Pemerkosaan meninggalkan trauma mendalam bagi korban sepanjang hayatnya. Maka, janganlah ada penyelesaian secara ”damai” apalagi sampai menikahkan korban dengan pelaku. Hukum harus ditegakkan, pelaku harus diadili.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
SM (45), pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, beserta barang bukti yang disita Polres Metro Depok, Jabar, Senin (15/6/2020).
Kejahatan seksual terus membayangi perempuan dan anak-anak di Tanah Air. Namun, penyelesaiannya kerap kali tak melihat perspektif korban. Jalan ”damai”, seperti terjadi dalam kasus pemerkosaan anak berusia 15 tahun di Brebes, Jawa Tengah, tak hanya jadi preseden buruk, tetapi juga merenggut hak korban mendapat keadilan atas tragedi yang dialaminya.
Penyelesaian damai antara korban dan enam pelaku pemerkosaan, yang disertai paksaan dan ancaman, mengundang perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta lembaga perlindungan anak dan perempuan.
Hal ini disebabkan dalam kasus itu korban dan keluarga ditekan oleh pihak pelaku agar mau menandatangani surat pernyataan bermeterai. Dalam surat itu tertulis, jika korban atau keluarga melapor ke kepolisian, mereka akan dituntut balik oleh para pelaku. Belajar dari kasus ini, masyarakat yang menjadi korban kekerasan seksual diminta agar tidak memilih penyelesaian damai dalam ada kasus kekerasan seksual.
Kami sudah mendesak agar kasus tersebut dilaporkan dan diproses sesuai UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (Nahar)
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar memastikan proses hukum harus ditempuh. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas PPPA Brebes bersama Kepolisian Resor Brebes, termasuk lembaga swadaya masyarakat setempat, agar dilakukan langkah-langkah hukum.
Soal tawaran damai dari pihak pelaku dan keluarga, Nahar mengakui hal itu jadi tantangan bagi semua pihak, terutama aparat penegak hukum dan pendamping korban.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak ditampilkan di Markas Polresta Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/9/2020). Hingga pertengahan September 2020, tercatat 37 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Cirebon.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menegaskan, pihaknya akan memastikan korban terlindungi dan mendukung polisi untuk mengusus tuntas kasus tersebut. Kepada masyarakat, dia mengajak untuk tidak mengambil jalan damai, tetapi membawa kasus tersebut dalam proses hukum.
Kami mengecam keras upaya damai atas tindak pidana kekerasan seksual tersebut, apalagi kejahatan tersebut dilakukan beramai-ramai atau gangrape, yang berlipat kekerasan yang dilakukan dan dampak yang dialami korban. (Ai Maryati)
Seperti diberitakan (Kompas.id, Selasa, 17/1/2023), seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Desa Sengon, Kecamatan Tanjung, Brebes, menjadi korban pemerkosaan pada akhir tahun 2022. Pelakunya berjumlah enam orang.
Peristiwa berawal ketika korban dijemput oleh dua laki-laki di rumahnya lalu dibawa ke sebuah rumah kosong. Di rumah kosong itu sudah ada empat laki-laki lain. Selanjutnya korban dicekoki dengan minuman keras hingga tak berdaya. Korban lalu diperkosa oleh enam laki-laki tersebut.
Hingga kini, para pelaku masih belum ditangkap karena korban dan keluarga dipaksa untuk berdamai dan tidak membawa kasus itu ke jalur hukum. Pihak pelaku juga menyerahkan sejumlah uang ”damai” kepada korban.
Ironisnya, proses damai itu difasilitasi oleh sebuah LSM setempat dan dilakukan di rumah kepala Desa Sengon pada 29 Desember 2022. Tak hanya itu, perdamaian itu juga diketahui oleh ketua rukun tetangga, kepala dusun, dan tokoh masyarakat setempat.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga membubuhkan tanda tangan saat aksi damai menolak kekerasan seksual pada perempuan di Jalan Darmo, Surabaya, Minggu (9/12/2018).
Menghindari jerat hukum
Penyelesaian secara damai seperti dalam kasus pemerkosaan di Brebes bukanlah yang pertama. Praktik tersebut hingga kini masih terjadi di masyarakat. Pada tahun 2022, misalnya, penyelesaian damai juga terjadi dalam kasus pemerkosaan di Tuban, Kediri, dan sejumlah tempat.
Banyak kasus kekerasan seksual tidak berlanjut ke pengadilan karena korban dan keluarga sering ”dipaksa” untuk menempuh jalan damai. Cara-cara seperti itu sering terjadi terutama dalam kasus korbannya anak-anak, yang tak punya daya tawar, karena keputusan diambil orangtua atau keluarganya.
Upaya damai sering dijadikan celah oleh pelaku dan keluarga pelaku, sebagai cara untuk menghindari jerat hukum, terutama dalam kasus pemerkosaan. Bahkan, karena tekanan atau kuatnya relasi kuasa pelaku/keluarga pelaku terhadap korban/keluarga, sering kali penyelesaian ”damai” dalam kasus pemerkosaan berakhir dengan cara korban dinikahkan dengan pelaku.
Selain alasan untuk kebaikan korban, sejumlah alasan digunakan pelaku dan keluarganya untuk menekan korban dan keluarganya menempuh jalan damai. Misalnya, korban akan ada yang mengurus dan bertanggung jawab, apalagi jika sampai korban sampai hamil.
Ada juga yang menekan keluarga korban yang masih awam hukum, dengan menyampaikan jika korban menempuh jalur hukum prosesnya akan panjang dan mengeluarkan biaya besar.
Padahal, pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan yang meninggalkan trauma sepanjang hayat pada korban. Bagi, korban peristiwanya akan sulit terhapus dalam ingatannya dan menjadi mimpi buruk setiap waktu, bahkan menghancurkan kehidupan masa depan korban.
Karena itu, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara tegas mengatur bahwa penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku yang masih berusia anak-anak.
Maka, upaya mendorong korban pemerkosaan dan pelaku untuk tidak menerima tawaran damai dari pihak korban dan keluarga haruslah menjadi perhatian semua pihak. Keluarga korban dan masyarakat harus terus diedukasi bahwa dampak dari pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya sangatlah besar bagi korban.
Asfinawati, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan advokat hak asasi manusia, mengingatkan agar tidak ada kompromi dengan kasus-kasus kerasan seksual. Sebab, kekerasan seksual yang menimbulkan dampak kerusakan amat luas dalam hidup korban, yang tidak banyak terlihat, dan membuat korban tidak berdaya, bahkan tidak banyak yang bersuara.
Tak hanya itu, kasus kekerasan seksual bisa menstempel, mengecap korban sejak detik terjadinya hingga detik terakhir hidupnya. Sementara bagi korban sendiri, dampaknya jauh lebih parah. Kekerasan seksual sulit terhapus dalam ingatan korban karena menyentuh wilayah keintiman privasi dari manusia.
Mungkin karena menyerang hal paling pribadi dengan cara pribadi, menyerang bagian yang tidak kita bagi secara sama kepada semua orang, menyerang dengan esensi paling mendasar dari kemanusiaan diri kita, lapisan terdalam kita. (Asfinawati)
Karena itu, seharusnya negara hadir memberikan perhatian yang lebih besar, untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan tersebut, agar tidak terus berjatuhan.