Tafsir visual atas karya sastra tak bisa dipenjara oleh satu makna. Seni kolase menjelajah ide-ide karya sastra dan merekonstruksinya melalui kepingan-kepingan gambar dengan kaya nuansa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana pameran seni kolase “Cutting Cyclus” di Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Karya dengan sejumlah obyek abstrak itu disusun menggunakan potongan-potongan koran, majalah, dan media kertas lainnya.
Tafsir visual atas karya sastra tak bisa dipenjara oleh satu makna. Keberagaman interpretasi membuatnya sering direspons dalam berbagai sudut pandang. Seni kolase menjelajah ide-ide karya sastra dan merekonstruksinya melalui kepingan-kepingan gambar dengan kaya nuansa.
Puluhan karya seni kolase memenuhi dinding Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Karya dengan sejumlah obyek abstrak itu disusun menggunakan potongan-potongan koran, majalah, dan media kertas lainnya.
Tidak banyak narasi untuk menjelaskan aneka karya dalam pameran kolase ”Cutting Cyclus” yang digagas kolektif seni Milisi Filem itu. Namun, setiap kolase menyelami makna karya sastra dari sejumlah sastrawan penting, seperti Toeti Heraty, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Franz Kafka, dan Yukio Mishima.
Kolase berjudul ”Cyclus” karya seniman Mardi Al Anhar menginterpretasikan puisi Toeti Heraty dengan judul yang sama. Ia meresponsnya dalam tujuh obyek visual berbahan potongan-potongan majalah dan koran.
Lima obyek penuh beragam warna, sementara dua lainnya didominasi warna hitam. ”Kenikmatan membuat karya seperti ini adalah merekonstruksi ide yang belum ada penampakannya (visual). Adanya hanya di imajinasi untuk dituangkan dalam bentuk kolase,” ujarnya.
Kolase berjudul Cyclus karya seniman Mardi Al Anhar ditampilkan dalam pameran seni kolase “Cutting Cyclus” di Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
Sebelum memilah bahan dan merangkainya, Al terlebih dahulu mempelajari puisi tersebut. Agar lebih fokus, ia menekankan pada kata-kata yang dinilai imajinatif, seperti ”getir”, ”hati”, dan ”hutan”.
Sejenak pun tak akan kubiarkan/Hiruk-pikuk pikir dan getir merasuki hati/Hutan belalang yang tak terseberangi lagi/Karena kau telah resmi minta diri. Begitu salah satu penggalan sajak puisi “Cyclus”.
Kata-kata imajinatif itu membantu Al membingkai obyek yang ingin dirangkai. Puisi itu mencampuradukkan beragam perasaan. Ia pun meresponsnya dengan menggunakan banyak warna, mulai dari yang cerah hingga gelap.
Interpretasi terhadap puisi tersebut menjadi gagasan untuk visualisasi. Namun, guntingan-guntingan kertas yang telah disiapkan tidak membentuk obyek tertentu.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Puluhan karya kolase ditampilkan dalam pameran seni kolase “Cutting Cyclus” di Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
”Kolase ini tidak menjurus pada salah satu obyek. Belum tentu juga penonton (pengunjung pameran) pernah melihat obyek ini sebelumnya. Sebab, visualnya berangkat dari gagasan yang jauh lebih abstrak,” jelasnya.
Al membebaskan pengunjung untuk memaknai karya kolasenya. Baginya, keberagaman perspektif justru membuat karya seni semakin menarik karena akan melahirkan banyak gagasan yang memperkaya interpretasi karya tersebut.
“Kolase berdasarkan karya sastra sangat memperkaya wawasan seniman dalam berkarya. Ini sejalan dengan sejarah karya seni sebagai konsepsi. Ide menjadi dasar menemukan konsepsi yang ditawarkan ke publik,” ujarnya.
Sastrawan dan kolumnis, Linda Christanty, mengatakan, puisi ”Cyclus” mengekspresikan kisah seorang perempuan yang kehilangan atau ditinggalkan orang yang dicintainya. Sosok aku lirik dalam puisi itu menolak kegetiran merasuki hatinya. Meskipun pada kelanjutannya ia tidak bisa menolak kegetiran itu.
Sastrawan dan kolumnis Linda Christanty menghadiri bincang-bincang pemeran seni kolase “Cutting Cyclus” di Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
Linda memaknai garis-garis beraneka warna dalam kolase karya Al tersebut sebagai lambang penolakan dari kegetiran. Sementara garis atau obyek berwarna gelap sebagai getir yang pada akhirnya tidak bisa dihindari.
Akan tetapi, tidak semua kolase yang dipamerkan bisa ia tangkap ceritanya. Sastrawan dan seniman sangat mungkin mempunyai perbedaan cara pandang dalam menginterpretasikan karya sastra.
”Mungkin interpretasinya sudah sangat bebas. Interpretasi terhadap karya adalah satu hal yang dibuka seluas mungkin. Jadi, tidak ada batasan bagaimana karya sastra dibaca atau ditafsir,” katanya.
Pada kolase lain berjudul ”Si Hasan”, masih terlihat keterkaitan dengan cerita novel ”Atheis” karya Achdiat Karta Mihardja. Hasan merupakan tokoh utama dalam novel tersebut. Kolase ini dibuat oleh seniman Anisa Nabilla Khairo dam Panji Anggira.
Keberagaman perspektif justru membuat karya seni semakin menarik karena akan melahirkan banyak gagasan yang memperkaya interpretasi karya tersebut.
Novel itu bercerita tentang pencarian jati diri Hasan. Ia digambarkan mengalami penderitaan yang bertubi-tubi.
”Saya bisa melihat bagaimana (novel) Atheis yang 200-an halaman itu diringkas dalam kolase. Ini mencengangkan sekaligus mengagumkan,” ujar Linda.
Kristus di Medan Perang
Pameran yang digelar hingga 28 Januari mendatang itu juga menampilkan kolase interpretasi puisi Sitor Situmorang berjudul ”Kristus di Medan Perang”. Seniman Syarifa Amira Satrioputri membuat tujuh obyek visual pada kolase tersebut.
Ia menyeret diri dalam lumpur/Mengutuk dan melihat langit gugur/Jenderal pemberontak segala zaman/Kuasa mutlak terbayang di angan. Demikian penggalan sajak puisinya.
Syarifa merasakan nuansa spiritualitas dalam puisi itu. Namun, medan perang yang digambarkan juga penuh kengerian lewat beberapa kata, seperti ”dihanguskan” dan ”dihancurkan”.
Kolase berjudul "Kristus di Medan Perang" karya seniman Syarifa Amira Satrioputri ditampilkan dalam pameran seni kolase “Cutting Cyclus” di Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
”Itu hal-hal maskulin yang mengerikan. Puisi Sitor memasukkan Kristus sebagai tokoh sangat berpengaruh,” ujarnya.
Syarifa membuat kolase dengan potongan majalah bergambar organ manusia, seperti kaki, tangan, dan wajah. Pilihan material kolase ini seperti menjembatani pemaknaan puisi tersebut.
”Saya membiarkan penikmatnya menginterpretasikan dengan bebas. Yang jelas, kolase membutuhkan konteksualisasi. Jadi, ide dalam puisi itu harus dimunculkan dalam visual,” ujarnya.
Pembuatan kolase berdasarkan respons terhadap karya sastra menjadi pengalaman perdana baginya. Tantangannya tidak hanya dalam mengimajinasikan gagasan, tetapi juga menentukan material yang sesuai dengan gagasan tersebut.
”Contohnya kalau kita mengimajinasikan langit. Namun, ternyata tidak ada potongan majalah atau koran yang sesuai dengan obyek langit. Jadi, kita harus merepresentasikannya dengan keterbatasan bahan itu,” ucapnya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Kurator pameran seni kolase “Cutting Cyclus”, Hafiz Rancajale (kanan), berdialog dengan pengunjung di Auditorium Cemara 6 Galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
Kurator pameran Hafiz Rancajale menuturkan, salah satu keunikan seni kolase adalah gambar-gambar yang digunakan tidak diciptakan melainkan ditemukan dari koran dan majalah. Temuan visual itu kemudian dikonstruksi menjadi bentuk yang artistik.
Konstruksi bertolak dari interpretasi terhadap puisi, cerpen, atau novel yang dianggap penting. ”Tantangan terbesarnya, tidak semua orang terbiasa membaca teks sastra. Kedekatan partisipan dengan karya sastra sangat beragam. Namun, ada bahasa penghubung, yaitu kesadaran pada garis, komposisi, dan visual lain,” katanya.
Seni kolase membuka jalan lain dalam memaknai karya sastra. Perbedaan interpretasi bukanlah antitesis untuk menuju benar atau salah, tetapi dialog pemaknaan yang merdeka dalam memperkaya wawasan berkarya.