Insan pers Indonesia belum lama ini memperingati Hari Pers Nasional. Di tengah gebyar perayaan itu, sejatinya ada kisah ironi yang melingkupi pers Indonesia.
Oleh
ADI PRINANTYO
·3 menit baca
Salah satunya, ironi terkait masih adanya pemanfaatan dunia pers atau profesi wartawan untuk kepentingan pribadi orang-orang tertentu. Bisa jadi orang-orang ini sehari-hari wartawan, tetapi menggunakan posisinya sebagai kuli tinta demi urusan pribadinya, atau semata mengaku-aku sebagai wartawan.
Pemikiran ini muncul seiring dengan masih banyaknya pemakaian atribut bertuliskan ”Pers” atau jika dalam bahasa Inggris, ”Press”, untuk urusan di luar jurnalistik. Jika atribut tersebut dipakai jurnalis untuk meliput peristiwa berisiko seperti perang atau perhelatan melibatkan massa dalam jumlah ribuan orang, dimaksudkan sebagai penanda, itu wajar adanya.
Namun, di keseharian, kita masih menyaksikan penggunaan atribut dengan tulisan semacam itu semata untuk membuat diri si pemakai dikenali sebagai wartawan. Pada akhirnya, yang diharapkan dari mereka yang membacanya, tak lain pengistimewaan. Diistimewakan, karena dia ”wartawan”.
Fakta ini makin nyata saat terlihat berderet-deret lapak pedagang yang menjual atribut bertuliskan ”Pers” ini di beberapa acara Hari Pers Nasional di Medan, Sumatera Utara, yang baru saja berlalu. Yang dijual beraneka ragam, mulai dari jaket, rompi, topi, pin, dan sebagainya. Ibarat pepatah ”ada gula, ada semut”, tak mungkin pedagang-pedagang ini memajang aneka atribut seperti itu andai tiada yang membeli.
Layakkah kita prihatin? Sangat layak. Keprihatinan ini sebenarnya sudah meluas sejak dasawarsa 1990-an. Artinya, gejala atau fenomena pemanfaatan profesi jurnalis ini sudah eksis sejak 30 tahun yang lalu. Fenomena wartawan jadi-jadian yang mendatangi acara, mayoritas yang berprospek bakal memberi ”uang transpor”.
Belum terlatih
Terkait hal ini, seorang guru di Diklat Kompas, wartawan senior Luwi Ishwara kerap mengingatkan, wartawan itu seharusnya ”do no harm”, karena salah satu tugasnya menjalankan kontrol sosial. ”Bagaimana bisa mewujudkan kontrol sosial, mengingatkan pihak lain lewat karya jurnalistik, kalau kita sendiri tidak disiplin saat menjalankan profesi?,” demikian kata Mas Luwi.
Mengapa fenomena ini masih terjadi? Berbagai analisis menjawabnya. Pertama, keterbatasan perusahaan media melatih jurnalisnya sebelum turun ke lapangan. Ketidakmampuan ini juga bermacam latar belakang. Bisa jadi pendiri media itu abai, atau tak memikirkan, atau tak peduli akan urgensi perwujudan profesionalisme pekerja media. Mengapa orang-orang semacam itu bisa mendirikan media? Entah. Toh sekarang mendirikan media tak susah-susah juga.
Kedua, institusi-institusi pelatihan wartawan dan lembaga yang bertanggung jawab secara moril untuk hal ini, yakni Dewan Pers, menghadapi keterbatasan yang sungguh nyata dalam mengurai problem ini.
Pers Indonesia, dengan ribuan perusahaan yang terdata, serta berbagai platform tentunya, sungguh rimba belantara yang lebat dengan persoalan. Kesenjangan kualitas antara media-media yang berusaha menjalankan jurnalisme berkualitas setidaknya tecermin dari ”rutinitas” mereka meraih penghargaan jurnalistik Adinegoro, dengan media-media yang tak peduli dengan pemenuhan profesionalisme jurnalisnya, ibarat bumi dan langit.
Fenomena itu juga sedikit banyak tergambar dari peringatan HPN di Medan. Rekan-rekan wartawan yang ingin berwacana soal kemajuan atau peningkatan profesionalisme wartawan bisa ditaksir persentasenya, bisa jadi tak sampai 50 persen. Selebihnya, entahlah.
Alangkah mulia jika peringatan HPN dioptimalkan sebagai wahana introspeksi oleh insan pers. Sebelum jari telunjuk mengarah ke luar, lebih baik terarah ke diri kita sendiri. Sudahkah kita semua menjadikan momentum Hari Pers sebagai pijakan untuk bekerja lebih profesional?
Jika proses introspeksi diri dan gerakan berbenah itu belum menyeluruh, maka perlu dipikirkan peringatan HPN yang lebih sederhana, tetapi diharapkan bisa lebih menyentuh akar persoalan pers Indonesia.