Hidup Sehat Setelah Susah Cari Ukuran Pakaian yang Pas
Motivasi seseorang menurunkan berat badan amatlah beragam. Seperti yang dialami oleh Meirza Hartoto (42), dia ingin berat badannya turun lantaran kesulitan ketika mencari pakaian yang pas.
Mencapai berat badan ideal menjadi fragmen tersendiri dalam sejarah hidup Meirza Hartoto (42). Masih membekas dalam ingatannya saat dia mulai memantapkan diri menurunkan berat badan. Pemicunya sederhana, sulit mencari ukuran pakaian yang pas.
Pria berkacamata itu menarik kedua ujung bibirnya tatkala mulai berkisah tentang masa lalunya. Cerita dimulai dari les renang yang ia ikuti saat duduk di bangku kelas dua SD. Setiap kali selesai berenang, nafsu makan Meirza meningkat.
”Terus juga makanan selalu tersedia di rumah. Saya bisa makan nasi goreng jam sembilan malam, lalu mi instan dua ditambah nasi. Semakin lama saya merasa jadi tidak mudah kenyang,” ujar Meirza saat ditemui di Plaza Indonesia, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Pola makan seperti itu terus berlanjut sampai Meirza menginjak bangku SMA. Tanpa disadari, berat badannya telah mencapai 100 kilogram dengan tinggi badan 170 sentimeter. Mengacu Indeks Massa Tubuh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Meirza tergolong obesitas dengan hasil perhitungan 34,6.
Angka tersebut diperoleh dengan menghitung berat badan dibagi dengan tinggi badan kuadrat yang satuannya diubah ke dalam meter terlebih dahulu. WHO mengklasifikasikan empat kategori IMT orang Asia-Pasifik, yakni berat badan kurang (kurang dari 18,5), normal (18,5-22,9) berat badan berlebih (23-24,9) dan obesitas (lebih dari sama dengan 25).
Dengan kondisi seperti itu, Meirza mulai kesulitan saat membeli pakaian. Dari berbagai jenis ukuran, tak satu pun sesuai dengan tubuh Meirza. Puncaknya, pria lulusan Institut Pertanian Bogor itu merasa kesal dengan kondisi fisiknya.
”Simpel saja karena setiap kali membeli baju atau celana enggak ada ukuran yang pas. Mau tidak mau harus jahit sendiri. Dari situ, saya merasa menjadi minoritas sehingga saya memutuskan untuk menurunkan berat badan,” ucap Meirza.
Jangan khawatir, obesitas bisa dicegah dan berat badan bisa diturunkan dengan mulai mengatur jumlah kalori yang dikonsumsi, melakukan olahraga, dan tentunya memiliki komitmen kuat untuk menurunkan berat badan.
Namun, pilihan diet yang dipilih Meirza justru cenderung ekstrem. Selama empat hari dalam sepekan, Meirza hanya mengonsumsi apel dan labu siam sehingga berat badannya turun drastis 10 kilogram selama satu bulan. Padahal, dalam program diet yang baik, penurunan berat badan dianjurkan 0,5-1 kilogram dalam sepekan atau maksimal 4 kilogram dalam sebulan.
Selama menjalani diet tersebut, Meirza justru kesulitan berkonsentrasi dan berkomunikasi. Bahkan, pernah satu waktu, Meirza jatuh pingsan lantaran energi yang ia keluarkan untuk berbagai aktivitas tidak diimbangi dengan asupan makanan yang cukup.
Akhirnya, Meirza meninggalkan cara dietnya tersebut. Berbekal pengetahuan yang diperoleh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Meirza mulai menghitung jumlah kalori yang masuk dan keluar. Buah manis pun dipetiknya, diet tidak lagi mengganggu aktivitasnya. Kini, berat badan ideal berhasil Meirza pertahankan selama 20 tahun.
”Kita harus punya komitmen dan tujuan yang kuat karena kalau setengah-setengah pasti gagal. Selain itu, perlu juga mengubah pola pikir tentang mengatur pola makan, bukan tidak makan. Obesitas itu tidak ada nilai positifnya, berbahaya, dan sumber segala penyakit,” kata Meirza.
Meirza berpesan kepada mereka yang masih ingin atau sedang menurunkan berat badan. ”Kuncinya, mengatur pola makan dan berolahraga. Simpel saja, sediakan waktu 30 menit per hari selama empat hari dalam seminggu. Bisa dimulai dengan berjalan,” lanjut.
Baca juga: Obesitas, Ancaman dari Gaya Hidup Serba Praktis
Diet sehat
Dokter Spesialis Gizi Klinis di RS Stella Maris, Makassar, Nurpudji A Taslim, menganjurkan, usaha menurunkan berat badan dengan diet harus tetap memperhatikan kebutuhan nutrisi yang seimbang. Komponen gizi tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral sesuai dengan kebutuhan tubuh.
”Dengan kata lain, tetap mengonsumsi makanan yang harus memenuhi kriteria bergizi, bervariasi, dan berimbang. Ini bisa dilakukan mengingat begitu banyaknya bahan pangan di sekitar kita, seperti ikan, sayur-mayur, dan buah-buahan,” kata Nurpudji, yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia periode 2015-2018.
Selain itu, komitmen untuk melakukan aktivitas fisik juga diperlukan. Sebab, obesitas terjadi akibat asupan makanan yang lebih banyak ketimbang aktivitas untuk membakar kalori yang dilakukan. Oleh sebab itu, perlu keseriusan mulai dari diri sendiri untuk mengatur pola makan agar terhindar dari obesitas.
Menurut Nurpudji, ada beberapa hal yang berkontribusi sangat besar terhadap obesitas, seperti perubahan gaya hidup, ketersediaan makanan siap santap yang tinggi lemak dan garam, serta faktor genetik yang diturunkan dari orangtua.
”Jangan khawatir, obesitas bisa dicegah dan berat badan bisa diturunkan dengan mulai mengatur jumlah kalori yang dikonsumsi, melakukan olahraga, dan tentunya memiliki komitmen kuat untuk menurunkan berat badan,” lanjut Nurpudji.
Sejak dini
Kesadaran hidup sehat dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan aktivitas fisik rutin perlu ditanamkan sejak kecil. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi obesitas pada anak balita sebesar 8 persen. Jumlah ini menurun dari tahun 2013, yakni 11,9 persen. Akan tetapi, pada 2018, obesitas pada usia dewasa di atas 18 tahun justru tinggi, yakni 21,8 persen atau naik dari 15,49 persen tahun 2013.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan, obesitas pada anak ditengarai akibat jumlah makanan yang dikonsumsi dan frekuensi makan anak. Apalagi, makanan tersebut mengandung kadar gula dan karbohidrat yang tinggi, seperti pada makanan ringan dan makanan siap saji.
”Orangtua kita dulu makan pagi sarapan dengan nasi, sayur, dan lauk-pauk. Sekarang, anak-anak makan pagi, misal dengan donat. Padahal, donat itu membuat gula darah cepat naik dan cepat juga turun sehingga memicu kembali rasa lapar. Belum lagi, banyak minuman kemasan yang turut mengandung gula,” ujar Piprim.
Dengan demikian, peran orangtua dalam mengatur pola makan anak sangatlah diperlukan. Bukan soal kenyang dan makan secara lahap, lebih dari pada itu, orangtua sebaiknya memantau apa yang dikonsumsi anak.
Baca juga: Diabetes Melitus pada Anak Berkaitan Erat dengan Kondisi Obesitas
Selain faktor makanan, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak(Unicef) melalui Analisis Lanskap Kelebihan Berat Badan dan Obesitas di Indonesia juga mencatat, 57 persen anak-anak dan remaja tidak memenuhi aktivitas fisik seusai dengan rekomendasi WHO. Padahal, WHO merekomendasikan agar anak-anak dan remaja beraktivitas fisik sedikitnya 60 menit per hari selama lima hari dalam seminggu.
Motivasi untuk menurunkan berat badan dapat diperoleh dari berbagai peristiwa, salah satunya pengalaman mencari pakaian. Di sisi lain, keluarga sebagai lingkungan terdekat sangatlah berpengaruh dalam hal pola makan dan beraktivitas.