Indonesia merupakan negara yang rawan bencana dan krisis kesehatan. Karena itu, perlu upaya mitigasi menghadapi potensi kedaruratan kesehatan global akibat bencana alam dan wabah penyakit.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengendara melintas di depan mural tentang waspada Covid-19 di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Kamis (9/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai perlu memperkuat ketahanan kesehatan untuk menghadapi kegawatdaruratan kesehatan berikutnya setelah pandemi Covid-19. Selain memperluas jejaring laboratorium kesehatan masyarakat, kemandirian dalam produksi obat, alat kesehatan, dan vaksin dalam negeri mesti ditingkatkan disertai adanya tenaga cadangan kesehatan.
”Di masa depan, ancaman kegawatdaruratan kesehatan global akan semakin kompleks dan multifaktor,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat menyampaikan pidato kunci dalam sarasehan Dies Natalis Ke-73 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di FKUI, Salemba, Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Dalam acara itu, Dekan FKUI Ari Fahrial Syam memberikan penghargaan dari FKUI kepada harian Kompas karena dinilai telah mengangkat hasil penelitian FKUI dalam mengedukasi masyarakat di bidang kesehatan. Penghargaan serupa diberikan kepada stasiun televisi TVOne dan Radio Republik Indonesia (RRI).
Di masa depan, ancaman kedaruratan kesehatan global akan semakin kompleks dan multifaktor.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Mondastri Korib Sudaryo menyatakan, sistem kesehatan nasional perlu dikaji ulang. Salah satu hal yang perlu ditekankan dalam sistem kesehatan ialah kemandirian masyarakat, mengutamakan upaya promotif dan preventif agar tidak terjebak hanya pada upaya kuratif.
KOMPAS/EVY RACHMAWATI
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono (kiri) menerima plakat penghargaan dari Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam, di aula FKUI, Salemba, Jakarta, Kamis (9/2/2023), seusai menjadi pembicara kunci dalam acara Dies Natalis Ke-73 FKUI.
Menurut Dante, Indonesia telah mengadaptasi rujukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam penanganan pandemi berupa surveilans, terapeutik, vaksinasi, dan protokol kesehatan. Dalam surveilans, misalnya, pemerintah meningkatkan tes epidemiologi, rasio kontak erat dilacak, surveilans genomik di daerah dan pintu masuk negara.
Kini, Indonesia memiliki 56 alat sequencing genomik, laboratorium PCR, dan sistem basis data kesehatan. Selain itu, pemerintah menyiapkan 120.000 tempat tidur isolasi, memproduksi obat antiviral dan vaksin Covid-19 dalam negeri, serta memanfaatkan teknologi untuk telemedicine dan memakai aplikasi Peduli Lindungi.
”Setelah pandemi Covid-19, sistem ketahanan kesehatan Indonesia perlu diperkuat untuk menghadapi kegawatdaruratan berikutnya,” ujarnya. Penguatan tersebut sesuai pilar transformasi sistem kesehatan meliputi perluasan jejaring laboratorium kesehatan masyarakat, produksi obat, alat kesehatan, dan vaksin dalam negeri.
Untuk pemeriksaan tuberkulosis (TBC), misalnya, kini ada 213 tes cepat molekuler di laboratorium kesehatan kabupaten atau kota, 28 kultur untuk tes resistansi obat di labkesda provinsi, 13 whole genomic sequencing (WGS), tes resistansi lini-2 IGRA di laboratorium regional, dan dua WGS host, serta resistansi antimikroba di laboratorium tingkat nasional.
”Untuk memperkuat ketahanan obat dan alat kesehatan, produksi dalam negeri mulai dilakukan secara bertahap,” ujarnya.
Saat ini tujuh dari 10 bahan baku obat konsumsi terbesar telah diproduksi di dalam negeri dan tiga di antaranya mulai diproduksi pada tahun 2022, antara lain Amiodipine, Candesartan Cilexetil, dan Bisoprolol.
WANG XIANG/XINHUA VIA AP
Dalam foto yang dirilis kantor berita China, Xinhua, seorang apoteker sedang memeriksa resep di pusat layanan kesehatan masyarakat di Shanghai, China, Minggu (8/1/2023). Otoritas kesehatan China menolak memasukkan obat pengobatan Covid-19 Pfizer ke dalam daftar nasional yang memungkinkan pasien mendapatkan dengan harga lebih murah.
Sementara itu, dari 14 antigen vaksin imunisasi rutin, tujuh antigen vaksin telah diproduksi di dalam negeri, yakni BCG, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, influenza, dan polio. Lima dari tujuh antigen vaksin yang diimpor dalam tahap transfer teknologi untuk diproduksi dalam negeri antara lain measles, rubella, dan human papilloma virus (HPV) serta pneumococcal conjugate vaccine (PCV), serta rotavirus.
Selain itu, program kesehatan terhadap pandemi terkait kesiapan tenaga cadangan kesehatan. Sebab, saat pandemi Covid-19, banyak fasilitas kesehatan kekurangan sumber daya kesehatan untuk menangani pasien. Menurut Ari Fahrial Syam, pihaknya menyiapkan program spesialis kegawatdaruratan.
Dari sisi layanan kesehatan, Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Lies Dina Liastuti menegaskan, sistem rujukan berjenjang perlu dibenahi agar tak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit rujukan. ”Menghadapi bencana, harus kolaboratif agar rumah sakit tidak berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Direktur Utama RSUP Persahabatan Agus Dwi Susanto menambahkan, penanganan pasien setelah terpapar Covid-19 perlu menjadi perhatian. Sebab, pembiayaan pengobatan long Covid belum dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. ”Jadi, penanganan pascakrisis harus dipikirkan rumah sakit rujukan dan pemerintah,” ujarnya.
KOMPAS/EVY RACHMAWATI
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam
Perubahan global
Dante menuturkan, mengacu pada Nature Reviews Microbiology, dari aspek biologis, ancaman kegawatdaruratan terjadi dari RNA terinfeksi menyerang manusia, menginfeksi sel tumbuhan dan hewan. Ada 71,5 persen dari kasus infeksi kegawatdaruratan lewat hewan liar, 99 persen penyakit menginfeksi manusia lewat hewan jinak dan memicu penyakit berpotensi wabah.
Faktor lain pemicu kegawatdaruratan kesehatan ialah perubahan global, yang meliputi pemanasan global yang membuat rantai makanan terganggu, sehingga terjadi ketidakseimbangan jumlah vektor penyakit. Beberapa faktor lainnya ialah kemajuan teknologi informasi membuat warga kurang gerak, dan teknologi transportasi meningkatkan urbanisasi.
Perubahan demografi juga menimbulkan ancaman kegawatdaruratan kesehatan. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk menyebabkan migrasi penduduk ke area terpencil hingga meningkatkan kontak dengan hewan liar dan pencemaran virus pada ternak. Selain itu, populasi menua rentan terinfeksi meningkat, begitu pula penggunaan antibiotik yang tak terkontrol.