Asupan nutrisi yang cukup amat penting untuk mencegah risiko gizi buruk dan tengkes. Makanan yang diberikan kepada anak pun harus dipastikan dengan gizi yang seimbang. Pastikan pula protein hewani tercukupi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·6 menit baca
Asupan gizi yang tidak mencukupi menjadi akar persoalan dari tingginya angka gizi buruk dan tengkes di Indonesia. Pada 2018, Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi tengkes mencapai 30,8 persen. Meski angka tersebut menurun pada 2021 menjadi 24,4 persen, angka tersebut masih di atas rata-rata global sebesar 22,2 persen. Organisasi Kesehatan Dunia pun telah menetapkan ambang batas harus kurang dari 20 persen.
Selain persoalan tengkes atau yang juga disebut stunting, Indonesia juga dihadapkan dengan persoalan anak balita kurus dan sangat kurus atau wasting. Pada 2018 setidaknya tercacat prevalensi anak balita wasting sebesar 10,2 persen. Jumlah tersebut diprediksi meningkat akibat dampak dari pandemi Covid-19.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menunjukkan, Indonesia termasuk pada negara dengan prevalensi tengkes tertinggi ketiga di kawasan Asia Tenggara setelah Timor Leste dan India. Buruknya status gizi di Indonesia salah satunya disebabkan karena kurangnya asupan protein, khususnya protein hewani. Adapun sumber pangan yang mengandung protein hewani, seperti telur, ikan, daging, dan susu.
Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, konsumsi daging di Indonesia jauh di bawah rata-rata dunia, baik untuk konsumsi daging ayam, sapi, babi, dan domba. Pada 2021, konsumsi daging ayam di Indonesia sebesar 8,1 kilogram per kapita, sementara rata-rata dunia 14,9 kg per kapita. Untuk rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 2,2 kg per kapita, sedangkan di dunia 6,4 kg per kapita.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa anak dengan asupan protein yang minim lebih berisiko mengalami tengkes dibandingkan dengan anak dengan asupan protein yang cukup. Hal itu terjadi sekalipun total kalori yang dikonsumsi sama besarnya.
Hasil serupa juga dihasilkan oleh riset yang dilakukan para peneliti dari Departemen Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang yang dipublikasi pada Journal of Public Health Research 2021. Dalam riset itu disebutkan, kurangnya asupan asam amino esensial menjadi faktor risiko terjadinya tengkes pada anak usia kurang dari lima tahun di Malang, Jawa Timur.
Dalam EBoMedice, jurnal ilmiah yang dipublikasi pada 2016 juga menyebutkan anak tengkes di Malawi, Afrika, ditemukan dengan kadar asam amino esensial dalam darah yang rendah. Penelitian tersebut menguatkan hasil riset yang dilakukan di Yogyakarta pada 2021.
Dari riset yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Gizi Universitas Respati Yogyakarta, konsumsi ikan yang adekuat sebagai alternatif pangan lokal dapat menekan angka tengkes pada anak balita. Ikan merupakan salah satu jenis pangan yang tinggi akan kandungan protein hewani.
”Penelitian-penelitian ini semakin memperkuat pemahaman mengapa seorang anak bisa mengalami stunting. Jika bicara mengenai stunting, kata kunci yang keluar haruslah protein hewani. Anak bisa mengalami stunting karena asupan protein hewaninya sangat rendah,” kata Piprim di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Ia mengatakan, sumber protein hewani yang kaya akan asam amino esensial amat penting untuk menunjang pertumbuhan seorang anak, terutama pertumbuhan tinggi dan panjang badan. Asam amino esensial diperlukan untuk merangsang protein mTORC1 pada tubuh yang berfungsi untuk mendukung pertumbuhan tulang, otot rangka, sistem darah, dan perkembangan organ tubuh.
Oleh sebab itu, Pirprim menegaskan, asupan protein hewani harus diutamakan dalam pangan anak mulai usia enam bulan ketika anak sudah mengonsumsi makanan pendamping ASI (MPASI). Asupan protein perlu diutamakan bersumber dari protein hewani bukan nabati. Telur dan ikan bisa menjadi alternatif sumber protein hewani yang terjangkau oleh masyarakat.
Pangan hewani mempunyai asam amino yang lebih lengkap dan mempunyai mutu zat gizi, yaitu protein, vitamin, dan mineral, lebih baik dibandingkan protein nabati karena kandungan zat-zat gizi tersebut lebih banyak dan mudah diserap tubuh. Namun, pangan hewani mengandung kolesterol yang tinggi dan lemak, kecuali pada ikan. Lemak dari daging dan unggas lebih banyak mengandung lemak jenuh. Kolesterol dan lemak jenuh diperlukan tubuh, terutama pada anak-anak, tetapi perlu dibatasi asupannya pada orang dewasa.
Jika bicara mengenai stunting, kata kunci yang keluar haruslah protein hewani. Anak bisa mengalami stunting karena asupan protein hewaninya sangat rendah. (Piprim Basarah Yanuarso)
Selain itu, protein hewani juga kaya akan mikronutrien seperti vitamin B12, vitamin D, DHA (docosahexaenoic acid), zat besi, dan zink. Mikronutrien tersebut memiliki peran penting bagi tumbuh kembang seorang anak.
Dalam memberikan makanan untuk anak, orangtua dapat merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Asupan gizi seimbang setiap tahapan usia anak berbeda-beda. Begitu pula dengan porsi dan pengolahannya.
Pada bayi usia 6-9 bulan, tekstur makanan yang disarankan adalah makanan lumat. Sementara pada usia 9-12 bulan makanan bertekstur lembut atau lunak dan pada usia 12-24 bulan sudah dapat diberikan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga.
Salah satu contoh makanan lumat untuk anak usia 6-9 bulan yang bisa diberikan adalah bubur tepung jagung. Dalam satu porsi makan, bahan yang bisa digunakan meliputi 15 gram tepung jagung, 10 gram ikan yang dihaluskan, 5 gram tempe yang dihaluskan, 25 gram pisang kepok, 20 gram kangkung, dan 1 sendok teh minyak kelapa. Seluruh bahan itu bisa direbus hingga matang dan kemudian disaring. Makanan ini mengandung energi sekitar 150 kilo kalori dengan protein 4,6 gram, lemak 6,3 gram, besi (Fe) 1,1 miligram, serta vitamin A, vitamin C, dan Zinc.
Asupan protein hewani
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia, asupan protein harian setiap anak berbeda sesuai dengan usia. Pada anak usia 6-11 bulan, protein yang diperlukan 15 gram per hari. Sementara pada anak usia 1-3 tahun membutuhkan asupan protein 20 gram per hari. Setiap makanan memiliki kandungan protein hewani yang berbeda.
Pada telur ayam, setiap 20 gram mengandung 2,3 gram protein. Pada setiap butir telur puyuh dengan berat 10 gram mengandung 1,3 gram protein. Sementara itu, pada 20 gram ikan mengandung 4,4 gram protein dan 40 gram daging ayam mengandung 5,4 gram protein.
Apabila asupan protein hewani ini dapat terpenuhi sejak dini, risiko tengkes pada anak bisa dicegah dengan optimal. Namun, pastikan pula asupan nutrisi lain seperti karbohidrat, lemak, serat, air, vitamin dan mineral tetap tercukupi. Kebutuhan stimulasi untuk perkembangan emosional dan otak anak pun harus diperhatikan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah intervensi untuk menurunkan angka tengkes di Indonesia. Setidaknya ada 13 intervensi yang dilakukan yang terdiri dari intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi tersebut dilakukan mulai dari hulu ke hilir, yakni mulai dari remaja putri, ibu hamil, dan anak balita.
Khusus terkait dengan tata laksana anak balita dengan masalah gizi, makanan tambahan akan diberikan kepada anak yang mengalami gizi kurang. Anak balita yang mengalami tengkes yang tidak tertangani di puskesmas harus dirujuk ke rumah sakit agar bisa segera mendapatkan penanganan lebih lanjut.
”Kita pun mendorong pemberian makanan tambahan bagi anak dengan gizi buruk dan stunting bisa ditekankan dengan memanfaatkan sumber pangan lokal. Secara bertahap akan dilakukan. Saat ini sedang dalam proses untuk dilakukan di 30 kabupaten/kota,” paparnya, Selasa (9/8/2022).