Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Akan Distandardisasi
Pemerintah akan menstandarkan pelayanan kesehatan primer sebagai upaya transformasi sistem kesehatan. Pembenahan juga akan dilakukan pada aspek lain, termasuk sumber daya manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Nining Pujiastuti (41) menatap layar dari hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang dilakukan di Puskesmas Sedayu 1, Bantul, Yogyakarta, Jumat (10/2/2023). Pemeriksaan USG amat penting bagi ibu hamil untuk mendeteksi dini gangguan pada kehamilan yang dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah akan melakukan standardisasi fasilitas pelayanan kesehatan primer sebagai upaya transformasi dan membenahi sistem kesehatan. Pembenahan ini juga akan dilakukan untuk aspek lain, mulai dari layanan sekunder, ketahanan, pembiayaan, sumber daya manusia, hingga sistem teknologi kesehatan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat menjadi pembicara kunci dalam acara Lokapala 4.0 yang diselenggarakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta, Rabu (22/2/2023). Acara ini memaparkan kajian CISDI tentang pemetaan sekaligus tantangankesehatan sepanjang 2022 dan program prioritas penting yang patut menjadi perhatian dalam pembangunan kesehatan ke depan.
Budi mengemukakan, transformasi sistem kesehatan di Indonesia dilakukan melalui enam upaya reformasi. Fokus reformasi ditujukan untuk layanan primer, sekunder, aspek ketahanan, pembiayaan, sumber daya manusia (SDM), dan sistem teknologi kesehatan.
Negara harus menjamin agar semua masyarakat berhak mendapat akses pelayanan kesehatan yang berkualitas.
”Masing-masing upaya reformasi memiliki banyak program di dalamnya. Untuk layanan kesehatan primer, kita akan revitalisasi seluruh puskemas dan posyandu di 300.000 dusun. Pelayananan untuk semua siklus hidup juga akan distandardisasi mulai dari ibu hamil, balita, anak-anak, dewasa, hingga lansia,” ujarnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kader posyandu menimbang berat badan seorang bayi saat berkunjung ke pelayanan Posyandu di RW 005 Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (14/2/2023). Pengukuran tinggi badan anak dilakukan untuk memonitor pertumbuhan anak.
Selain standardisasi sistem, kata Budi, beragam jenis pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas pembantu, posyandu prima, dan poskesdes juga akan diintegrasikan. Semua pelayanan kesehatan primer tersebut akan dikembalikan ke fungsi promotif dan preventif.
Upaya lain yang dilakukan adalah membenahi laboratorium di tingkat pelayanan kesehatan primer. Alat-alat laboratorium di puskemas ataupun posyandu harus tersedia untuk pemeriksaan berbagai jenis penyakit, seperti tuberkulosis, malaria, dan HIV. Data hasil pemeriksaan tersebut nantinya juga akan diintegrasikan dengan teknologi dan internet.
”Pembenahan ini dilakukan sebagai upaya promotif dan preventif. Upaya preventif melalui vaksin akan juga diperbanyak untuk kanker serviks, diare, dan pneumonia. Vaksin ini penting karena diare dan pneumonia merupakan infeksi yang banyak membunuh balita,” tuturnya.
Khusus untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder, Budi memastikan semua rumah sakit bisa memberikan pelayanan dasar bagi penyakit jantung, kanker, dan stroke. Pelayanan dasar ini juga penting dimiliki setiap rumah sakit karena penyakit tersebut merupakan pembunuh terbesar dengan biaya paling mahal di Indonesia.
Selain itu, pembenahan juga akan dilakukan untuk aspek SDM. Setiap dokter di puskesmas harus memiliki jenjang karier tersendiri. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan meminta lebih banyak perguruan tinggi membuka program studi untuk dokter layanan primer sehingga dokter dengan kualitas terbaik bisa membina karier di daerah tersebut.
Sementara untuk pemenuhan dokter spesialis ataupun subspesialis, Kemenkes telah memperbanyak kuota beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Budi pun mendorong agar kesempatan ini bisa dimanfaatkan secara optimal oleh talenta muda.
”Untuk pilar sistem teknologi kesehatan, sampai akhir tahun ini semua data harus sudah didigitalisasi sesuai format untuk rumah sakit, laboratorium, puskesmas, klinik, dan apotek. Akreditasi akan diturunkan bila tidak segera dilakukan digitalisasi,” ujar Budi.
Kebijakan berbasis HAM
CEO dan Founder CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan, merujuk pada data Kemenkes dan Kementerian Dalam Negeri, pada awal pandemi sebanyak 75 persen posyandu berhenti total melayani masyarakat dan 90 persen layanan imunisasi di posyandu juga terganggu. Hal ini turut memengaruhi tidak tercapainya indikator standar pelayanan minimal.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seorang anak balita diukur lingkar kepalannya saat menjalani pemeriksaan bulanan di Posyandu Kemuning di Larangan, Kota Tangerang, Banten, Senin (13/2/2023). Sekitar 100 bayi dan anak balita terdaftar di posyandu tersebut.
”Melihat persoalan yang terjadi tahun lalu, kami berkaca bahwa pembangunan kesehatan harusnya berangkat dari kebijakan yang berbasis pada HAM (hak asasi manusia). Artinya, negara harus menjamin agar semua masyarakat berhak mendapat akses pelayanan kesehatan yang berkualitas,” ucapnya.
Meski demikian, Diah menilai, cetak biru atau rencana reformasi saat ini belum memasukkan secara detail penjabaran terkait sistem kesehatan untuk semua lapisan masyarakat. Sementara komponen kesehatan berbasis HAM ini harus memiliki indikator yang mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan penerimaan.
Dari kajian ”Health Outlook”, CISDI memetakan pilar transformatif sistem kesehatan nasional. Pilar tersebut meliputi transformasi layanan kesehatan primer, sistem kesehatan digital, serta kesehatan global dan teknologinya. Pilar tersebut juga harus dibangun di atas fondasi ketahanan kesehatan serta komitmen politik dan anggaran.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Meiwita Budiharsana menuturkan, pelayanan kesehatan di setiap daerah memiliki kapasitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, transformasi kesehatan ini harus memiliki komitmen politik dan anggaran serta didukung dengan basis data yang kuat di daerah.
”Sistem kesehatan nasional yang baru diharapkan bukan hanya reformasi, tetapi juga perlu transformasi karena perubahan norma dan urgensi. Semua ini harus diawali dengan perubahan dan kesiapan dari pemerintah daerah,” ungkapnya.