Transformasi di bidang kesehatan diperlukan untuk mendorong kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan nasional. Kolaborasi dan komitmen yang kuat dari semua pihak diperlukan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Kompas
Aktivitas pekerja di ruang blistering (pengemasan tablet dalam strip) di pabrik farmasi PT Kalbe Farma Tbk di kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (23/2/2012). Kalbe Farma segera mengoperasikan pabrik yang memproduksi obat generik skala besar untuk mengantisipasi kebutuhan obat generik dalam negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menunjukkan lemahnya infrastruktur kesehatan di Indonesia. Ketergantungan yang tinggi akan produk impor, baik produk sediaan farmasi maupun alat kesehatan, membuat kebutuhan masyarakat sempat tidak tercukupi. Karena itu, kemandirian bangsa di bidang kesehatan mutlak dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengatakan, Indonesia sempat mengalami kekosongan stok obat dan alat kesehatan ketika kasus Covid-19 melonjak. Hal itu diakui terjadi karena ketidaksiapan bangsa untuk menghadapi pandemi. Sebagian besar kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan masih harus diimpor.
”Lebih dari 90 persen sediaan farmasi, termasuk obat dan vaksin juga alat kesehatan kita, sebenarnya dari luar negeri. Jadi, ketika pandemi terjadi, ketika semua negara membutuhkan produk yang sama, kita kesulitan untuk mengaksesnya,” katanya dalam acara Kompas 100 CEO Forum bertajuk ”Healthcare Industry Post Pandemic” di Jakarta, Rabu (10/11/2021).
Setidaknya 94 persen alat kesehatan di Indonesia pada 2019 berasal dari impor dengan nilai mencapai Rp 26 triliun. Untuk industri farmasi, sekitar 95 persen bahan baku juga didatangkan dari luar negeri. Bahan baku tersebut terbanyak didapatkan dari China (60 persen) dan India (30 persen).
Karena itu, Arianti menuturkan, akselerasi kemandirian bangsa di bidang kesehatan mutlak diperlukan. Akhir dari pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan. Selain itu, potensi adanya pandemi lain di masa depan juga bisa terjadi. ”Kita harus lebih mempersiapkan diri karena sebenarnya kita mampu untuk menghasilkan produk dalam negeri,” ucapnya.
CEO Kalbe Farma Vidjongtius menyampaikan, kolaborasi dan komitmen dari seluruh pihak menjadi kunci dari percepatan pengembangan produk kesehatan dalam negeri. Itu terutama untuk mengembangkan riset dan inovasi produk farmasi.
Menurut dia, kolaborasi bisa dilakukan antara industri farmasi dengan lembaga riset dan perguruan tinggi dalam penemuan bahan baku obat. Melalui kolaborasi ini, hilirisasi hasil riset bisa lebih cepat dicapai. Selain itu, dukungan pemerintah melalui regulasi dan pemberian insentif juga dibutuhkan.
”Upaya ini harus dilakukan dengan komitmen yang kuat. Konsep ABGC atau akademisi, bisnis, pemerintah, dan komunitas dalam proses RnD (riset dan pengembangan) harus berjalan secara konsisten. Jika berjalan sendiri-sendiri tanpa kolaborasi, akan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai kemandirian (industri farmasi) di Indonesia,” ucap Vidjongtius.
Konsep ABGC atau akademisi, bisnis, pemerintah, dan komunitas dalam proses RnD (riset dan pengembangan) harus berjalan secara konsisten. Jika berjalan sendiri-sendiri tanpa kolaborasi, akan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai kemandirian (industri farmasi) di Indonesia.
Hal serupa diungkapkan Chief Operating Officer Eka Hospital Group Rina Setiawati. Ia mengatakan, kolaborasi merupakan hal terpenting dalam transformasi di sektor kesehatan.
”Yang terpenting adalah transformasi dalam cara berpikir. Kita tidak bisa lagi memiliki cara berpikir yang terfragmentasi. Semua pihak harus punya pemikiran dan visi yang sama sehingga setiap kebijakan dan keputusan yang kita ambil bisa lebih sesuai,” katanya.
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir menyampaikan, penguasaan teknologi juga diperlukan dalam percepatan kemandirian bangsa. Kompetensi sumber daya manusia serta ketersediaan sarana prasarana perlu terus ditingkatkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hal itu diperlukan untuk memperkuat daya saing di tingkat global.
”Jika kita tidak mampu menguasai teknologi, industri tidak akan bertahan. Karena itu, Bio Farma terus berupaya menguasai berbagai teknologi dalam pengembangan vaksin. Setelah berhasil memproduksi vaksin berbasis inactivated virus, kita akan mengembangkan vaksin dengan platform lainnya,” tuturnya.
Honesti menambahkan, adaptasi pun harus cepat dilakukan. Pandemi ini telah menuntut adanya transformasi yang cepat, termasuk transformasi dalam pemanfaatan teknologi digital.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Peneliti melihat hasil ekstrak bahan baku alami di laboratorium Pusat Riset Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). Saat ini impor bahan baku farmasi mencapai angka 95 persen, dengan 60 persen di antaranya berasal dari China. Di saat China sedang kolaps seperti saat ini, pasokan bahan baku farmasi menjadi tersendat.
Ia menilai, pemanfaatan teknologi yang optimal dapat membantu sistem pelayanan kesehatan di masyarakat. Terkait dengan proses vaksinasi Covid-19, teknologi juga sudah dimanfaatkan dalam sistem monitoring vaksin Covid-19.
Seluruh proses distribusi vaksin, mulai dari pengiriman di gudang PT Bio Farma sampai ke daerah yang dituju, dapat dipantau secara langsung (real time). Itu termasuk untuk memantau suhu, lokasi, jumlah, dan kode dari setiap vial vaksin. Dengan begitu, vaksin yang diterima masyarakat lebih bisa dipertanggungjawabkan secara transparan.
Chief Commercial Officer SehatQ Andrew Sulistya mengatakan, pandemi pun telah mendorong pemanfaatan layanan kesehatan digital yang lebih masif di masyarakat. Layanan kesehatan jarak jauh atau telemedicine dinilai tidak hanya berlangsung selama masa pandemi, tetapi akan menjadi tren di masa depan. Kesenjangan akses kesehatan di masyarakat Indonesia juga bisa teratasi dengan penggunaan teknologi.
Rina menuturkan, digitalisasi bisa menjadi salah satu cara untuk memperluas akses masyarakat pada layanan kesehatan. Indonesia dihadapkan pada kondisi kesenjangan masyarakat yang cukup besar, mulai dari kesenjangan ekonomi, sosial, serta akses kesehatan. Sementara kondisi geografis Indonesia juga cukup kompleks.
Di sisi lain, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang justru memilih untuk berobat ke luar negeri. Setidaknya ada 60.000 penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri dengan total pembiayaan sekitar 1,9 miliar dollar AS per tahun.
Oleh sebab itu, menurut Rina, ekosistem pelayanan kesehatan di Indonesia perlu dibentuk dengan baik. Indonesia mampu menjadi negara tujuan pengobatan yang berkualitas, setidaknya bagi masyarakat di negara sekitar.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas mengawasi proses produksi bahan baku obat alami di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). Saat ini impor bahan baku farmasi mencapai angka 95 persen, dengan 60 persen di antaranya berasal dari China. Di saat China sedang kolaps seperti saat ini, pasokan bahan baku farmasi menjadi tersendat.
Intervensi pemerintah
Arianti mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mendukung kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan di Indonesia. Itu meliputi pembuatan regulasi yang mendukung pasar dan penetapan ambang batas tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
”Jadi, pemerintah sudah mengharuskan pengadaan pemerintah, baik pusat maupun daerah, menggunakan produk dalam negeri. Itu disertai dengan pengawasan yang ketat. Selain itu, TKDN untuk industri farmasi akan ditingkatkan sampai 50 persen,” ucapnya.