Tiga Museum Jadi Model Percontohan Badan Layanan Umum
Museum yang dikelola sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dapat mengupayakan pembiayaan sendiri, tidak lagi mengandalkan APBN murni. Pengelolaan museum pun bisa luwes.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Museum Nasional dan Galeri Nasional di Jakarta serta Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta diprioritaskan sebagai model percontohan pengelolaan berbasis badan layanan umum atau BLU. Dengan BLU, museum dapat dikelola secara fleksibel, baik dari segi birokrasi maupun finansial.
Ada sekitar 10 museum di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum dan Cagar Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang akan dikelola sebagai BLU. Museum Nasional, Galeri Nasional, dan Museum Benteng Vredeburg termasuk di dalamnya.
Museum lain dalam asuhan UPT Museum dan Cagar Budaya, antara lain, Museum Kebangkitan Nasional, Museum Sumpah Pemuda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, serta Museum Basoeki Abdullah. Hingga kini, baru Museum Nasional yang dikelola sebagai BLU per 2022.
”Kami fokus mengembangkan Museum Nasional, Galeri Nasional, dan Museum Benteng Vredeburg sebagai pilot project (BLU),” kata Kepala Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek Pustanto. ”Artinya, kita ubah wajahnya, rombak SDM-nya, hingga tata pamernya. Jika sudah oke, uang juga settle, kita bisa benahi museum-museum lain,” tambahnya.
Ketiganya diprioritaskan karena kemungkinan pengembangannya besar. Pustanto mencontohkan, bagian Museum Benteng Vredeburg dapat dikembangkan untuk area minum kopi, menongkrong, dan menggelar lokakarya. Kerja sama dengan UMKM dan komunitas seniman juga memungkinkan dijalin. Di sisi lain, pengembangan narasi museum akan terus dilakukan.
Adapun dokumen persetujuan BLU museum sudah diajukan ke Kementerian Keuangan. Persetujuan diharapkan keluar pada Maret-April 2023.
BLU membuat tata kelola museum menjadi luwes. Pembiayaan museum tidak lagi bergantung pada Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) murni. Proses birokrasi yang panjang pun bisa dihindari.
Dengan BLU, museum dapat mengupayakan pendapatannya sendiri, misalnya dengan menyewakan ruang serbaguna museum dan bekerja sama dengan mitra. Museum juga dapat mengelola keuangan sendiri dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
”Karena belum BLU, kami belum bisa (bergerak) lincah dan fleksibel untuk mengajak publik berkontribusi, baik kontribusi pemikiran maupun dana. Jika hanya mengharapkan APBN, tidak akan cukup,” kata Pustanto.
Museum-museum yang dikelola pemerintah melarang transaksi atau pungutan biaya dari publik, kecuali tiket masuk. Hal ini menghambat museum untuk mendanai dirinya sendiri. Pengembangan museum dan pelaksanaan program museum pun tidak optimal.
BLU membuat tata kelola museum menjadi luwes. Pembiayaan museum tidak lagi bergantung pada Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) murni. Proses birokrasi yang panjang pun bisa dihindari.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Fitra Arda mengatakan, beban APBN bisa berkurang dengan pengelolaan BLU museum. Museum bisa beroperasi melalui kerja sama dengan pihak swasta ataupun komunitas. Kerja sama juga membuat program museum variatif.
”Kami merekrut tenaga profesional untuk menguatkan BLU museum, misalnya praktisi museum, teknologi, dan marketing. Pihak marketing ada yang sudah menjajaki (kerja sama) dengan swasta. Kita buka peluang, tapi ini masih dipelajari,” kata Fitra.
Menurut laporan ”Evaluasi 9 Program Prioritas Kemendikbudristek Tahun 2022” oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, BLU Museum Nasional membuat 11 kerja sama dengan pihak swasta dalam negeri pada 2022. Nilai kerja sama tersebut mencapai Rp 284 juta. Kerja sama jangka pendek juga dilakukan dengan Korea Selatan, Polandia, dan Qatar.
Adapun per November 2022, PNBP pada BLU Museum Nasional sebesar Rp 4,18 miliar. Sebagian besar PNBP masih bertumpu pada penjualan tiket, yakni Rp 1,72 miliar (57,1 persen).
Laporan itu menyebut, PNBP belum optimal karena pemanfaatan sarana dan prasarana yang juga belum optimal. Untuk itu, aktivasi berbagai layanan, seperti penelitian, lokakarya, pelatihan, seminar, konferensi permuseuman, dan jasa khusus permuseuman, seperti art handling, diperlukan.
Menurut pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Rupa Yogyakarta,, Mikke Susanto, BLU meningkatkan profesionalitas pengelola museum. SDM museum dituntut membuat program yang kreatif, berjejaring, dan menjalin kerja sama.
”BLU memberi rangsangan agar museum bisa dikelola dengan perspektif internasional. Ini berarti museum dikunjungi semua negara. Ini juga berarti wacana museum tidak hanya berlaku di Indonesia, tetap juga berorientasi pada kebutuhan dunia,” tambahnya.