Hilang Nyawa karena Hoaks Merajalela
Kerusuhan akibat isu penculikan anak di Wamena, yang merenggut belasan nyawa, memperpanjang catatan kelam ganasnya penyebaran hoaks. Tanpa penguatan benteng literasi, hoaks berpotensi memangsa lebih banyak korban.
Keganasan penyebaran hoaks kembali menelan korban. Berawal dari kabar bohong mengenai penculikan anak di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, belasan nyawa melayang akibat bentrokan antara warga dengan aparat gabungan TNI dan Polri. Kerentanan ini terus mengintai di tengah rendahnya literasi masyarakat dan merenggangnya kohesi sosial.
Hoaks penculikan anak merebak di Kampung Sapalek, Jalan Trans-Irian, Wamena, Kamis (23/2/2023). Sejumlah warga menghentikan pengendara mobil yang melintasi daerah tersebut karena dicurigai komplotan penculik anak.
Sejumlah polisi mendatangi lokasi itu untuk menghentikan tindakan warga terhadap sopir tersebut. Namun, imbauan petugas tak dihiraukan. Warga yang bertambah banyak menyerang polisi dengan batu dan panah.
Aparat yang diserang mendapatkan bantuan dari personel Brimob dan TNI. Bentrokan pun tak terelakkan. Massa juga membakar 13 rumah dan dua kios. Hingga Sabtu (25/2/2023), 12 warga dilaporkan tewas serta 23 warga dan 18 aparat keamanan terluka.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, kerusuhan akibat hoaks penculikan anak telah berulang kali terjadi. Pada bulan lalu, misalnya, warga di Kota Sorong, Papua Barat Daya, yang terprovokasi hoaks membakar seorang perempuan karena dicurigai penculik anak.
Baca juga: Korban Tewas Kerusuhan Wamena Jadi 12 Orang, Situasi Berangsur Kondusif
Hoaks penculikan anak tak hanya memakan korban di tanah Papua. Pada Maret 2017, seorang pria tewas diamuk massa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pria asal Bandung, Jawa Barat, itu dikeroyok warga karena dicurigai penculik anak. Padahal, korban sedang mengunjungi rumah kerabatnya.
Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, seorang pria dikeroyok warga menggunakan kayu dan batu pada November 2018. Amarah warga akibat tersulut kabar bohong itu menyebabkan korban meninggal setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Lima pedagang jaket kulit asal Garut, Jabar, juga menjadi korban hoaks penculikan anak saat sedang berjualan di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, awal Februari lalu. Kelima korban selamat, tetapi mobil yang ditumpangi rusak diamuk massa.
”Kejadian seperti ini akan terus terulang jika hoaks masih merajalela dan tidak ada tindakan lebih masif untuk mencegahnya,” ujar Septiaji saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (25/2/2023).
Menurut Septiaji, mudahnya masyarakat terhasut kabar bohong dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satunya literasi yang belum merata membuat masih banyak masyarakat tidak bisa membedakan hoaks dan informasi tepercaya atau fakta.
Isu-isu emosional seperti penculikan anak dengan mudah memengaruhi masyarakat. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegakan hukum belum begitu kuat sehingga lebih memilih untuk main hakim sendiri.
”Masyarakat dengan tingkat literasi kurang memadai sangat mungkin bersikap di luar kewajaran,” katanya.
Penyebaran hoaks semakin masif lewat platform daring, salah satunya melalui media sosial. Septiaji mengatakan, hal ini juga terjadi di sejumlah negara berkembang di Asia, seperti Filipina, Thailand, dan India.
Baca juga: Terpengaruh Hoaks, Warga Bakar Seorang Perempuan di Sorong hingga Tewas
Merespons kerusuhan di Wamena, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong aparat penegak hukum melakukan langkah-langkah prosedural untuk mengungkap fakta dan upaya pemulihan terhadap korban dan keluarga korban. Semua pihak diajak mengedepankan pendekatan sesuai prinsip-prinsip HAM dalam proses penegakan hukum dan tidak menggunakan aksi kekerasan.
”Mengajak seluruh komponen masyarakat, terutama tokoh masyarakat dan tokoh agama, untuk meredakan suasana agar eskalasi kekerasan tidak terus meningkat,” ujar Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro lewat keterangan pers.
Isu-isu emosional seperti penculikan anak dengan mudah memengaruhi masyarakat. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegakan hukum belum begitu kuat sehingga lebih memilih untuk main hakim sendiri.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem mengatakan, para korban tewas yang merupakan warga setempat telah dimakamkan di Wamena, Sabtu, di Tempat Pemakaman Umum Sinakma. Para korban, menurut dia, diduga tewas akibat tertembak di sejumlah bagian tubuh yang vital (Kompas, 26/2/2023).
Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri meminta maaf atas kerusuhan itu. Penyebab tewasnya korban masih diusut oleh Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Papua.
Mathius menyatakan, kerusuhan dipicu oleh beredarnya berita bohong atau hoaks tentang penculikan anak. Selain itu, ada provokasi yang memicu bentrokan aparat keamanan dengan warga.
Indeks literasi
Survei Indeks Literasi Digital 2022 menunjukkan kerentanan masyarakat terpapar hoaks. Survei ini melibatkan 10.000 responden pengguna internet berusia 13-70 tahun di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi.
Sebesar 45 persen responden mengaku antara yakin dan tidak yakin dapat mengidentifikasi informasi yang salah satu hoaks. Sebanyak 20 persen lainnya menyatakan tidak yakin. Hanya 32 persen yang merasa yakin dan sangat yakin.
Sebanyak 12 persen responden mengaku pernah menyebarkan hoaks. Sebesar 55,9 persen responden menyebut media sosial Facebook sebagai sumber informasi yang sering menyajikan isu hoaks, disusul berita daring 16 persen, Whatsapp 13,9 persen, dan Youtube 13,1 persen.
Hanya 47,8 persen responden yang mengecek informasi, baik berupa gambar, video, berita, dan postingan media sosial yang diterima. Sementara 52,2 persen lainnya tidak memverifikasinya.
Septiaji menuturkan, melemahnya kohesi sosial turut memengaruhi rawannya hoaks tersulut amarah. Sebab, kepercayaan antarmasyarakat juga mengendur.
”Jadi, problemnya dalam satu rangkaian, bukan satu hal saja. Literasi perlu ditingkatkan, tetapi keterlibatan platform digital dan pemerintah dalam menangani konten-konten hoaks harus lebih intens lagi,” jelasnya.
Tahun politik
Penyebaran hoaks yang memicu kerusuhan di tahun politik menjelang Pemilu 2024 patut diwaspadai. Septiaji mengatakan, berdasarkan pengalaman pada pentas politik sebelumnya, hoaks cenderung meningkat menjelang pemilu.
”Bukan hanya isu pemilu, melainkan juga masalah sosial. Paling bahaya kalau sudah menggunakan sentimen SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Sangat mungkin ada beberapa pihak yang memanfaatkan momen politik untuk menggiring opini masyarakat,” jelasnya.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, menjelang Pemilu 2024, peningkatan literasi digital sangat diperlukan agar masyarakat tidak terhasut disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian. Literasi digital yang mumpuni akan membentengi masyarakat sehingga tidak mudah memercayai informasi dari sumber yang tidak kredibel.
”Kalau kita bekali masyarakat dengan pengetahuan, masyarakat bisa menangkal hoaks itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Literasi Digital Masih Hadapi Tantangan
Kemenkominfo telah meluncurkan program literasi digital sejak 2021. Salah satu misinya mengedukasi masyarakat untuk menangkal hoaks dan terhindar dari penipuan daring.
Pada tahun pertamanya, program ini sudah menjangkau 12,5 juta orang. Literasi digital pada 2022 menyasar sekitar 6 juta orang. Untuk tahun ini ditargetkan menjangkau minimal 5,5 juta orang.
Di tengah derasnya arus informasi, penyebaran hoaks pun ikut meningkat. Tanpa penguatan literasi sebagai benteng penangkal kabar bohong, hoaks berpotensi terus memicu kegaduhan dan memangsa lebih banyak nyawa.