Satu dari lima anak usia 5-12 tahun dan satu dari tujuh remaja usia 13-18 tahun di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Oleh sebab itu, pola hidup sehat perlu digencarkan mulai dari keluarga.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi obesitas anak di Indonesia terus meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Padahal, obesitas memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit tidak menular. Salah satu upaya memutus mata rantai obesitas sejak dini adalah dengan mulai menerapkan pola hidup sehat.
Prevalensi obesitas dan berat badan berlebih pada anak berusia 5-9 tahun meningkat hingga dua kali lipat selama 10 tahun terakhir. Peningkatan prevalensi obesitas anak terjadi pada 2006-2016 dari 2,8 persen menjadi 6,1 persen. Sementara prevalensi berat badan berlebih meningkat dari 8,6 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada 2016.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyampaikan, anak-anak dan remaja obesitas memiliki risiko lima kali lebih tinggi mengalami obesitas di masa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit tidak menular. Selain itu, obesitas turut berkontribusi pada penyebab kematian akibat penyakit jantung sebesar 5,87 persen dari total kematian serta diabetes dan penyakit ginjal sebesar 1,84 persen dari total kematian.
”Obesitas harus kita turunkan prevalensinya. Jadi, tidak ada kenaikan prevalensi obesitas. Ada beberapa upaya yang kita lakukan, salah satunya gerakan masyarakat hidup sehat,” ujar Eva pada acara ”Stop Rantai Obesitas Sedini Mungkin” yang diadakan Nutrifood Indonesia dalam rangka Hari Obesitas Sedunia 2023 di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, prevalensi obesitas pada penduduk usia 18 tahun ke atas ditargetkan tidak melebihi 21,8 persen. Untuk mencapai hal itu, Kemenkes melalui Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rencana Strategis 2020-2024 menargetkan sebanyak 90 persen penduduk berdasarkan kelompok usia melakukan skrining penyakit tidak menular pada 2024.
Pola hidup sehat
Dokter spesialis gizi klinis Rumah Sakit Siloam Jakarta, Marya Haryono, mengatakan, obesitas terjadi akibat adanya tumpukan lemak yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Penyebab utamanya adalah genetik, asupan makan berlebih, dan aktivitas fisik yang rendah.
”Dampak jangka pendek, anak jadi kurang aktif, mudah mengantuk, serta bisa juga mendengkur saat tidur. Sementara jangka panjangnya, berisiko terkena stroke, serangan jantung, diabetes, dan sebagainya,” ujar Marya.
Untuk mengantisipasinya, masyarakat perlu menerapkan pola hidup sehat. Salah satu penerapannya adalah dengan memberikan gizi seimbang kepada anak sesuai anjuran dari Kemenkes, yaitu dalam satu piring makanan, persentase sayuran sebesar dua kali lipat jumlah sumber karbohidrat dan protein.
Selain memperhatikan pola makan, membiasakan aktivitas fisik pada anak tidak kalah penting. Hal itu karena anak-anak dan remaja Indonesia memiliki tingkat aktivitas fisik yang tidak memadai
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dalam Analisis Lanskap Kelebihan Berat Badan dan Obesitas di Indonesia menyebut, 57 persen anak-anak dan remaja tidak memenuhi aktivitas fisik seusai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Badan di bawah PBB tersebut merekomendasikan agar anak-anak dan remaja beraktivitas fisik sedikitnya 60 menit per hari selama lima hari dalam seminggu.
Penerapan pola hidup sehat tidak lepas dari peran keluarga. Eva menambahkan, memberikan makanan bergizi seimbang dan menciptakan kebiasaan beraktivitas fisik pada anak sejak dini dapat memutus rantai obesitas sejak dini.
Peran keluarga sangat penting untuk bisa memutus rantai obesitas karena dalam keluarga bisa diciptakan kebiasaan-kebiasaan baik terkait perubahan pola perilaku. Selain itu, penting juga untuk melakukan skrining kesehatan enam bulan sekali.
”Peran keluarga sangat penting untuk bisa memutus rantai obesitas karena dalam keluarga bisa diciptakan kebiasaan-kebiasaan baik terkait perubahan pola perilaku. Selain itu, penting juga untuk melakukan skrining kesehatan enam bulan sekali,” lanjut Eva.
Pilihan kemasan Selain itu, masyarakat diminta agar memperhatikan label kemasan makanan dan minuman untuk membatasi asupan gula, garam, dan lemak. Dalam sehari, batas maksimal konsumsi gula seseorang adalah 50 gram, garam sebesar 1 gram, dan lemak sebesar 67 gram.
”Dengan selalu cermat membaca label kemasan dan menjadikannya sebagai kebiasaan, masyarakat akan lebih cerdas untuk memilah zat gizi apa yang harus dipenuhi dan yang harus dibatasi agar terhindar dari berbagai penyakit, salah satunya obesitas,” tutur Pengawas Farmasi Makanan Ahli Muda Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Meliza Suhartatik.
Meliza menjelaskan, salah satu cara untuk memudahkan masyarakat memilih makanan dan minuman yang lebih sehat adalah mencantumkan keterangan logo ”Pilihan Lebih Sehat” pada kemasan yang memenuhi kriteria kandungan gula, garam, lemak, dan zat gizi lainnya. Dengan begitu, masyarakat diharapkan bijak memilih produk dan tetap mengonsumsinya dalam jumlah yang wajar.