Dukungan terhadap Aturan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus Meluas
Kekerasan di kampus masih menjadi fenomena gunung es. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi jawaban pemerintah mencegah dan menangani kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi terus mengalir. Mahkamah Agung diminta tidak mengabulkan permohonan uji materi atas peraturan menteri tersebut.
”Pascauji materi yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Sumatera Barat, kami sudah mengirim pokok-pokok pikiran konstruktif berisi dukungan terhadap Permendikbud No 30 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung,” ujar Sekretaris Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Se-Indonesia (ASWGI) Arianti Ina Restiani Hunga, Senin (11/4/2022).
Pekan lalu, Kamis (7/4/2022), ASWGI yang beranggotakan 146 pusat studi wanita/jender, anak, sosial inklusi di perguruan tinggi negeri dan swasta di hampir seluruh wilayah Indonesia juga menyerukan kepada MA untuk menolak uji materi yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
Hal itu disebabkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi justru merupakan jawaban pemerintah untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup perguruan tinggi di Indonesia.
Selain itu, Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban komprehensif yang menunjukkan kehadiran pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual telah melalui proses yang mendengarkan dan memperhitungkan suara akademisi.
”Permendikbudristek PPKS menggunakan paradigma baru, yaitu paradigma kritis berorientasi pada pencegahan keberulangan, penanganan, dan pemulihan dengan berbasis pemenuhan hak-hak korban, serta pencegahan dan penanggulangan keberulangan melalui rehabilitasi pelaku, termasuk pelaku penyerta,” kata Arianti.
Permendikbudristek PPKS menggunakan paradigma baru, yaitu paradigma kritis berorientasi pada pencegahan keberulangan, penanganan, dan pemulihan dengan berbasis pemenuhan hak-hak korban.
Selain itu, Permendikbudristek PPKS mendorong transformasi ekosistem perguruan tinggi ke arah penguatan ekosistem untuk mencapai Merdeka Belajar/Kampus Merdeka dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Tidak sensitif
Pada webinar bertema ”Urgensi Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan di Perguruan Tinggi” yang digelar Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender di Indonesia (APPHGI); Universitas Diponegoro, Semarang; dan Universitas Pancasila, Jakarta; kalangan kampus juga menyuarakan dukungan untuk Permendikbudristek PPKS.
”Kami meminta MA menolak permohonan uji materi yang diajukan LKAAM terhadap Permendibudristek PPKS. Sebab, LKAAM tidak sensitif terhadap meningkatnya kasus-kasus kekerasan di perguruan tinggi. Uji materi tersebut merupakan langkah mundur dalam upaya pencegahan kekerasan di kampus,” papar Kunthi Tridewiyanti dari Dewan Pengarah APPHGI.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, mengungkapkan, beberapa waktu lalu Komnas Perempuan telah menyampaikan kepentingan warga negara perempuan melalui keterangan tertulis sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae) kepada MA.
Hal itu dilakukan karena Komnas Perempuan memiliki kepentingan terhadap obyek uji materiil dan mekanisme pengujiannya. Kami berpendapat uji materi adalah perwujudan checks and balances di antara kekuasaan negara dan mekanisme untuk menjamin hak-hak warga negara sebagaimana mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Karena itu, pemeriksaan uji materiil harus mendasarkan pada kepentingan publik. ”Pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek No 30/2021 karena tidak memiliki kerugian hak warga negara,” kata Siti Aminah.
Selain itu, pemohon uji materi tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan. Pembatalan permen tersebut juga tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual dalam obyek permohonan.
Sebaliknya, Komnas Perempuan berpendapat penerbitan Permendikbudristek No 30/2021 memenuhi prosedur formal pembentukan peraturan perundang- undangan. Permendikbudristek tidaklah bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Perguruan Tinggi.
”Justru sebaliknya, Permendikbudristek No 30/2021 diterbitkan sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan nasional,” pungkas Siti Aminah.