Dibandingkan negara lain di Asia Pasifik, Indonesia tertinggal dalam pengembangan kesehatan presisi. Karena itu, Indonesia menginisiasi penelitian dan pengembangan kedokteran presisi yang terintegrasi di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, AHMAD ARIF, PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengobatan presisi, yang mempertimbangkan faktor genetika individu, adaptasi lingkungan, dan gaya hidup kian berkembang dan menjadi masa depan pencegahan, diagnostik, serta perawatan kesehatan. Namun dibandingkan negara lain di Asia Pasifik, Indonesia ketinggalan dalam pengembangan kesehatan yang dipersonalisasi ini karena ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Laporan Indeks Kesehatan yang Dipersonalisasi Asia Pasifik 2020 menunjukkan, skor RI 29, di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik yang memiliki skor 51. Negara dengan skor tertinggi, yakni Singapura dengan skor 71, disusul Taiwan (67), dan Jepang (64). Penilaian oleh The Copenhagen Institute for Futures Studies dan Roche ini diukur menurut empat kriteria, yakni konteks kebijakan, informasi kesehatan, kemampuan teknologi yang dipersonalisasi, dan layanan kesehatan.
”Posisi Indonesia ada di urutan terakhir dalam konteks kebijakan dan informasi kesehatan, serta berkinerja sedikit lebih baik dalam layanan kesehatan,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dan Ketua Komisi Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Senin (16/1/2023). Ia salah satu panel ahli dalam penilaian ini.
Tiga negara teratas dalam indeks ini, yakni Singapura, Taiwan, dan Jepang, berkinerja terbaik di semua indikator. Thailand, Malaysia, China, dan India di bawah rata-rata, tetapi di atas Indonesia. ”Buruknya posisi di Indonesia terkait genomik dan pengobatan presisi tertinggal dalam infrastruktur dan SDM,” ujarnya.
Di Indonesia, riset genomik dulu dikembangkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman guna memetakan karakteristik genetik manusia Indonesia. Tahun lalu LBM Eijkman dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sehingga sebagian sumber daya manusianya tercerai-berai. ”Ini kemunduran bagi LBM Eijkman dan riset genetika Indonesia,” kata Herawati yang merintis pendirian Lembaga Eijkman bersama ahli genetika Sangkot Marzuki.
Mengatasi ketertinggalan
Kini RI mempersiapkan dan membangun ekosistem pengembangan kedokteran presisi guna mengungkit mutu kesehatan publik. Menurut Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Rizka Andalucia, di Jakarta, kemarin, pemerintah mulai menerapkan kesehatan presisi bagi masyarakat. Salah satunya melalui inisiatif Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi).
Posisi Indonesia ada di urutan terakhir dalam konteks kebijakan dan informasi kesehatan, serta berkinerja sedikit lebih baik dalam layanan kesehatan.
”Konsep BGSi adalah sebagai katalisator implementasi kedokteran presisi di Indonesia. Dalam dua tahun pertama, BGSi akan mengumpulkan data 10.000 sekuens dan biospesimen dengan data terintegrasi. Data ini akan dapat diakses untuk mengembangkan inovasi kesehatan terkait kedokteran presisi,” tutur Rizka.
Pengembangan kedokteran presisi jadi usaha pemerintah menyediakan layanan kesehatan lebih baik. Perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan tiap individu memiliki respons berbeda pada suatu terapi, tergantung kode genetik.
Nantinya BGSi mendukung delapan rumah sakit vertikal untuk memulai layanan kedokteran presisi berbasis genomik. Keterlibatan rumah sakit diharapkan mempercepat penerapan kesehatan presisi di masyarakat.
Sembilan proyek akan diusung, terdiri dari penanganan Covid-19, hWGS (pengurutan genom keseluruhan), dan tujuh penyakit prioritas seperti penyakit infeksi, penyakit metabolik, kanker, kelainan genetik, serta penuaan, dan nutrisi.
Penanggung jawab teknis BGSi, Ririn Ramadhany, menambahkan, persiapan harus dilakukan dalam penerapan inisiatif BGSi seperti kesiapan tenaga kesehatan, infrastruktur, dan keahlian SDM.
Herawati menyampaikan, Indonesia mesti mengatasi ketertinggalan dalam pengembangan kesehatan presisi. Selain membangun sistem pelaporan data dan kemampuan pemeriksaan genomik, para klinisi mesti menyadari data pasien amat berharga. ”Infrastruktur penyimpanan data harus bagus. Pengobatan presisi terkait mahadata,” ujarnya.
Menurut Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Indi Dharmayanti, pengembangan kedokteran presisi di Indonesia terkendala keterbatasan infrastruktur, khususnya laboratorium teknologi informasi guna melengkapi data genetik. Tantangan lain terkait keakuratan tes dan keterbatasan SDM.
Peneliti biologi molekuler dari Indonesia di John Curtin School of Medical Research, Australian National University, Ines Atmosukarto, yang juga tenaga ahli Kemenkes, menegaskan, konsep BGSi mesti dipastikan keberlanjutannya. Sebab, proses pengembangan hingga pemanfaatannya membutuhkan waktu panjang.