Era kedokteran presisi merupakan masa depan pelayanan kesehatan di masyarakat. Lewat kedokteran presisi, etiologi penyakit, risiko penyakit, diagnosis, dan pengobatan bisa lebih baik diberikan kepada seseorang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, AHMAD ARIF, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, HIDAYAT SALAM
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelayanan kedokteran terus berkembang seiring dengan teknologi yang semakin maju. Layanan kesehatan kian dimungkinkan menjadi lebih presisi sesuai dengan kebutuhan individu. Hal tersebut pun turut meningkatkan kualitas intervensi, baik dari sisi pencegahan, diagnosis, dan pengobatan di masyarakat.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, pelayanan kedokteran telah masuk pada era kedokteran presisi. Artinya, layanan kedokteran akan diberikan secara presisi pada setiap individu sesuai dengan karakteristik yang dimiliki, seperti karakteristik genetik, klinis, lingkungan, dan gaya hidup masing-masing. Layanan itu semakin dimungkinkan di era teknologi industri 4.0 yang banyak mengandalkan kecerdasan artifisial (AI), mahadata, dan internet of things.
”Melalui kedokteran presisi, intervensi pada pasien pun menjadi lebih tepat sasaran. Pelayanan yang diberikan bisa lebih efektif dan efisien. Kedokteran presisi menjadi lebih baik karena latar belakang variabilitas genetik manusia,” katanya di Jakarta, Minggu (15/1/2023).
Ari menuturkan, pada dasarnya setiap manusia memiliki urutan DNA yang unik. Hal itu yang memengaruhi mengapa setiap individu memiliki kerentanan berbeda akan suatu penyakit serta respons terhadap suatu pengobatan.
Melalui kedokteran presisi, intervensi pada pasien pun menjadi lebih tepat sasaran. Pelayanan yang diberikan bisa lebih efektif dan efisien. Kedokteran presisi menjadi lebih baik karena latar belakang variabilitas genetik manusia.
Dalam penelitiannya yang disampaikan saat pengukuran dirinya sebagai Guru Besar FKUI pada tahun 2018 juga membuktikan, keragaman etnik dan budaya di Indonesia berpengaruh pada infeksi Helicobacter pylori (H pylori) yang menjadi penyebab penyakit pada lambung.
Dari temuannya, pasien dari etnis Papua, Bugis, dan Batak memiliki aktivitas bakteri H pylori yang cukup tinggi. Di lain sisi, pasien dari etnis lain justru menunjukkan adanya resisten terhadap antibiotik tersebut, seperti etnis Ambon, Tionghoa, Bali, dan Jawa yang resisten terhadap klaritromisin serta etnis di Sumatera yang cenderung resisten terhadap metronidazole.
Informasi tersebut memperkuat pemahaman akan pentingnya kedokteran presisi. Variasi genetik dan perbedaan manifestasi klinik, serta perbedaan respons obat, mempertegas adanya perbedaan respons setiap individu terhadap suatu penyakit. ”Dengan demikian, cara mendiagnosis dan pemberian obat juga ada sedikit perbedaan,” tutur Ari.
Inisiasi kedokteran presisi juga dikembangkan dalam penanganan diabetes melitus. Pada 2018, American Diabetes Association (ADA) bersama European Association for the Study of Diabetes (EASD) mulai mengidentifikasi pelaksanaan kedokteran presisi pada diagnosis, terapi, pencegahan, dan prediksi perkembangan dari diabetes melitus. Lewat inisiasi tersebut, diharapkan dapat menjelaskan keberagaman etiologi dari diabetes melalui identifikasi faktor risiko, penanda biologis atau biomarker, genomik, farmakologi, dan gaya hidup.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Guru Besar FKUI Dante Saksono Harbuwono, yang kini juga menjabat sebagai Wakil Menteri Kesehatan, menunjukkan, kedokteran presisi memungkinkan pemberian terapi pada pasien diabetes melitus lebih spesifik pada pasien berdasarkan karakteristik individu.
Dari risetnya, hanya 30 persen pasien diabetes di Indonesia yang memiliki gula darah terkontrol setelah mengonsumsi obat. Hal itu bisa terjadi akibat respons tiap orang berbeda-beda terhadap suatu obat.
Melalui kedokteran presisi, pemilihan obat bisa lebih tepat sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Dengan begitu, penyakit bisa lebih terkontrol sehingga komplikasi bisa dihindari dan biaya kesehatan bisa ditekan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Rika Yuliwulandari menambahkan, jenis obat yang dibutuhkan setiap orang bisa berbeda tergantung dari informasi genetik yang dimiliki. Sejumlah obat bisa efektif untuk orang tertentu tetapi ada juga yang tidak efektif, bahkan menimbulkan efek samping dalam penggunaannya.
Pendekatan one size fits all atau satu jenis obat untuk semua orang pun kini tidak lagi relevan diterapkan. Pemberian obat perlu disesuaikan dengan informasi genetik setiap individu untuk meningkatkan efektivitas penyembuhan dengan farmakologi.
”Pendekatannya ada dua, preemptive dan postemptive. Jadi, pemeriksaan genetik bisa dilakukan sebelum pengobatan dan setelahnya, misalnya jika obat yang diberikan tidak berdampak. Keduanya penting untuk langkah pencegahan ke depan meski langkah preventif merupakan upaya terbaik,” tambahnya.
Ari mengatakan, kedokteran presisi pada dasarnya bisa diterapkan untuk kepentingan layanan individu dan layanan kesehatan masyarakat. Dari data individu, kedokteran presisi bisa digunakan untuk membantu orang menyesuaikan perilaku dan gaya hidup yang sesuai. Itu juga yang bisa digunakan sebagai intervensi pencegahan terkait prediksi risiko penyakit di masa depan. Namun, data itu nantinya juga dapat dikembangkan ke tataran masyarakat yang lebih luas.
Pengembangan
Penelitian dan pengembangan kedokteran presisi sudah mulai diterapkan di sejumlah negara, seperti di Taiwan dengan Taiwan Precision Medicine Initiative, Singapura dengan Precision Health Research di Singapura, dan UK Biobank di Inggris.
Inisiatif dari beberapa negara itu memiliki benang merah sama dalam tujuan pengembangan, yakni meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang baik di masyarakat, mulai dari peningkatan pemahaman tren penyakit, rencana perawatan, pengelolaan kelainan genetik, serta penemuan biomarker baru untuk pengembangan obat yang lebih baik.
Peneliti biologi molekuler dari Indonesia di John Curtin School of Medical Research, Australia National University, Ines Atmosukarto, yang juga CEO Lipotek Australia, menuturkan, kedokteran presisi amat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Dengan 270 juta penduduk berlatar belakang suku, etnis, dan budaya berbeda, variasi genetik yang dihasilkan bisa sangat beragam.
Sementara itu, informasi genomik yang selama ini tersedia lebih banyak berasal dari negara Barat. Padahal, perbedaan genetik bisa berpengaruh pada analisis dari sumber penyakit. Pengembangan obat-obatan pun sebagian besar merujuk pada pengujian untuk populasi di negara Barat. Kondisi tersebut yang dinilai turut memengaruhi penanganan penyakit yang kurang optimal di Indonesia, seperti pengobatan pada tuberkulosis.
”Indonesia harus mulai bersiap untuk mengembangkan kedokteran presisi. Penelitian dan pengembangan kedokteran presisi butuh jangka panjang. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih siap dan terjangkau saat ini, pengembangan kedokteran presisi seharusnya bukan hal mustahil,” tutur Ines yang saat ini juga menjadi tenaga ahli untuk Kementerian Kesehatan.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam pengembangan kedokteran presisi di Indonesia, antara lain infrastruktur, termasuk pada laboratorium dan alat pemeriksaan genomik, regulasi, kemampuan untuk uji klinis, sumber daya manusia, serta pemahaman masyarakat akan penerapan kedokteran presisi.
”Kemampuan dalam pengolahan data juga menjadi aspek penting dalam penerapan kedokteran presisi untuk kepentingan kesehatan masyarakat,” ujar Ines.
Ahli genetika yang mendalami nutrigenomik dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, Safarina G Malik, mengatakan, populasi Indonesia amat beragam dan unik. ”Tidak ada yang sama dari barat dan timur, selain keragaman genetik juga paparan lingkungan, budaya, makanannya, dan interaksi sosialnya berbeda-beda. Ini membutuhkan entri data yang besar sebelum kita bisa memetakan karakteristik kesehatan dan kerentanan penyakitnya,” ujarnya.
Menurut Safarina, kebanyakan layanan kesehatan yang saat ini mempromosikan pengobatan presisi belum didasarkan pada kekhasan karakteristik genetika manusia Indonesia. Namun, hal ini kerap didasarkan referensi studi genetika di negara lain, yang belum tentu sesuai dengan kondisi manusia di Indonesia.
Untuk itu, menurut Ines, inisiasi yang diusung oleh Kementerian Kesehatan melalui Biomedical & Genome Science Initiative (BGSI) sudah tepat. Inisiasi tersebut bertujuan untuk menghasilkan referensi genom manusia Indonesia dengan basis data genomik populasi Indonesia.
Data tersebut dapat mengidentifikasi varian penyakit di masyarakat. Peran berbagai pihak pun diperlukan untuk mendukung inisiasi tersebut. ”Komunitas, lembaga donor, start up, farmasi, perguruan tinggi, dan penyedia layanan kesehatan harus terlibat dalam pengembangan layanan kesehatan presisi di Indonesia,” ujar Ines.