Obesitas pada anak perlu diatasi dengan membatasi konsumsi makanan tinggi gula. Selain itu, mispersepsi bahwa anak gemuk sebagai indikator keberhasilan merawat anak perlu diluruskan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pola makan yang tidak sehat memicu obesitas atau kegemukan pada anak. Persoalan itu bisa diatasi antara lain dengan membatasi konsumsi makanan dan minuman yang mengandung kadar gula tinggi. Selain itu, persepsi keliru bahwa berat badan berlebih sebagai simbol kemakmuran perlu diluruskan.
Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018 menyebut, obesitas sentral pada usia 15 tahun ke atas meningkat hampir dua kali lipat selama sepuluh tahun terakhir.
Peningkatan tersebut terjadi dari 18,8 persen pada tahun 2007 menjadi 31 persen pada tahun 2018. Adapun indikator obesitas sentral adalah lingkar perut pada perempuan lebih dari 80 sentimeter dan pada laki-laki lebih dari 90 sentimeter.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, faktor lingkungan cenderung lebih berpengaruh menjadi penyebab diabetes pada anak ketimbang faktor genetika. Salah satu faktor yang memengaruhi yakni, mengonsumsi makanan dan minuman tinggi gula.
”Obesitas terjadi akibat pola makan telanjur buruk. Apalagi di sekitar kita beredar makanan ringan (snack) dan minuman berkalori tinggi dan berkadar gula tinggi,” kata Piprim dalam webinar yang diadakan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bertajuk ”Obesitas Pada Anak dan Dampaknya”, di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Menurut Piprim, sifat dari makanan junkfood dan minuman berkadar gula tinggi dapat menaikkan gula darah dengan cepat dan merangsang rasa lapar dengan cepat. Hal itu mengakibatkan anak secara terus-menerus mengonsumsi makanan dan minuman berkadar gula tinggi.
Berdasarkan Analisis Lanskap Kelebihan Berat Badan dan Obesitas di Indonesia yang dilakukan oleh Unicef pada tahun 2021, pola makan anak-anak di Indonesia dinilai buruk. Hal itu ditandai antara lain asupan makanan dan minuman tinggi gula secara berlebihan, yakni di atas 25 gram dalam sehari.
Lebih dari separuh populasi anak dan remaja kelompok usia 5-19 tahun di Indonesia mengonsumsi minuman dan makanan berkadar gula tinggi sekali atau lebih dalam sehari. Kondisi itu diperparah minimnya aktivitas fisik anak. Kurang dari separuh anak-anak di Indonesia beraktivitas fisik 60 menit per hari sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tingkat keberhasilan kita mengatasi masalah obesitas rendah karena ada anggapan bahwa gendut itu makmur, gendut itu lucu. Kalau kurus, malah jadi pertanyaan dan dianggap kurang gizi. Kita perlu buat jargon gendut itu tidak sehat.
”Semakin hari, gula rasanya seperti tembakau dalam bentuk yang baru. Tata laksana sudah dilakukan, tetapi kepatuhannya rendah karena godaan tinggi. Di luar negeri, minuman-minuman yang dianggap berbahaya dikenai pajak atau sugar tax,” kata Piprim.
Sebelumnya, wacana terkait pengenaan pajak khusus terhadap minuman berpemanis telah mencuat sejak tahun lalu. Hal itu disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
”Kementerian Kesehatan telah menyurati Kementerian Keuangan terkait penanganan cukai minuman berpemanis dalam kemasan tertanggal 14 April 2022. Sudah kami bahas juga dalam beberapa rapat yang membahas mengenai formulasi ketentuan tersebut,” jelas Eva.
Bagi sebagian besar orangtua, kondisi fisik kerap menjadi tolok ukur kesejahteraan sekaligus keberhasilan merawat anak. Anak yang berbadan gempal atau gendut dengan pipi tembem justru dianggap hal positif sekaligus jadi simbol kemakmuran.
”Tingkat keberhasilan kita mengatasi masalah obesitas itu rendah karena ada anggapan bahwa gendut itu makmur, gendut itu lucu. Kalau kurus, malah jadi pertanyaan dan dianggap kurang gizi. Kita perlu buat jargon bahwa gendut itu tidak sehat,” ujar Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI Muhammad Faizi.
Walakin, Faizi mengingatkan, ukuran obesitas pada anak secara pasti dapat dilihat melalui perbandingan antara berat badan dan tinggi badan. Secara kasar, perhitungan berat badan anak dihitung dengan rumus 8 dijumlahkan 2 kali usia.
Namun, perhitungan pasti itu dapat dilakukan melalui pengukuran di fasilitas kesehatan. ”Lebih baik kita disibukkan dengan hal lain daripada dengan pola hidup yang tidak sehat atau dalam hal ini, penyakit yang bisa dicegah,” katanya.