Percepat Verifikasi Hasil Pemetaan Partisipatif oleh Wali Data
Sampai saat ini, terdapat 26 juta hektar wilayah kelola masyarakat yang sudah terpetakan. Wilayah tersebut perlu diverifikasi oleh kementerian/lembaga dan segera diakui oleh negara.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses pemetaan partisipatif wilayah adat di seluruh Indonesia yang dilakukan masyarakat perlu percepatan verifikasi dari kementerian dan lembaga terkait sebagai wali data. Pemerintah pusat juga perlu segera menerapkan mekanisme yang menghimpun data ini dan membangun mekanisme proses pengakuan wilayah adat.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Sekretaris Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (Seknas JKPP) di Jakarta, Kamis (16/2/2023). Diskusi ini fokus membahas nasib peta partisipatif wilayah adat dan desa dalam kebijakan satu peta setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Skala 1:50.000.
Koordinator Nasional JKPP Imam Hanafi mengemukakan, JKPP dan jaringan lainnya terus aktif mengawal kebijakan satu peta sejak beberapa tahun lalu. Fokus pengawalan ini mulai dari proses memasukkan nomenklatur terkait peta partisipatif untuk dimasukkan dalam kebijakan sekaligus agar metodologi pemetaan tersebut mendapat payung hukum.
IGT untuk wilayah adat ini memiliki ketetapan hukum dan yang bisa membuatnya itu kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing.
”Sejak 1990-an, JKPP dan jaringan telah mengidentifikasi wilayah kelola masyarakat dan sampai saat ini terdapat 26 juta hektar yang sudah terpetakan. Namun, persoalaannya kemudian yaitu persepsi ruang ini hanya milik masyarakat dan perlu berlaku secara resmi dalam konteks kenegaraan sehingga perlu diakomodasi oleh wali data,” ujarnya.
Imam menyadari bahwa jutaan hektar wilayah yang telah dipetakan oleh masyarakat ini tidak memiliki keakuratan sesuai dengan metodologi dari tuntutan kebijakan. Oleh karena itu, peta ini tetap memerlukan verifikasi dari pihak yang memiliki otoritas tersebut.
Terlepas dari kekurangan tersebut, Imam menekankan bahwa pemetaan partisipatif ini merupakan perspektif masyarakat yang menunjukkan ada kendala dan tumpang tindih wilayah. Kendala inilah yang seharusnya dilihat dan diselesaikan oleh setiap wali data.
”Tidak semua kawasan hutan dalam wilayah adat itu adalah hutan adat karena banyak proses identifikasi dan verifikasi yang tidak dilakukan sehingga masih banyak konflik. Dalam konteks ini, kita perlu satu mekanisme dari pusat berupa wali data yang menghimpun data masyarakat dan membangun mekanisme proses pengakuannya,” ujarnya.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mencatat, sampai sekarang sudah banyak kemajuan dari pemerintah daerah terkait proses pemetaan partisipatif baik untuk desa maupun wilayah adat. Akan tetapi, proses integrasi pemetaan ini oleh wali data di tiap-tiap kementerian/lembaga belum optimal.
Kasmita juga menyepakati perlunya suatu terobosan terkait regulasi untuk mengintegrasikan kebijakan satu peta. Khusus untuk Kementerian Dalam Negeri, juga dapat memimpin proses ini dengan mengompilasi perkembangan dari pengakuan wilayah adat di berbagai daerah.
Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG) Lien Rosalina menuturkan, pemetaan wilayah dapat dituangkan melalui kementerian/lembaga yang bertindak sebagai wali data. BIG kemudian bisa melakukan sinkronisasi lewat analisis tumpang tindih (overlay) terhadap peta dari setiap kementerian/lembaga tersebut.
”Jadi, peran pemetaan partisipatif disalurkan kepada wali data IGT (informasi geospasial tematik). Sebab, IGT untuk wilayah adat ini memiliki ketetapan hukum dan yang bisa membuatnya itu kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing,” katanya.
Tantangan pemetaan
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal ZA mengatakan, Kemendagri telah melakukan pemetaan bidang datar di Indonesia dan sebagian di antaranya memanfaatkan hukum adat untuk penyelesaian garis-garis batas. Sampai saat ini, penyelesaian batas wilayah administratif sudah mencapai 97 persen.
”Sebagian memang ada yang belum selesai karena berbagai penyebab. Salah satunya penyebab yaitu adanya pengakuan atau tumpang tindih dengan hukum adat,” ujarnya.
Menurut Safrizal, di satu sisi, hukum adat memang bisa menyelesaikan garis batas administrasi. Namun, di sisi lain, hukum adat juga tidak bisa menyelesaikan tumpang tindih wilayah tersebut karena tiap masyarakat adat memiliki perspektif masing-masing. Kondisi ini beberapa di antaranya terjadi saat pemetaan di Merauke dan Boven Digoel, Papua.
Selain itu, tantangan lainnya ialah menuangkan pemetaan yang berbasis hukum adat ke metodologi berbasis teknologi. Sebab, banyak nilai-nilai masyarakat adat dalam pemetaan wilayahnya tersebut yang tidak bisa dituangkan secara langsung ke dalam aspek teknologi.
Terkait dengan pemetaan yang sudah dilakukan sampai saat ini, Safrizal menyebut bahwa peta tersebut dapat langsung diusulkan ke Kantor Staf Presiden untuk ditinjau. Akan tetapi, masih perlu kajian lainnya terutama pada aspek hukum penetapan wilayah adat tersebut.