Media Membangun Keseimbangan Baru dengan Kemandirian
Ekosistem media yang tidak sehat turut menurunkan kualitas karya jurnalistik. Demi mengejar trafik, berita lebih mementingkan umpan klik (”click bait”) dengan judul sensasional. Media perlu membangun keseimbangan baru.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuatnya pengaruh platform digital global, baik dalam distribusi maupun monetisasi konten, berdampak disruptif bagi media massa. Media perlu membangun titik keseimbangan baru dengan kemandirian relatif. Intervensi negara juga tidak kalah penting lewat regulasi yang menyehatkan ekosistem media.
Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) JakartaAgus Sudibyo mengatakan, dalam hubungan media dengan platform digital, disrupsi total yang menggerus eksistensi media konvensional bukanlah satu-satunya kemungkinan. Terwujudnya titik keseimbangan baru bisa menjadi kemungkinan lainnya. Dalam hal ini, media lama dan baru berdampingan untuk memenuhi kebutuhan informasi.
Akan tetapi, keseimbangan baru itu tidak bisa dicapai tanpa sejumlah perbaikan. Salah satu kuncinya ialah membuat diferensiasi dengan menyajikan konten berkualitas yang sulit ditemukan di media sosial.
”Media harus membangun kemandirian relatif. Meski menggunakan media sosial, tetapi tetap mengembangkan platform internal dan bisnis lain yang tidak bergantung pada platform digital,” ujar Agus dalam seminar dan bedah buku karyanya berjudul Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Agus menilai persaingan platform digital dengan media tidak seimbang. Dalam belanja iklan digital, misalnya, sebesar 70 persen dikuasai dua perusahaan asing, Google dan Facebook. Sementara ribuan media massa nasional dan lokal memperebutkan 30 persen belanja iklan digital yang tersisa.
Pengembangan model bisnis di luar platform digital sangat penting. Ketergantungan yang terlalu besar pada iklan programatik justru mesti dihindari.
Dalam jangka pendek, iklan programatik seperti pendapatan pasif atau passive income yang terkesan menguntungkan. Iklan akan datang sendiri selama traffic situs web tinggi.
Persaingan platform digital dengan media tidak seimbang. Dalam belanja iklan digital, misalnya, sebesar 70 persen dikuasai dua perusahaan asing, Google dan Facebook. Sementara ribuan media massa nasional dan lokal memperebutkan 30 persen belanja iklan digital yang tersisa.
Akan tetapi, dalam jangka panjang, semakin besar pendapatan pasif akan menyusutkan kendali pengelola media terhadap bisnisnya. Berita tidak lagi dinilai dari kualitasnya, tetapi jumlah klik dan komentar demi mengejar traffic.
”Media tidak sustain kalau pendapatan pasifnya terlalu tinggi, misalnya mencapai 80 persen. Namun, kalau tidak mendapatkan AdSense, berarti medianya juga tidak improve,” katanya.
Algoritma media sosial dan mesin pencari telah mendorong media menghasilkan konten dengan sharebility tinggi. Namun, skema ini bisa menjadi tidak berguna jika sewaktu-waktu platform digital mengubah algoritmanya dengan berbagai alasan.
Agus menambahkan, membangun kemandirian relatif bukan berarti media massa memutus relasi dengan platform digital. Namun, media tidak bergantung sepenuhnya secara ekonomi dan teknologi pada platform tersebut.
”Media harus kembali ke good jurnalisme. Bukan karena idealisme, melainkan strategi bisnis. Pengiklan lebih determinatif dalam melihat perilaku platform,” ucapnya.
Wakil Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya menuturkan, setiap perubahan akan membawa konsekuensi. Begitu juga dengan dampak transformasi digital terhadap media massa.
Bukan hanya media, platform digital juga tidak luput dari berbagai konsekuensi perubahan itu. Google, misalnya, telah mengumumkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 12.000 karyawannya.
”Era sudah berubah, tetapi kerja-kerja jurnalis yang berkualitas tetap penting dan dibutuhkan,” ujarnya.
”Publisher rights”
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong mengatakan, ekosistem bisnis media di Tanah Air tidak seimbang. Sebab, platform global mendominasi distribusi dan monetisasi konten.
Oleh karena itu, ekosistem media perlu diatur lewat regulasi untuk mencapai jurnalisme berkualitas. Pemerintah memfasilitasi pembentukan regulasi untuk melindungi hak penerbit atau publisher rights.
Usman menuturkan, regulasi yang dirancang berbentuk peraturan presiden (perpres) mengenai kerja sama platform digital dan media untuk mendukung jurnalisme berkualitas. ”Baru diajukan izin prakarsa (penyusunan perpres) ke presiden. Ini regulasi antara. Di masa depan tidak tertutup kemungkinan akan dibentuk regulasi lebih tinggi seperti undang-undang,” ujarnya.
Menurut Usman, ekosistem media yang tidak sehat juga menurunkan kualitas karya jurnalistik. Sebab, demi mengejar traffic, berita lebih mementingkan umpan klik atau click bait menggunakan judul sensasional.
Ketimpangan bisnis media itu juga disampaikan oleh Rektor Universitas Media Nusantara (UMN) yang juga jurnalis senior Kompas, Ninok Leksono. ”Membaca buku ini membuat mengelus dada. Kita tinggal menjumput remah-remah yang disisakan raksasa (platform digital) global,” katanya.
Ketua Dewan Pers periode 2010-2013 dan 2013-2016 Bagir Manan menyampaikan, transformasi digital menghadirkan sejumlah tantangan. Hal ini membuat media perlu beradaptasi dan mengembangkan kemampuannya.
”Bagaimana mengatasi masalah ini? Mari kita pikirkan agar disrupsi cukup sampai merecoki, tidak sampai mengambil alih,” ujarnya.