Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus dengan Perkuat Regulasi
Kekerasan seksual tak mengenal tempat, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Berbagai regulasi yang dilahirkan merupakan langkah maju untuk melindungi mahasiswa dan kalangan kampus dari kekerasan seksual.
Ibarat virus yang sulit dimatikan, kekerasan seksual terus menyebar di semua ruang kehidupan masyarakat, baik wilayah privat maupun publik. Ruang religi dan akademis, yang dipandang sebagai wilayah sakral dan tempatnya kaum terpelajar, pun tak luput dari kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual mencoreng wajah pendidikan di semua tingkatan, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi, dengan korban paling banyak perempuan. Di kampus, tak mudah memutus mata rantai kekerasan seksual, apalagi ketika ada relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Maka dari itu, seperti fenomena gunung es, tak banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang terungkap. Demi target merampungkan studi atau mendapatkan nilai, sejumlah mahasiswa yang menjadi korban ”terpaksa” dan ”dipaksa” bungkam ketimbang speak up (bicara terbuka) atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya.
Para korban baru berani bicara setelah terbebas dari urusan kampus ataupun urusan nilai dan ujian. Sebab, dalam beberapa kasus yang terungkap selama ini, ada banyak risiko yang akan dihadapi para korban jika berani bicara dan melaporkan kasus yang dialaminya saat statusnya masih mahasiswa.
Selain masa studinya rentan terhambat, stigma sering diterima oleh korban ketimbang dia mendapat perlindungan dan pendampingan atas kasus yang dialaminya. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku hanya mendapat sanksi ringan, bahkan ketika diproses hukum malah dinyatakan tidak bersalah.
Belajar dari berbagai preseden buruk penanganan kasus kekerasan seksual di kampus, pada 31 Agustus 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Satuan tugas
Peraturan menteri yang lahir delapan bulan sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menuai pro dan kontra. Namun, hal tersebut tak membuat Kemendikbudristek berhenti. Setelah Permendikbudristek tentang PPKS, Kemendikbudristek pun mendorong semua perguruan tinggi negeri dan swasta segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKS.
Hasilnya, tak sampai dua tahun, semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Tanah Air telah membentuk Satgas TPKS. Kamis (2/2/2023), pemerintah mengumumkan sebanyak 125 PTN di Indonesia yang terdiri dari 76 PTN akademik dan 49 PTN vokasi telah membentuk Satgas PPKS.
”Alhamdulillah, saat ini sudah 100 persen PTN membentuk Satgas PPKS. Selain itu, sebanyak 109 PTS juga sedang berproses membentuk satgas dan sebanyak 20 PTS telah membentuk Satgas PPKS di kampus mereka,” ujar Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami dalam keterangan pers pekan lalu.
Alhamdulillah, saat ini sudah 100 persen PTN membentuk Satgas PPKS.
Seusai amanat Permendikbudristek No 30/2021, keanggotaan Satgas PPKS terdiri dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Jumlah anggota satgas yang ditetapkan harus gasal, paling sedikit lima orang. Komposisi keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota dan keterwakilan unsur mahasiswa minimal 50 persen dari jumlah anggota Satgas PPKS.
Baca juga : Darurat, Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Pembentukan Satgas PPKS diharapkan bisa menjadi gerakan bersama untuk mewujudkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Selain itu, kehadiran Satgas PPKS diharapkan akan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual.
Satgas PPKS dibekali dengan modul PPKS dan Buku Pedoman Permendikbudristek No 30/2021 sebagai acuan dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Untuk memastikan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dilaksanakan sesuai dengan mandat permendikbudristek tersebut, Puspeka kini tengah menyusun skema pelatihan penguatan kapasitas bagi anggota Satgas PPKS. ”Tugas Satgas PPKS tentu penuh tantangan. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus mengutamakan korban,” ucap Rusprita.
Baca juga : Dukungan terhadap Aturan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus Meluas
Dari kalangan PTN, komitmen untuk mewujudkan kampus yang bebas dari kekerasan seksual dengan hadirnya satgas disampaikan Ketua Satgas PPKS Universitas Indonesia (UI) Manneke Budiman dan Ketua Satgas PPKS Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Lenny Brida.
”Kita semua berharap, dengan adanya Satgas PPKS, mereka yang merasa menjadi korban atas tindak kekerasan seksual berani melapor dan kita bisa memberikan pelayanan yang nyaman bagi mereka dan mengawal hingga kasusnya benar-benar tuntas,” ujar Lenny dalam keterangan pers.
Bahkan, Manneke berharap kehadiran Satgas PPKS bisa mengubah budaya selama ini sehingga kalau ada kasus jangan dibiarkan, tapi diselesaikan. Di UI, Satgas PPKS juga sudah ada di dua fakultas, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan Fakultas Psikologi, yang dibantu juga oleh komunitas internal kampus, HopeHelps UI.
Sosialisasi undang-undang
Upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual juga didukung PTS. Akhir Januari 2023, sosialisasi UU TPKS juga dilakukan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPP Peradi).
Indikator kekerasan seksual adalah adanya unsur paksaan. Jika merasa tidak nyaman, berani katakan tidak dan laporkan kepada pihak yang berwenang. (Rektor UKI Dhaniswara K Harjono)
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mendorong peran serta kampus dalam mencegah kekerasan seksual dan menyosialisasikan UU TPKS.
”Saya berharap para advokat, akademisi, mahasiswa, lembaga masyarakat, maupun masyarakat dapat bersinergi dan bersama-sama mengimplementasikan UU TPKS melalui penyebarluasan informasi mengenai isi dan substansi dalam UU TPKS secara komprehensif kepada masyarakat,” ungkap Bintang Darmawati.
Pada Seminar Nasional ”Proteksi Diri dari Predator Seksual”, dalam rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Menteri PPPA meminta semua pihak berperan dalam memutus mata rantai kekerasan seksual, yang korbannya mayoritas perempuan dan anak.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara berpandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. (Menteri PPPA)
Kehadiran UU TPKS merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan TPKS. Pembaruan hukum tersebut bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; serta menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Kementerian PPPA berkomitmen menindaklanjuti amanat UU TPKS, antara lain, dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban TPKS secara cepat, terpadu, dan terintegrasi. Selain itu, koordinasi dan pemantauan secara lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait dilakukan dalam rangka efektivitas pencegahan dan penanganan korban TPKS.