Indonesia kekurangan penghargaan kesusastraan. Karya sastra perlu diapresiasi karena ikut berperan merawat pemikiran bangsa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghargaan kesusastraan di Tanah Air masih sangat minim. Padahal, karya sastra juga berperan merawat pemikiran bangsa sehingga perlu diapresiasi.
Sastrawan Ayu Utami mengatakan, Indonesia kekurangan penghargaan kesusastraan. Sejak tahun lalu, ia memberi apresiasi kepada penulis pemula melalui sayembara Hadiah Sastra untuk Pemula Rasa.
”Semoga hadiah sastra ini bisa berlanjut, semakin baik, dan ikut merawat pemikiran bangsa Indonesia,” ujarnya dalam pengumuman pemenang sayembara itu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (26/2/2023) sore.
Menurut Ayu, pemikiran tidak hanya sesuatu yang rasional berupa teori atau filsafat. Karya sastra yang terkadang tidak konseptual, bahkan liar, juga merupakan pemikiran yang harus dipelihara.
”Akhirnya kita sama-sama bergerak untuk mencari apa yang bagus. Itulah yang akan menjaga kewarasan kita sebagai manusia dan masyarakat,” katanya.
Penulis novel Saman itu menjelaskan, berdasarkan pengalamannya sebagai juri lomba menulis, selalu muncul karya yang menggali cerita-cerita lokal. Hal ini turut memanggungkan keberagaman Indonesia, termasuk dalam budaya dan kemajemukan masyarakatnya.
Sayembara atau bentuk penghargaan sastra lainnya tidak hanya memotivasi penulis untuk berkarya. Namun, hal itu juga menghadirkan kritik sastra dari respons terhadap karya sastra yang dilombakan.
”Mungkin saja kritik sastra tidak menyenangkan buat orang yang mencari hiburan dari membaca tulisan. Namun, untuk spesialis tertentu, hal ini akan berguna. Bahkan, untuk para finalis, saya surati secara personal,” tuturnya.
Sayembara atau bentuk penghargaan sastra lainnya tidak hanya memotivasi penulis untuk berkarya. Namun, hal itu juga menghadirkan kritik sastra dari respons terhadap karya sastra yang dilombakan.
Menurut Ayu, pengaruh karya sastra pada masyarakat tidak cuma didasarkan pada isi karya tersebut. Ia mencontohkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer yang bisa diakses banyak orang.
”Buku karyanya berpengaruh karena Pramoedya dibicarakan, ditahan, dan direpresi. Jadi, tidak hanya dilihat dari bukunya. Harus ada momentum yang menggemakannya,” ucapnya.
Sayembara Hadiah Sastra untuk Pemula Rasa 2023 diikuti oleh 14 naskah. Lima karya terpilih sebagai finalis, yaitu Yang Menguar di Gang Mawar karya Asri Pratiwi Wulandari, Jalan Lahir karya Dias Novita Wuri, Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein karya Muhammad Nanda Fauzan, Melepaskan Belenggu karya Rumadi, dan Arum Manis karya Teguh Affandi.
Novel Jalan Lahir karya Dias Novita Wuri menjadi pemenang utama dan mendapatkan hadiah uang tunai Rp 10 juta. Novel ini bercerita tentang silsilah kecil keluarga—nenek, ibu, dan anak perempuan—yang bisa saja dibaca sebagai keping-keping sisi lain sejarah Indonesia modern sebagai anak haram yang muram dan hampa cinta. Kekuatan novel ini adalah bahasa yang kaya dan puitis serta intensitas imaji-imajinya.
Tren kemurungan
Ayu menuturkan, terdapat beberapa tren sayembara tahun lalu yang berlanjut pada tahun ini. ”Dari sisi isi tidak banyak perbedaan. Ada beberapa tren yang terus berjalan, misalnya tentang kemurungan. Ini cukup dominan,” ujarnya.
Sayembara tahun lalu dimenangi oleh Sasti Gotama melalui buku kumpulan cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam. Adapun pemenang kedua adalah Thoriq Aufar lewat karya Sekadar Cerita Duniawi dan pemenang ketiga Hilmi Faiq melalui buku kumpulan cerpen Pemburu Anak.
Ide tentang hadiah sastra ini terpikirkan Ayu Utami saat menerima penghargaan Achmad Bakrie untuk kesusastraan pada 2018. Ia berniat menggunakan hadiah penghargaan itu berupa uang tunai Rp 250 juta menjadi hadiah tahunan untuk penulis pemula.
Beberapa syarat sayembara tersebut adalah belum pernah mendapatkan penghargaan sastra dan baru menerbitkan maksimal tiga buku novel atau cerpen (bukan antologi bersama penulis lain). Selain itu, karya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan sebagai buku fisik ber-ISBN (International Standard Book Number).
”Buku dengan ISBN juga menjadi saringan untuk buku-buku yang sudah cukup baik. Peran penerbit pun besar karena menjadi pintu terakhir menjaga bahasanya,” katanya.
Finalis sayembara tahun ini, Teguh Affandi, mengatakan, Hadiah Sastra untuk Pemula Rasa itu menambah variasi penghargaan sastra di Indonesia. Hal ini memotivasi penulis pemula di tengah minimnya ajang penghargaan sastra di dalam negeri.
”Penghargaan ini merangsang para penulis pemula karena karyanya dihargai dan dibicarakan,” katanya.
Editor sastra Gramedia Pustaka Utama itu berharap semakin banyak penghargaan sastra di Indonesia. Hal ini bisa menjadi wadah bagi penulis di penjuru Nusantara untuk mengenalkan kemajemukan bangsa lewat cerita.
”Melalui karya sastra, kita bisa membaca kisah dari pelosok Papua, Kalimantan, dan daerah lainnya. Bukan hanya dari Jawa yang sekarang masih mendominasi. Penulis harus mewakili suara-suara yang belum ada,” ujarnya.