Kesehatan Presisi Perlu Data Akurat Ekspresi Gen
Kesehatan presisi membutuhkan data mengenai genetika dan ekspresi gen manusia Indonesia yang beragam. Penelitian mengenai hal ini di Indonesia sejauh ini sangat terbatas.
BULUNGAN, KOMPAS — Melalui riset belasan tahun, para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memetakan pola genetika manusia Indonesia. Setelah lembaga ini dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional tahun lalu, sebagian peneliti yang kini bergabung di sejumlah lembaga riset lainnya mulai memetakan ekspresi gen dan metilasi kelompok etnis yang bisa jadi dasar bagi kesehatan presisi di Indonesia.
”Kami akan mengumpulkan sampel darah lagi di Punan Batu,” kata Pradiptajati Kusuma, peneliti posdoktoral di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), yang sebelumnya bekerja di LBM Eijkman, di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Selasa (17/1/2023).
”Kali ini yang kami analisis bukan DNA (deoxyribonucleic acid) lagi, melainkan RNA (ribonucleic acid) untuk melihat ekspresi gen terhadap perubahan gaya hidup dan lingkungan. Riset terkait RNA ini di Indonesia masih sangat terbatas,” tuturnya.
Pengambilan sampel terhadap Punan Batu yang masih tinggal di hutan sekitar Sungai Sajau, Kalimantan Utara, ini direncanakan dimulai pada Selasa hingga Rabu (18/1/2023) ini.
Sebelumnya, Pradiptajati dan tim telah mengumpulkan dan menganalisis genetika orang Punan Batu yang masih berburu dan meramu dan membandingkannya dengan kelompok etnis Punan lain dan sejumlah etnis Dayak di Kalimantan.
Baca juga: Infrastruktur Kesehatan Presisi Belum Siap
Laporan kajiannya yang diterbitkan di jurnal Evolutionary Human Science menunjukkan, leluhur Punan Batu ini berasal dari Asia daratan (mainland Asia), sebagaimana orang Aslian di Malaysia, yang jika dirunut juga berbagi leluhur dengan orang Andaman yang bermigrasi puluhan ribu tahun lalu dari Afrika.
Punan Batu mendapat tambahan bauran genetik dari leluhur pra-Austronesia dari Asia Timur dan diperkirakan tiba di Kalimantan sejak 8.000 tahun lalu. ”Kalau analisis genetika lebih untuk menjawab asal-usul dan adaptasi genetik di masa lalu, kali ini kami akan melihat ekspresi gen terhadap perubahan saat ini,” ujarnya.
Sebagai contoh, Punan Batu yang awalnya beradaptasi dengan gaya hidup berburu meramu ribuan tahun, kemudian dilihat apakah ada perubahan ekspresi dalam gen mereka setelah mulai menetap dan berubah pola konsumsinya.
Pradiptajati mengatakan, data mengenai ekspresi gen terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi merupakan fondasi penting bagi pengobatan presisi. Padahal, selain keberagaman kelompok etnis, lingkungan dan gaya hidup masyarakat di Indonesia berbeda-beda sehingga ekspresi gennya kemungkinan sangat berbeda.
”DNA itu cetak birunya, tetapi tidak semuanya diekspresikan. Mana yang diekspresikan secara berlebih, kurang, atau normal itu akan menandai adaptasi gen terhadap perubahan lingkungan dan gaya hidup itu. Nah, RNA ini bisa melihat mana yang diekspresikan lebih dibandingkan lain,” katanya.
Baca juga: Mendorong Kedokteran Presisi
Pradiptajati mencontohkan riset Irene Gallego Romero dari University of Melbourne yang berkolaborasi dengan para peneliti eks LBM Eijkman menemukan bahwa gen terkait imunitas di masyarakat di Korowai, Papua, diekspresikan lebih banyak dibandingkan masyarakat di Mentawai dan Sumba.
DNA itu cetak birunya, tidak semuanya diekspresikan. Mana yang diekspresikan secara berlebih, kurang, atau normal menandai adaptasi gen terhadap perubahan lingkungan dan gaya hidup itu.
”Hal itu karena paparan patogen di Mapi lebih tinggi sehingga gen terkait imunitas diekspresikan lebih tinggi,” katanya.
Irene Gallego Romero dalam presentasinya mengatakan, riset yang memetakan perbedaan ekspresi gen yang bervariasi antar individu dan lingkungan di Indonesia masih sangat terbatas. Padahal, hal ini menjadi dasar untuk keberhasilan kedokteran molekuler.
Sebagian besar studi tentang ekspresi gen, terutama pada individu sehat, melibatkan populasi keturunan Eropa. Di Indonesia yang memiliki populasi besar dan keragaman genetik tertinggi belum dipahami karakteristik genomiknya terkait ekspresi gen ini karena keterbatasan data.
Dengan memeriksa genom dari 116 individu di Korowai, Mentawai, dan Sumba, Irene dan tim menemukan adanya perbedaan ekspresi gen dan metilasi di antara ketiga populasi ini. Perbedaan ini menegaskan tentang adaptasi kelompok populasi ini terhadap lingkungan yang spesifik, termasuk terhadap berbagai penyakit endemik, misalnya terkait malaria.
Mikrobioma
Ahli genetika yang mendalami nutrigenomik dari MRIN, Safarina G Malik, mengutarakan, selain meneliti RNA, dalam kajian ini juga akan dilakukan analisis mikrobioma orang Punan Batu dibandingkan populasi lain.
Mikrobioma merupakan kumpulan triulan mikroba di saluran pencernaan manusia yang memiliki pengaruh bagi kesehatan. Karakteristik mikrobioma ini bisa berbeda di etnik yang berbeda dan hidup di lingkungan berbeda.
Menurut Safarina, populasi Indonesia sangat beragam dan unik. ”Tidak ada yang sama dari Barat dan Timur, selain keragaman genetik juga paparan lingkungan, budaya, makanannya, dan interaksi sosialnya berbeda-beda. Ini membutuhkan entri data besar sebelum kita bisa memetakan karakteristik kesehatan dan kerentanan penyakitnya,” kata Safarina, yang sebelumnya juga bekerja di LBM Eijkman.
Baca juga: Punan Batu, Pemburu Terakhir Kalimantan yang Kian Terdesak
Kebanyakan layanan kesehatan yang saat ini mempromosikan pengobatan presisi, belum didasarkan pada kekhasan karakteristik genetika manusia Indonesia. Namun, hal ini kerap didasarkan referensi studi genetika di negara lain, yang belum tentu sesuai dengan kondisi manusia di Indonesia.
Sebagai contoh, gen TCF7L2 yang berada di faktor transkrip dan banyak dilaporkan terkait modulator sel lemak yang memengaruhi obesitas. Pada orang Kaukasia, frekuensi alelnya rata-rata sangat tinggi, bisa mencapai 30 persen. Tetapi begitu diperiksa di populasi Indonesia hanya 2 persen.
”Bukan berarti orang Indonesia tidak punya risiko itu. Ternyata lokasi gen ini pada orang Indonesia berada di panel lain sehingga jika hanya menggunakan referensi di negara Barat, belum tentu ketemu,” ungkapnya.
Menurut Safarina, selain pengumpulan data genonik berbasis layanan kesehatan sebagaimana saat ini hendak dibangun BGSi, riset-riset dasar untuk memetakan karakteristik genetika manusia Indonesia juga masih sangat diperlukan.
Adaptasi manusia pada lingkungan yang spesifik dalam jangka panjang, kerap membentuk karakteristik genetik yang khas, berbeda dengan populasi lain.
Dia mencontohkan, orang Inuit di Kutub Utara yang memiliki risiko kardio rendah, padahal makanannya didominasi sumber hewani. ”Ternyata enzim mereka sudah berevolusi dan beradaptasi. Mereka punya variasi genetik yang bisa mengubah lemak hewan tidak menjadi Omega 6, tetapi jadi Omega 3,” katanya.
Hal serupa terjadi dengan genetika orang Papua, yang memiliki kekhasan di antaranya karena ada tambahan genetika dari manusia arkaik, Denisovan dengan persentase tertinggi di dunia, yaitu mencapai 5 persen.
Baca juga: Punan Kalimantan Memiliki Genetik Berbeda dengan Dayak
Beberapa kajian menemukan, fragmen-fragmen DNA Denisovan yang terintrogresi di Papua di terutama rantai gen TNFAIP3 dan WDFY2 yang memiliki frekuensi tertinggi. Varian genetik Denisovan ini diujikan pada mencit dengan teknologi CRISPR/Cas9 oleh Zammit dkk di Nature Immunology tahun 2019.
Hasilnya menunjukkan bahwa mencit yang membawa varian genetik Denisovan pada gen TNFAIP3 dapat menunjukkan imunitas yang lebih baik dibandingkan kontrol. Ini menujukkan bahwa varian DNA Denisovan yang terintrogresi membantu adaptasi manusia Papua modern terhadap patogen.
Sementara itu, rantai gen WDFY2 turut meningkatkan metabolisme lipid atau lemak jadi energi. Rantai gen ini membantu leluhur Papua jadi pemburu dan peramu serta beradaptasi dengan pola hidup berpindah-pindah yang membutuhkan diet tinggi protein hewani dan rendah karbohidrat.
Dari kajian ini, orang Papua mengonsumsi daging banyak bagus bagi metabolisme, sebaliknya bisa berisiko jika mengonsumsi lebih banyak karbohidrat.
Proses panjang
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam, yang dihubungi terpisah, mengatakan, pemetaan genetika populasi, seperti dirintis tim LBM Eijkman selama belasan tahun lalu, merupakan bekal penting dalam kedokteran presisi. ”Saya termasuk yang menyayangkan akhirnya LBM Eijkman dibubarkan,” katanya.
Jalan untuk mencapai kedokteran presisi di Indonesia masih sangat panjang dan tidak bisa instan. ”Selain infrastrktur yang baik, terutama adalah penguatan sumber daya manusia dan juga kolaborasi,” katanya.
Menurut Ari, Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) yang dibangun Kementerian Kesehatan saat ini masih belum siap. ”Sejauh ini baru pengumpulan sampel, baik sumber daya manusia maupun infrastuktur, belum siap untuk menjalankan WGS (whole genome sequencing),” tuturnya.
Ari mengharapkan pengembangan BGSi juga bisa berkolaborasi dan mendukung laboratorium-laboratorium lain yang sudah ada agar tidak memulai dari nol. ”Kami di UI sejak sepuluh tahun terakhir telah melakukan pengambilan sampel lambung orang Indonesia dari Aceh sampai Merauke,” ungkapnya.
”Selama tiga tahun terakhir bekerja sama dengan Jepang dan selama ini dukungan Pemerintah Indonesia kurang. Alih-alih mendukung yang sudah ada malah membangun baru,” katanya.
Baca juga: Kedokteran Presisi, Masa Depan Layanan Kesehatan
Menurut Ari, melalui riset ini, sebagai dokter spesialis penyakit dalam, sekarang bisa mengetahui adanya perbedaan kuman dan obat yang harus diberikan untuk pasien sakit lambung di Indonesia berdasarkan kecenderungan etnisitasnya. Sebab, ada distribusi alel varian CYP2C19 antaretnis.