Dari 20,5 juta pelajar, sebanyak 27,76 persen mengaku pernah merokok. Jumlah ini mengkhawatirkan mengingat perilaku merokok akan mengancam kesehatan generasi penerus bangsa.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil riset terbaru menemukan, sebanyak 5,7 juta atau 27,76 persen pelajar Indonesia pernah merokok dan 2,2 juta di antaranya merupakan perokok harian. Mayoritas dari mereka mengenal rokok dari lingkungan pertemanan dan menjadi perokok karena stres serta penasaran.
Demikian hasil riset yang dipaparkan pada diseminasi riset dan diskusi media mengenai data ”Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022” di Jakarta, Rabu (8/2/2023). Riset itu dilakukan Indonesia Institute for Social Development (IISD), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan peneliti dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka). Metodenya berupa survei pada 1.275 responden dari 175 kabupaten/kota dalam periode waktu 4-16 September 2022.
Adapun total populasi yang digunakan sebanyak 20,5 juta siswa SMP/sederajat dan SMA/sederajat yang terdaftar sebagai peserta didik 2021/2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sampel diambil secara acak (random sampling) dengan toleransi kesalahan (margin of error) sebesar 2,8 persen.
Tingginya prevalensi perokok pelajar (27,76 persen) dinilai masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni sebesar 8,7 persen. Sebanyak 10 persen pelajar mulai merokok pada usia di bawah 10 tahun, bahkan ada yang sejak balita.
Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Bidang Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Agus Suprapto mengatakan, karakteristik perkembangan sifat remaja erat kaitannya dengan kegelisahan, pertentangan, khayalan, aktivitas berkelompok, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Karakter ini menjadi bermasalah saat diungkapkan dalam bentuk perilaku merokok.
”Pengendalian perokok merupakan tanggung jawab semua pihak. Baik pemerintah, nonpemerintah, masyarakat, maupun swasta harus bahu-membahu mengatasi perilaku merokok sesuai kapasitas masing-masing,” ujar Agus.
Hasil riset Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 menemukan, 63,97 persen orangtua dari pelajar merupakan perokok. Hal ini diperkirakan memicu 75 persen pelajar pernah merokok di rumah.
Lebih jauh, para pelajar akan menjadi generasi penerus perokok sehingga akan muncul perokok-perokok baru. Kalau tidak ditindaklanjuti, populasi perokok di Indonesia bakal tidak terkontrol.
Advokasi bahaya merokok, kata Agus, harus menargetkan kementerian atau lembaga yang tidak mendukung upaya pengendalian perilaku merokok. Upaya pengendalian dimaksud termasuk kebijakan, perlindungan petani, dan fasilitas.
Evaluasi
Ketua Tim Kerja Pengendalian Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Saragih menuturkan, hasil riset ini menimbulkan kekhawatiran bahwa target untuk menurunkan prevalensi perokok remaja tidak tercapai. Hal ini juga menunjukkan upaya pengendalian perokok belum berhasil dan perlu evaluasi komprehensif.
”Argumentasi industri rokok bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 telah mampu mengendalikan angka perokok otomatis terbantahkan,” ucap Benget.
Kini, Kementerian Kesehatan telah meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan riset setahun sekali mengenai konsumsi rokok masyarakat. Selain itu, 335 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah terkait kawasan tanpa rokok (KTR) belum mengimplementasikan KTR dengan baik. Setiap daerah diminta melaksanakan aturan itu jika tidak ingin mendapatkan sanksi.
Mencegah perilaku merokok juga tertuang dalam revisi PP No 109/2012 yang mengatur iklan rokok dan regulasi rokok elektrik. Peraturan itu akan menjadi tonggak awal kebangkitan pengendalian rokok di Indonesia.
Menurut Penasihat IISD Tien Sapartinah, pengendalian perilaku merokok bukan permasalahan yang sepele. Pengendaliannya harus mengedepankan kehidupan, berlangsung secara berkelanjutan, dan memelihara lingkungan hidup, termasuk petani tembakau dan produknya.
”Dengan begitu, jangkauan perlindungan semakin luas dan seluruh komponen merasa diperlakukan adil serta proporsional,” ujar Tien.
Selain itu, Indonesia diharapkan dapat mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai semacam panduan untuk mengendalikan konsumsi rokok.
Orangtua
Hasil riset Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 juga menemukan, 63,97 persen orangtua dari pelajar merupakan perokok. Hal ini diperkirakan memicu 75 persen pelajar pernah merokok di rumah. Sementara itu, sebanyak 32,35 persen pelajar mengaku pernah merokok di sekolah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menyayangkan perilaku orangtua yang merokok di depan anaknya. Mereka secara tidak langsung turut serta memengaruhi anaknya untuk merokok.
”Tingkatan paling awal pengasuhan berada di rumah. Figur orangtua yang merokok berpotensi besar untuk ditiru anaknya,” ungkap Diyah.
Ia juga meminta pelajar yang merokok diperhatikan oleh pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Hal ini dinilai krusial karena pelajar merupakan generasi penerus bangsa dan kualitas mereka di masa depan akan menurun akibat merokok.