Makan dengan Bahagia Kunci Mencapai Berat Badan Ideal
Banyak orang gagal diet meski sudah makan makanan sehat dan membatasi kalori. Mereka umumnya stres dan tidak bahagia saat makan makanan sehat. Akibatnya, nafsu makan justru naik dan berat badan ideal kian sulit dicapai.
Bulan Januari 2023 hampir berakhir. Sebagian orang bercita-cita memiliki berat badan ideal sebagai resolusi tahun barunya mulai berguguran. Berbagai upaya membatasi asupan dan membakar kalori tak memberi hasil yang diharapkan. Bahkan, sebagian orang mengulang kegagalan karena program diet yang dijalani terasa menyiksa.
Selama ini upaya mencapai berat badan ideal terfokus pada pembatasan kalori. Mengatur pola makan, mengurangi asupan karbohidrat dan memperbanyak serat, diet puasa (intermittent fasting), serta membeli makanan yang diiklankan sehat banyak dilakukan.
Demikian pula olahraga rutin, ikut klub kebugaran, hingga membeli alat olahraga. Namun, banyak orang lupa menjaga pikiran dan perasaan mereka untuk bahagia, bahkan stres dengan diet yang dijalani.
Padahal, keyakinan kita akan makanan bisa memengaruhi cara tubuh merespons dan mengolah makanan. Pikiran kita tentang makanan, bahagia atau menderita dengan makanan tertentu, akan membentuk nafsu makan kita secara psikologis maupun fisiologis.
Tubuh dan pikiran merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan dan memiliki relasi unik. Keduanya berkomunikasi melalui jaringan pembawa pesan, baik saraf, neurotransmiter, atau hormon. Akibatnya, kesehatan fisik dan emosional saling memengaruhi.
Pikiran kita tentang makanan, bahagia atau menderita dengan makanan tertentu, akan membentuk nafsu makan kita secara psikologis maupun fisiologis.
Kondisi biologi dan kimia di tubuh bisa memengaruhi suasana hati dan emosi serta pikiran dan keyakinan kita. Demikian pula sebaliknya. Koneksi tubuh dan pikiran yang sama juga terbangun ketika kita menjalankan diet . Saat makan, sensor di dalam sistem pencernaan kita akan memberi gambaran tentang seberapa banyak makanan yang sudah dimakan.
Baca juga : Diet Tepat Atasi Obesitas
Namun, memori tentang apa yang kita makan dan harapan kita terhadap makanan itu akan menentukan bagaimana otak menginterpretasi sinyal-sinyal dari berbagai sensor tersebut. Interpretasi itulah yang akan menentukan seberapa besar rasa lapar akan muncul kembali setelah makan.
Pesan berbeda
Setiap orang menangkap pesan yang berbeda terhadap makanan yang sama hingga menimbulkan harapan yang berbeda pula.
Salah satu jenis makanan yang diiklankan masif cocok untuk menunjang program diet adalah camilan batangan yang mengandung aneka biji-bijian dengan dibalut cokelat. Tentu, banyak model makanan serupa yang dipropagandakan cocok untuk diet.
Sebagian orang mengingat camilan batangan itu sebagai ”makanan sehat yang kaya protein, vitamin, dan tinggi serat”. Namun, orang lain memaknainya sebagai ”camilan rasa cokelat yang enak”. Dua slogan itu biasanya digunakan dalam iklan untuk memberi keyakinan bahwa camilan sehat dan cocok untuk diet itu juga bisa enak.
Meski demikian, kedua slogan itu belum tentu ditangkap konsumen secara sama. Orang yang mengasumsikan camilan itu sebagai makanan ”sehat”, seperti dikutip dari BBC, 2 Maret 2022, kurang kenyang dengan makanan itu dibandingkan dengan orang yang menganggap camilan sama sebagai makanan ”enak”.
Bahkan, mereka yang menanamkan pikiran bahwa camilan itu ”sehat” justru merasa lebih lapar dibandingkan dengan orang yang tidak makan camilan tersebut.
Munculnya stereotipe makanan sehat tidak enak, tak mengenyangkan, hingga membuat kurang bahagia itu, menurut Alia Crum, psikolog kesehatan di Laboratorium Tubuh dan Pikiran, Universitas Stanford, Amerika Serikat, di kanal Youtube Stanford Alumni, 11 Februari 2022, adalah buah simplifikasi konsep makanan sehat.
Baca juga : Diet Mediterania Memperpanjang Usia
Pandangan ini berdampak besar pada keberhasilan diet. Studi Crum pada 2010-an yang menguji respondennya dengan susu kocok (milkshake) memberi hasil sama dengan camilan batangan mengandung biji-bijian dan cokelat. Ketika studi, responden diberi susu kocok dengan kandungan nutrisi sama, tetapi memiliki label berbeda.
Salah satu label menggambarkan susu kocok sebagai ”surga dalam botol” yang enak, lezat, dan menggunakan es krim yang lembut serta memiliki kandungan 620 kalori. Sementara susu kocok yang sama dilabeli sebagai minuman ”ringan dan sehat” dengan kandungan hanya 140 kalori.
Sebelum dan sesudah mengonsumsi susu kocok itu, responden diambil darahnya untuk mengetahui kadar ghrelin di tubuh, yaitu hormon yang mengatur rasa lapar dan mengendalikan nafsu makan. Hormon ini akan meningkat saat seseorang merasa lapar.
Dikutip dari Healthline, 8 Oktober 2021, semakin tinggi kadar ghrelin, kian lapar yang dirasakan seseorang. Setelah perut diisi makanan, kadar ghrelin dalam darah akan menurun. Semakin rendah kadar ghrelin, makin besar rasa kenyang seseorang sehingga ke depannya akan membuat orang tersebut mengonsumsi lebih sedikit kalori.
Baca juga : Mitos Diet Air Lemon
Karena itu, orang yang ingin menurunkan berat badan penting menjaga ghrelin tetap rendah.
Hasil studi Crum menunjukkan, orang yang menilai susu kocok sebagai minuman yang menyenangkan akan mengalami kenaikan dan penurunan ghrelin lebih drastis dibandingkan dengan mereka yang mengingat susu kocok sebagai minuman rendah kalori.
Artinya, orang yang memandang susu kocok itu sebagai minuman sehat mudah lapar dan ingin makan terus meski kandungan nutrisi kedua susu kocok itu sejatinya sama.
Studi itu menunjukkan informasi label ada makanan saja bisa memberi persepsi berbeda yang akan disimpan dalam memori manusia. Pola pikir itu akan mengubah respons hormonal tubuh terhadap makanan yang kita makan.
Berbagai jargon pada makanan ”sehat” rendah karbohidrat dan tinggi protein seperti ringan, berfaedah, atau masuk akal, menurut New Scientist, 29 Desember 2021, membuat tubuh bersiap makan sesuatu yang tidak enak dan tidak menyenangkan. Konsekuensinya, tubuh biasanya akan memilih makanan lain yang dianggap lebih enak, lezat, dan biasanya tinggi kalori.
Respons tubuh itulah yang dialami saat orang mengonsumsi susu kocok yang enak dan memanjakan dan dilabeli tinggi kalori. Efek ekspektasi yang tinggi terhadap makanan membuat menu dengan label sehat justru sering kali tidak memberikan kepuasan dan kesenangan.
Akibatnya, orang yang memilih makanan sehat cenderung tidak mampu bertahan lama menjalankan program dietnya.
Makanan sehat dengan kalori terbatas juga sering dibayangkan sulit mengenyangkan. Akibatnya, sering kali rasa ingin makan meningkat dan kadar hormon leptin yang mengindikasikan kekenyangan turun. Situasi ini pada akhirnya akan menurunkan metabolisme tubuh, khususnya jika pembatasan kalori dilakukan dalam waktu lama.
Di sisi lain, ekspektasi kekurangan makanan alias tidak kenyang justru makin menghambat pembakaran energi lebih banyak. Alhasil, proses penurunan berat badan pun makin sulit dilakukan.
Sikap terhadap pangan
Pengaruh ekspektasi tidak berhenti di situ. Sikap kita terhadap makanan juga bisa memengaruhi seberapa cepat makanan bergerak dalam sistem pencernaan kita serta bagaimana zat-zat gizi mikro diserap tubuh. Ketika pikiran kita merasa kekurangan, kurang kenyang, tubuh menyerap lebih sedikit zat gizi penting pada makanan.
Karena itu, mereka yang ingin melakukan diet demi mendapat berat badan ideal sesuai tinggi badan, jangan pernah melupakan kebahagiaan, kenikmatan, dan kesenangan saat makan. Makanan rendah kalori tetap bisa jadi pilihan, tapi pilih makanan yang disajikan dengan rasa enak, menggoda selera, serta tampilan menarik.
Proses makan pun menjadi penting. Sebelum mengonsumsi makanan rendah kalori itu, siapkan langkah antisipasi dalam pikiran kita dengan membayangkan makanan yang akan dikonsumsi sangatlah enak sehingga kita bisa menikmatinya dengan bahagia.
Saat makanan itu disajikan dan kita siap menyantapnya, berusahalah secara sadar untuk menikmati setiap suap kelezatan yang ada di depan kita tersebut. Selain itu, cheating alias melonggarkan program diet seminggu sekali dengan mengonsumsi makanan enak dengan lebih banyak kalori dari makanan biasanya tak jadi masalah.
Namun, pastikan menikmatinya dengan sungguh-sungguh dan tanpa ada rasa bersalah demi menghadiahi keberhasilan diri menjaga asupan makanan selama enam hari sebelumnya.
Menikmati cheating seminggu sekali dengan bahagia saat diet panjang jauh lebih baik karena munculnya rasa bersalah tak menghasilkan apa pun. Orang yang memandang kue cokelat sebagai bentuk penghargaan diri lebih bisa mendapat hasil dari program diet daripada mereka yang memandang kue cokelat sepekan sekali sebagai masalah.
Karena itu, diet penting, tetapi jangan lupa untuk tetap bahagia. Selamat menikmati makanan dengan bahagia.