Pelanggaran integritas akademik menjadi topik pembicaraan hangat dalam beberapa waktu terakhir. Praktik buruk ini terjadi di perguruan tinggi dan melibatkan sejumlah akademisi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fabrikasi, pemalsuan, dan plagiasi masih menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan Tanah Air. Para akademisi didorong untuk berani menyuarakan pelanggaran integritas akademik itu karena berpotensi memicu pembusukan akademik.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto mengatakan, integritas akademik merupakan sesuatu yang esensial dan sering menjadi episentrum atau pusat dari banyak aspek. Integritas itu berpegang pada nilai-nilai dasar, yaitu kejujuran, kehormatan, kepercayaan, keadilan, tanggung jawab, dan keberanian.
Akan tetapi, selalu ada orang-orang yang ingin mendapatkan gelar atau derajat akademik melalui jalan pintas untuk beragam alasan dan kepentingan. Gelar itu diperoleh bukan dengan kaidah, proses, dan standar capaian akademik yang otentik, melainkan atas dasar transaksional.
”Ada plagiasi, pemberian gelar doktor aneh-aneh, bahkan perjokian. Itu cerminan fakta di sekitar kita. Ini akan memicu pembusukan akademik,” ujarnya dalam webinar ”Integritas Akademik: Kondisi Saat Ini dan Tantangan ke Depan”yang digelar Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Jumat (24/2/2023).
Sigit melanjutkan, perguruan tinggi membawa misi fundamental dalam menyelenggarakan pendidikan akal budi, merawat dan mengembangkan karakter mulia manusia, serta mencari kebenaran. Jadi, akademisi berkewajiban menyampaikan kebenaran dan mengungkap kebohongan.
Akan tetapi, banyak hal yang patut diwaspadai sebagai ancaman terhadap kebebasan dan keamanan akademik, seperti tekanan dari politisi atau penguasa serta intervensi birokrasi dan penyandang dana. ”Hal ini menjadi tantangan terhadap integritas akademik ke depan,” ucapnya.
Beberapa waktu lalu, sejumlah dosen UGM menyatakan penolakannya atas usulan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu di sektor non-akademik, termasuk kepada pejabat publik. Menurut Sigit, banyak akademisi di perguruan tinggi lain mempunyai pandangan serupa, tetapi tidak semua menyuarakannya.
”Kenapa ada silent majority? Dugaan saya karena kurang percaya diri. Padahal, akademisi punya kontribusi dan kewajiban sejarah. Jika lebih banyak bersuara, lebih mudah mengonsolidasikan tuntutan untuk memperbaiki keadaan,” jelasnya.
Selalu ada orang-orang yang ingin mendapatkan gelar atau derajat akademik melalui jalan pintas untuk beragam alasan dan kepentingan. Gelar itu diperoleh bukan dengan kaidah, proses, dan standar capaian akademik yang otentik, melainkan atas dasar transaksional.
Pelanggaran integritas akademik menjadi topik pembicaraan hangat dalam beberapa waktu terakhir. Praktik buruk ini terjadi di perguruan tinggi dan melibatkan sejumlah akademisi.
Laporan investigasi harian Kompas pada 10 Februari lalu mengungkap perjokian di dunia akademik. Petinggi kampus, calon guru besar, dosen, dan mahasiswa di kampus negeri ataupun swasta diduga terlibat.
Salah satu modus perjokian ialah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi. Tim menyematkan nama dosen-dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat sebagai daftar penulis di karya ilmiah meski dosen-dosen senior itu tak memiliki kontribusi aktif dalam pembuatan karya ilmiah yang hendak dipublikasikan di jurnal bereputasi. Kegiatan ini diduga untuk mendongkrak angka kredit dan meningkatkan akreditasi kampus (Kompas, 10/2/2023).
Massa kritis
Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad) Arief Anshory Yusuf mengatakan, masalah fabrikasi, pemalsuan, dan plagiasi berkaitan dengan integritas akademik seseorang dan sistem yang diterapkan. ”Kalau menyuruh orang menjaga kejujuran, tetapi sistemnya tidak diperbaiki, ya sama saja,” katanya.
Arief menyebutkan, ilmu pengetahuan bersifat global sehingga tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu, ilmuwan dalam negeri dapat menerapkan pakem integritas akademik yang berlaku secara global.
”Critical mass harus tetap ada. Yang penting kita tetap bersuara dan berargumen. Sekali memberikan gelar kehormatan yang tidak sesuai, reputasi akan hancur,” ujarnya.
Dosen Universitas Tadulako, Aiyen Tjoa, mengatakan, di tengah terungkapnya pelanggaran integritas akademik, masih banyak akademisi yang memiliki idealisme di bidang pendidikan. Namun, pihak pelanggar belum mendapatkan sanksi yang cukup.
”Mungkin yang melanggar hanya 10 persen. Namun, kecenderungannya, 90 persen lainnya terlalu cuek. Jadi, praktik pelanggaran itu berjalan di dalam sistem dan merusak institusi,” ucapnya.