan.
”Identitas sebagai orang Indonesia harus dibangkitkan dari generasi ke generasi untuk betul-betul digali dari waktu ke waktu. Kita butuh teladan dari pemimpin yang menghargai dan menjiwai kemajemukan,” ucapnya.
Prof Yoyong Arfiadi menuturkan, Indonesia merupakan negara yang unik karena memiliki ribuan pulau dengan beragam suku bangsa dan bahasa. Namun, keberagaman itu dapat dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan dan merugikan.
”Multikulturalisme harus dipandang setiap entitas atau individu perlu menghargai perbedaan dan mempunyai hak pelayanan yang sama. Keberhasilan mengelola perbedaan adalah ciri masyarakat maju dan modern,” ujarnya.
Identitas sebagai orang Indonesia harus dibangkitkan dari generasi ke generasi untuk digali dari waktu ke waktu. Kita butuh teladan dari pemimpin yang menghargai dan menjiwai kemajemukan.
Candra Gautama menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir terjadi ketegangan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Salah satu penyebabnya, terdapat kelompok masyarakat yang memaksakan keyakinannya sebagai hal paling benar.
”Marilah kita mengingat rumusan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sangat berwawasan dan visioner. Itulah pedoman berperilaku dalam kehidupan beragama di Indonesia,” katanya.