Hoaks dan Keterbatasan Vaksin Covid-19 Memperlambat Cakupan
Informasi keliru dan ketidakpercayaan masyarakat, selain ketersediaannya yang terbatas, memperlambat cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Rencana penerapan vaksin Covid-19 berbayar akan semakin menghambat pencapaian.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Tenaga kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 ke salah seorang warga binaan Rumah Tahanan Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (2/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Informasi keliru dan ketidakpercayaan masyarakat, selain ketersediaannya yang terbatas, memperlambat cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Rencana penerapan vaksin Covid-19 berbayar dinilai akan semakin menghambat pencapaian cakupan vaksinasi.
Capaian, tantangan, dan strategi percepatan vaksinasi Covid-19 ini didiskusikan dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK-UGM), Kamis (9/2/2023). Dalam webinar ini diundang beberapa dinas kesehatan daerah, selain dari Kementerian Kesehatan.
Ketua Tim Imunisasi Tambahan dan Khusus Direktorat Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Getrudis Tandy mengatakan, hingga 3 Februari 2023 sudah 550 juta dosis vaksin yang disuntikkan. ”Untuk vaksin dosis kedua atau imunisasi lengkap, sudah mencapai 64,8 persen dari total populasi,” katanya.
Banyak ancaman dari masyarakat jika terjadi KIPI. Hal ini membuat petugas kesehatan tidak berani mendesak masyarakat agar divaksinasi karena tidak bisa menjamin tidak terjadi KIPI.
Cakupan vaksin ini masih lebih rendah daripada target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 70 persen. Menurut Getrudis, terjadi tren pelambatan vaksinasi, terutama untuk booster atau vaksin penguat pertama yang saat ini cakupannya baru 38,3 persen terhadap sasaran.
Selain itu, ada ketimpangan cakupan vaksin antardaerah. Dari 34 provinsi, baru empat provinsi yang sudah mencapai 50 persen dari target untuk booster pertama. Sementara untuk booster kedua bagi tenaga kesehatan, baru lima provinsi yang mencapai 50 persen target sasaran. ”Booster kedua (warga) lansia masih kecil. Bali paling tinggi, yaitu 7,3 persen, nasional masih 1,2 persen,” katanya.
Dosen dan peneliti di Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, FKKMK UGM, Retna Siwi Padmawati, memaparkan penelitian yang tengah dijalankan mengenai penerimaan masyarakat di Indonesia terkait vaksinasi Covid-19.
Dari kajian literatur, menurut Retna, ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat menolak vaksinasi, di antaranya ketidakpercayaan masyarakat terhadap efektivitas vaksin, lingkungan sosial, termasuk adanya antivaksin karena faktor agama. Selain itu, mereka yang menolak biasanya lebih percaya keluarga daripada tenaga kesehatan. Faktor lainnya adalah pendidikan yang rendah dan usia kurang dari 16 tahun, dan tidak ada komorbid.
Menurut Retna, peran keluarga dalam pengambilan keputusan terkait vaksin sangat penting. ”(Warga) lansia tergantung anak, sedangkan anak dan istri tergantung kepala keluarga, yang sering menjadikan tokoh agama sebagai panutan,” katanya.
Kendala di daerah
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Papua Barat, Nurmawati mengatakan, ”Cakupan vaksinasi Covid-19 di daerahnya masih jauh di bawah target. Untuk vaksinasi dosis 1, baru 65,14 persen dan dosis kedua baru 48,74 persen. Booster masih sangat kurang,” tuturnya.
Nurmawati mengatakan, salah satu hambatan terbesar vaksinasi di wilayahnya adalah kekhawatiran terhadap efek vaksin, selain ketidakpercayaan terhadap vaksinasi. Sebagian masyarakat juga memilih vaksin tertentu yang kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) dianggap rendah. Selain itu, masih ada masyarakat yang tidak memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
”Faktor lain, keterbatasan jenis vaksin, terutama yang untuk anak-anak,” ucapnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga melakukan pendaftaran saat mengikuti vaksinasi Covid-19 dosis penguat kedua di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Menurut Nurmawati, banyak ancaman dari masyarakat jika terjadi KIPI. Hal ini membuat petugas kesehatan tidak berani mendesak masyarakat agar divaksinasi karena tidak bisa menjamin tidak terjadi KIPI.
”Untuk geografis dan keamanan, tidak ada masalah. Namun, KIPI akan menjadi ancaman bagi orang yang terlibat vaksinasi. Sebab, masyarakat tidak percaya keamanan vaksin. Bahkan banyak yang tidak percaya orang Covid-19,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Timur Jaya Mualimin mengatakan, cakupan vaksinasi dosis pertama dan kedua di wilayahnya sudah tinggi. Sekalipun demikian, ada kecenderungan penurunan untuk cakupan booster pertama ataupun kedua, sebagaimana terjadi dengan tren nasional.
Jaya mengkhawatirkan, rencana pemberlakuan vaksinasi Covid-19 berbayar akan semakin memperlambat pencapaian target. ”Jangan dulu vaksin berbayar. Sebab, animo masyarakat saat ini menurun,” ujarnya.