
JAKARTA, KOMPAS — Trauma berat dapat menghantui korban pemerkosaan hingga seumur hidupnya. Penanganan kasus pemerkosaan dengan cara ”damai” malah bisa memperparah trauma korban. Setiap kasus perlu diselesaikan secara hukum dan berkepihakan kepada korban.
Kasus pemerkosaan gadis 15 tahun yang terjadi pada akhir 2022 di Brebes, Jawa Tengah, oleh enam pemuda berakhir damai. Korban dan keluarganya sempat diancam dan diminta untuk menandatangani surat pernyataan bermeterai yang berisi pantangan untuk korban melaporkan kasus pemerkosaan ke kepolisian.
Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 833 kasus pengaduan kejahatan seksual pada anak sepanjang 2022. Angka ini, menurut KPAI, masih terlalu kecil mengingat kekerasan banyak terjadi di ranah privat dan tidak terlaporkan.
Psikolog anak dan remaja Novita Tandry mengatakan, korban pemerkosaan pada umumnya akan mengalami trauma sedang hingga berat. Trauma ini dapat memicu korban untuk melukai diri sendiri, bahkan percobaan bunuh diri ketika tidak ditangani dengan tepat. ”Luka” pada tubuh korban yang direnggut secara paksa akan dipikulnya seumur hidup.
Baca juga: Kasus Pemerkosaan di Brebes Harus Diproses Hukum
”Ada lima tahapan kesedihan yang akan dialami korban, mulai dari penyangkalan, marah, menawar, depresi, dan penerimaan. Tahapan ini dapat berlangsung bolak-balik dan lama tergantung ketahanan psikologis korban serta memerlukan pendampingan khusus,” ujar Novita, Rabu (18/1/2023).

Dalam kondisi parah, kata Novita, rasa trauma dapat membuat korban mengalami gangguan mental kronis seperti bipolar dan skizofrenia. Bipolar merupakan gangguan pada alam perasaan yang berbentuk suasana hati depresi atau sebaliknya, suasana hati mania atau hipomania, yakni gejala marah, gelisah, atau bingung berlebihan. Sementara skizofrenia adalah gangguan jiwa berat berupa hilang kontak dengan kenyataan—sulit membedakan hal nyata dan tidak.
Upaya damai yang terjadi akan semakin memperparah kondisi trauma korban. Perasaan tidak ada yang membela dan menghadapi semuanya sendirian akan muncul dan terus menghantui korban. Lebih parah, hal ini akan mengganggu proses lain dalam hidupnya, seperti pendidikan, sosial, dan romansa.
Sewaktu kembali ke masyarakat, korban akan sulit membina hubungan sosial, khususnya dalam mencari pasangan hidup. Rasa takut pada cemoohan dan stigma dari masyarakat terus menghantui kehidupan sosial korban. Bayangan tragedi pemerkosaan juga akan dialami korban secara terus-menerus seumur hidupnya.
Jangan sampai semuanya sudah terlambat dan korban memilih jalan singkat kematian, karena itu sudah terjadi berulang. Damai bukan jawaban karena meruntuhkan hak-hak keadilan dan masa depan korban.
Menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, dalam kondisi masyarakat tradisional saat ini, korban akan mendapat stereotipe yang buruk dari lingkungannya. Korban akan dijauhi oleh teman-temannya, dilabeli sebagai perempuan yang dapat dibeli dan lain sebagainya.
”Kalau tidak diselesaikan, korban juga akan mendapat sanksi sosial dari lingkungan mengingat budaya patriarkis masih mengakar dalam pola pikir masyarakat tradisional,” ucap Derajad.
Kondisi ini melekat pada korban hingga akhir hidupnya. Penyelesaian secara damai semakin memperkuat sanksi sosial yang perlu ditanggung oleh korban dan keluarganya. Pelaku masih berkeliaran dan belum mendapat efek jera serta berpotensi melakukan hal yang sama terhadap korban lainnya.

Peristiwa ini semakin menambah daftar panjang preseden buruk penanganan kejahatan seksual Indonesia. Dalam jangka panjang, hal seperti ini dapat terjadi lagi dan semakin memperkuat pola pikir obyektivikasi perempuan.
Ahli seksologi dan ginekologi, Boyke Dian Nugraha, menyebutkan, kondisi fisik pada alat kelamin perempuan dapat mengalami kerusakan saat ada paksaan dalam berhubungan seks. Kerusakan ini dapat berupa robek dan luka yang membuka ruang komplikasi serta infeksi penyakit, seperti gonore, klamidia, kutil kelamin, herpes, sifilis, dan trikomoniasis.
Selain itu, memar dan luka pada tubuh korban saat pemerkosaan berlangsung dapat membekas. Meskipun demikian, ucap Boyke, kondisi fisik dapat diperbaiki dengan pengobatan dan operasi, tetapi kesehatan psikologis korban akan lama untuk dipulihkan.
Kejahatan seksual pada anak juga akan menggerus kecerdasan emosi serta melahirkan masalah baru pada tumbuh kembang anak.
Selesaikan secara hukum
Derajad menuturkan, tidak semua masalah sosial dapat diselesaikan secara hukum dan masalah hukum diselesaikan secara sosial. Pada kasus pemerkosaan adalah masalah hukum dan harus diselesaikan sesuai hukum yang berlaku. Apalagi ada ancaman dan ditengahi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tidak jelas keberpihakannya.
”Apakah masalah pemerkosaan dapat selesai? Apakah kondisi mental dan psikologis korban dapat normal kembali setelah proses damai? Tentu saja tidak dan proses hukum harus berjalan,” ujarnya, menambahkan.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyampaikan, upaya damai dalam kasus pemerkosaan di Brebes sama seperti membunuh korban. Hal ini menunjukkan pilunya penyelesaian kejahatan seksual pada anak secara privat.
Baca juga: ”Perdamaian” dalam Kasus Pemerkosaan di Brebes Dikecam
Kalau tidak ada yang menjamin korban dari figur terdekat, penyelesaian kasus kejahatan seksual secara privat akan terus terjadi. Penyelesaian secara privat berarti tidak ada masyarakat yang terpanggil menjadi pelopor dan pelapor. Secara tidak langsung, lanjut Jasra, ini akan terus mengembangkan sel-sel kekerasan dan kejahatan kepada anak.
”Jangan sampai semuanya sudah terlambat dan korban memilih jalan singkat kematian, karena itu sudah terjadi berulang. Damai bukan jawaban karena meruntuhkan hak-hak keadilan dan masa depan korban,” kata Jasra.
Selain itu, kejahatan seksual pada anak juga akan menggerus kecerdasan emosi serta melahirkan masalah baru pada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, pelibatan seluruh pihak berperan krusial agar kekerasan dan kejahatan seksual tidak selesai di ranah privat.