Alihkan Dana Belanja Rokok untuk Protein Hewani Anak
Rokok jadi salah satu penyebab ”stunting” atau tengkes pada balita. Namun, banyak orangtua memilih membeli rokok daripada membelikan telur untuk anaknya. Telur jadi sumber protein hewani yang murah dan mudah dijangkau.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selepas masa pemberian air susu ibu eksklusif, anak perlu mendapat asupan protein hewani yang mencukupi untuk mendukung tumbuh kembangnya. Namun, kurangnya pengetahuan dan kesadaran membuat asupan protein hewani mereka sangat kurang hingga rentan memicu tengkes atau stunting.
”Saat bayi berumur 6 bulan, ASI (air susu ibu) saja tidak cukup, tetapi harus ditambah makanan dari protein hewani, bukan karbohidrat, sayur, buah, atau tempe (protein nabati),” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam gelar wicara daring ”Protein Hewani Cegah Stunting” dari Jakarta, Kamis (9/2/2023). Protein hewani penting untuk pengembangan otak dan mencukupi gizi bayi.
Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Muhammad Rizal Martua Damanik menambahkan, protein hewani dibutuhkan sebagai sumber asupan asam amino esensial yang tidak bisa dipasok oleh tubuh. Tubuh hanya memproduksi asam amino non-esensial. ”Asam amino esensial penting untuk proses pertumbuhan anak sejak dalam kandungan serta untuk menjaga imunitas anak,” katanya.
Saat bayi berumur 6 bulan, ASI (air susu ibu) saja tidak cukup, tetapi harus ditambah makanan dari protein hewani, bukan karbohidrat, sayur, buah, atau tempe (protein nabati).
Indonesia sebenarnya kaya akan beragam sumber protein hewani yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah dan mengatasi tengkes, seperti aneka telur, ikan, susu, ayam, dan daging. Namun, protein hewani sering dianggap mahal. Padahal, harga satu kilogram telur saat ini, Rp 20.000-Rp 30.000, cukup untuk memenuhi kebutuhan protein hewani anak dan keluarga dalam satu hari.
Selain itu, banyak kepala rumah tangga lebih mudah membelanjakan uangnya untuk membeli rokok daripada membeli telur. Padahal, harga rokok saat ini sama, bahkan lebih mahal dari telur.
Survei Sosial Ekonomi Nasional, Maret 2022, menunjukkan pengeluaran makanan terbesar masyarakat kelompok 20 persen ekonomi terbawah adalah makanan-minuman jadi 24,50 persen, beras (19,99), rokok (11,30), sayuran (9,25), ikan-makanan laut (7,04) dan telur-susu (4,65).
Sementara kelompok 20 ekonomi teratas, pengeluaran makanan terbesarnya untuk makanan-minuman jadi (35,33), rokok (10,70), ikan-makanan laut (8,84), beras (7,03), daging (6,60), dan telur-susu (6,05).
”Bapak-bapak perlu diingatkan, jika mereka memiliki baduta (bayi di bawah dua tahun) dan tidak ingin anaknya stunting dan intelektualitasnya rendah, berhentilah merokok dan alihkan dananya untuk membeli telur bagi anak,” tambah Budi.
Terlebih, studi sejumlah peneliti dari Universitas Indonesia (UI) yang dipublikasikan di Journal of Family and Economics Issues, 8 Agustus 2022, menemukan ayah yang perokok moderat hingga berat, maka anaknya berpotensi lebih tinggi 2,93 persen-3,47 persen untuk mengalami kekurangan berat badan dan tengkes.
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial UI Aryana Satrya mengatakan, anak dari orangtua merokok memiliki berat badan lebih rendah 1,5 kilogram dan tinggi badan lebih rendah 0,34 sentimeter dibandingkan anak yang orangtuanya tidak merokok. ”Stunting terjadi karena orangtua lebih memprioritaskan membeli rokok daripada memberikan nutrisi yang baik untuk anak,” katanya.
Kelaparan global
Peran rokok yang menyebabkan terjadinya tengkes dan buruknya asupan gizi masyarakat menurut Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany juga terlihat dari timpangnya capaian Indonesia dalam Indeks Kelaparan Global (GHI) 2022 yang ada di peringkat ke-77 dari 121 negara dengan prevalensi tengkes yang ada di peringkat ke-34 besar dari 152 negara.
Jumlah anak yang mengalami malnutrisi relatif rendah, tetapi tiba-tiba jumlahnya yang mengalami tengkes melonjak. Kondisi ini diduga terjadi akibat adanya masalah dalam pengolahan zat gizi yang masuk ke tubuh. Diprediksi, salah satu pemicu dari masalah itu adalah rokok.
”Korelasi hal ini sangat kuat mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan prevalensi perokok laki-laki terbesar di dunia,” katanya.
Dibandingkan beberapa tahun lalu, prevalensi tengkes yang kini dihitung per tahun sudah jauh membaik. Pada 2013, prevalensi anak balita tengkes masih 37,20 persen. Pada awal pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, jumlah anak balita tengkes 27,7 persen pada 2019.
Kini, dengan berbagai upaya masif, prevalensi tengkes telah menjadi 24,4 persen pada 2021 dan 21,6 persen pada 2022. Targetnya, prevalensi tengkes menjadi 14 persen pada 2024.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Nur Nadlifah, mengakui sulit mengubah perilaku masyarakat demi memenuhi kebutuhan gizi anaknya. Orangtua sejatinya sudah tahu mana makanan yang baik untuk anak mereka atau bahaya merokok. Namun, kurangnya kepedulian terhadap kecukupan gizi dan kesehatan anak dan dirinya membuat mereka abai dengan apa yang keluarga mereka konsumsi.
”Masyarakat butuh pendampingan,” katanya. Tim Pendamping Keluarga yang dibentuk BKKBN dalam rangka percepatan penurunan prevalensi tengkes memiliki andil besar untuk membantu masyarakat. Mereka tidak hanya bisa menunjukkan bahan pangan yang sehat, tetapi juga menunjukkan cara memasaknya dan kepada siapa boleh makanan tersebut akan diberikan.
Tak hanya itu, mengubah perilaku merokok di masyarakat juga tidak mudah. Terlebih, banyak tokoh agama mencontohkannya. Belum lagi ada tarikan kepentingan antara petani tembakau, industri rokok, dengan masyarakat yang peduli kesehatan mengingat dampak buruk rokok jadi perhatian global. Selain itu, lekatnya sejumlah tradisi masyarakat dengan rokok membuat rokok makin sulit ditekan.
Untuk itu, Rizal mengusulkan pentingnya mencari inovasi untuk mengatasi perilaku merokok secara terpisah dengan upaya mengatasi tengkes. Merokok memengaruhi tengkes, tetapi mengatasi perokok membutuhkan pendekatan berbeda dibandingkan tengkes. Upaya membatasi rokok juga perlu lebih komprehensif karena banyaknya pelaku ekonomi yang terlibat dan kecanduan yang dialami perokok.
”Setidaknya, kita bisa mendorong perokok yang sudah berkeluarga dan memiliki anak balita yang sedang bertumbuh kembang untuk bisa membatasi perilaku merokoknya demi anaknya,” katanya.