Selain menyebabkan 15 juta kematian, pandemi juga bisa menghentikan mobilitas dan melahirkan kerelawanan sosial. Respons serupa diharapkan dilakukan untuk mengatasi krisis iklim, lingkungan, dan sosial-ekonomi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Petugas menggotong peti jenazah pasien Covid-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (14/2/2022). Pada hari Senin (14/2/2022) tercatat 145 kasus kematian dan merupakan penambahan tertinggi sejak akhir September tahun lalu.
Covid-19 diperkirakan telah menewaskan sekitar 15 juta orang secara global dalam dua tahun pertama sejak wabah ini merebak pada akhir 2019. Namun, dampak pandemi ini terhadap kehidupan manusia bisa jauh lebih besar lagi.
Laporan yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 5 Mei 2022 itu menunjukkan bahwa kematian berlebih (excess death) terkait pandemi mencapai 2,7 kali lebih besar daripada data korban Covid-19 yang terkonfirmasi. Statistik kematian pandemi resmi secara global lebih rendah daripada perhitungan kematian berlebih karena pelaporan yang tertunda dan buruknya pencatatan di banyak negara.
Kesenjangan data statistik terbesar terjadi di Mesir dengan kematian berlebih mencapai 11,6 kali lebih banyak dari yang terkonfirmasi, disusul India 9,9 kali dan Pakistan 8 kali lebih banyak. Indonesia menduduki peringkat keempat dengan jumlah kematian berlebih mencapai 7,1 kali lebih banyak dari laporan resmi kematian Covid-19 yang dikonfirmasi pemerintah.
Hal ini berarti dengan 156.534 korban jiwa yang dilaporkan Kementerian Kesehatan pada Senin (23/5/2022), jumlah kematian terkait Covid-19 di Indonesia sebenarnya telah mencapai 1,1 juta jiwa. Dan, mereka yang meninggal itu bukan hanya angka, melainkan kerabat atau sahabat kita.
Perhitungan kematian berlebih yang dikeluarkan WHO ini tidak hanya menunjukkan dampak sesungguhnya pandemi, tetapi juga menjadi peringatan untuk berinvestasi dalam sistem kesehatan yang lebih tangguh yang dapat mempertahankan layanan kesehatan penting selama krisis, termasuk sistem informasi kesehatan yang lebih kuat dan transparan.
Sebelumnya, sejumlah ilmuwan dan organisasi sipil, termasuk LaporCovid-19, telah mengingatkan tingginya kesenjangan data kematian Covid-19 di Indonesia. Studi yang dilakukan epidemiolog Iqbal Elyazar dkk (2021) telah menunjukkan adanya 52 persen kematian berlebih di Jakarta selama 10 bulan pertama tahun 2020.
Perhitungan kematian berlebih yang dikeluarkan WHO ini tidak hanya menunjukkan dampak sesungguhnya pandemi, tetapi juga menjadi peringatan untuk berinvestasi dalam sistem kesehatan yang lebih tangguh.
Penelusuran yang dilakukan Kompas di empat desa di Pulau Jawa pada puncak gelombang Delta menunjukkan, jumlah kematian berlebih selama Juli 2021 mencapai 10 kali lebih tinggi daripada rata-rata tahun-tahun sebelumnya dan hanya sekitar 10 persen yang dilaporkan sebagai korban Covid-19 (Kompas, 4 Agustus 2021).
Implikasi jangka panjang
Kini, pandemi Covid-19 mulai mereda ditandai dengan angka kasus dan kematian harian yang terus menurun. Namun, kematian bukan satu-satunya konsekuensi merugikan Covid-19. Banyak penyintas menderita gangguan jangka panjang, yang biasa disebut gejala sisa pasca-akut dari infeksi SARS-CoV-2 dan biasa disebut longcovid.
Bahkan, beberapa ilmuwan mencurigai hepatitis misterius yang dialami anak-anak saat ini juga terkait Covid-19, baik langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, pembatasan fisik pada anak selama pandemi membuat tubuh mereka tidak berpengalaman menghadapi paparan adenovirus yang biasanya hanya memicu gejala sakit ringan. Ketika situasi bebas di luar rumah, paparan mendadak adenovirus itu mencetuskan reaksi imun tubuh yang menyebabkan kerusakan hati.
Hipotesis berikutnya menyebutkan, hepatitis ini bisa karena implikasi infeksi Covid-19 berkepanjangan yang mengganggu respons imun tubuh.
KEMENTERIAN KESEHATAN
Gejala hepatitis akut berat yang belum diketahui penyebabnya
Covid-19 diketahui bisa mengganggu imunitas sehingga membuat orang gampang sakit, termasuk ketika terpapar adenovirus. Di sisi lain, Covid-19 juga bisa memicu reaksi imunitas yang berlebihan, sebagaimana terjadi dengan badai sitokin, yang bisa merusak jaringan hati.
Sampai saat ini, belum ada kesimpulan mengenai etiologi hepatitis misterius ini. Namun, lazim diketahui, gejala longcovid paling umum adalah kelelahan walau kasus yang lebih parah melibatkan kerusakan pada berbagai sistem organ (paru-paru, jantung, sistem saraf, ginjal, dan hati), bersama dengan gangguan kesehatan mental.
Para peneliti telah berhipotesis bahwa jalur fisiologis mungkin melibatkan konsekuensi langsung dari infeksi virus bersama dengan respons inflamasi atau autoimun (David M Cutler, dalam JAMA, 2022).
Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendataan terkait longcovid tidak dilakukan, padahal diperkirakan jumlahnya sangat besar. Penelitian di Inggris menunjukkan, 22 persen hingga 38 persen orang yang pernah terinfeksi Covid-19 akan mengalami setidaknya satu gejala longcovid dan 12 persen hingga 17 persen akan memiliki tiga gejala atau lebih (Whitaker M dkk dalam Nature Communication, 2022).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Kepadatan lalu lintas di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (24/5/2022). Mulai 24 Mei 2022, DKI Jakarta memasuki PPKM level 1 seiring kasus Covid-19 yang cenderung turun. Tercatat juga ada peningkatan volume lalu lintas sehingga direncanakan rekayasa lalu lintas ganjil genap di 25 ruas jalan.
Penurunan kesehatan bukan satu-satunya konsekuensi dari longcovid. Orang-orang yang mengalami Covid-19 berkepanjangan ini berisiko mengalami penurunan produktivitas dengan berbagai konsekuensi sosialnya.
Dengan berbagai konsekuensi ini jelas pandemi Covid-19 memiliki dampak luar biasa besar bagi kehidupan manusia dengan konsekuensi jangka panjang yang sebagian mungkin belum manifes atau muncul. Sebagian besar dampaknya negatif, tetapi pandemi ini juga memberikan peluang perubahan ke arah lebih baik.
Satu hal positif yang bisa kita pelajari dari Covid-19 adalah bahwa masyarakat kontemporer mampu melakukan perubahan drastis. Bandara, restoran, arena olahraga, dan sekolah dapat ditutup dalam semalam, serta banyak pekerjaan bisa dilakukan di rumah, sehingga bisa memangkas lebih dari 8 persen emisi karbon global (Zu Liu, Nature Climate Change, 2020). Di Indonesia, selama pandemi, kita juga bisa melihat besarnya kesukarelawanan sosial.
Kini, dapatkah tingkat respons yang sama dimobilisasi untuk mengatasi perubahan iklim, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial-ekonomi serta mencegah pandemi berikutnya menuju keberlanjutan kehidupan di Bumi?