Kesehatan Masyarakat Presisi
Pengobatan yang dipersonalisasi atau kedokteran presisi bisa semakin memicu kesenjangan jika tidak diorientasikan pada kesehatan masyarakat.
Kemajuan ilmiah dalam memahami dasar molekuler penyakit menghasilkan kedokteran presisi yang menjanjikan untuk meningkatkan kesehatan individu. Namun, pengobatan yang dipersonalisasi bisa semakin memicukesenjangan jika tidak diorientasikan padakesehatan masyarakat presisi.
Pada 14 Mei 2013, aktris Angelina Jolie menjadi berita utama di seluruh dunia dengan mengumumkan bahwa dia pembawa mutasi genetik BRCA1 yang signifikan berisiko mengalami kanker payudara dan ovarium. Melalui artikel opini di The New York Times, Jolie menjelaskan keputusannya untuk menjalani pengujian dan kemudian melakukan operasi mastektomi ganda preventif untuk mencegah risiko kanker.
Jolie kehilangan ibunya karena kanker ovarium dan payudara, sedangkan nenek dan bibinya meninggal karena kanker payudara. Berdasarkan data Institut Kanker Nasional Amerika Serikat, perempuan yang mewarisi gen BRCA1 memiliki risiko 55-65 persen terkena kanker payudara dan ovarium selama hidup mereka. Sementara risiko bagi perempuan pembawa mutasi BRC2 sebesar 45 persen dibandingkan 12 persen pada perempuan di populasi umum.
Setelah publikasi ini, popularitas kedokteran presisi semakin meningkat. Temuan yang diterbitkan di The BMJ pada 2016 mengungkapkan lonjakan besar pemeriksaan gen yang diketahui meningkatkan risiko kanker payudara setelah pengakuan Jolie ini. Namun, tidak ada peningkatan signifikan untuk mastektomi, yang menunjukkan tes tidak mengarah pada pencegahan kanker.
Biaya pengujian BRCA1/2 saat itu lebih dari 3.000 dollar di AS, belum lagi biaya operasi, dan manfaat klinisnya yang masih menjadi perdebatan sengit di sejumlah negara. Di Kanada. misalnya, kekhawatiran berkisar pada ketidakmampuan sistem perawatan kesehatan masyarakat untuk menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif dan akses tepat waktu ke tes dan konseling genetik. Hal ini dicontohkan oleh kasus Fiona Webster, perempuan Ontario yang berisiko terkena kanker payudara herediter tetapi ditolak untuk melakukan tes.
Di tengah kontroversi ini, bisnis pengobatan presisi dengan berbagai bentuknya semakin berkembang. Analisis Bridge Market baru-baru ini menunjukkan, pasar pengobatan presisi terus tumbuh, mencapai 58,29 miliar AS tahun 2021 dan diperkirakan bakal mencapai 145,36 miliar dollar AS pada 2029.
Di Indonesia, sejumlah fasilitas kesehatan mempromosikan pemeriksaan gen yang dikaitkan dengan risiko berbagai penyakit, selain kanker, juga diabetes, dan ginjal. Sebagian lagi menawarkan pemeriksaan gen dikaitkan dengan pemilihan obat dan dosisnya atau biasa dikenal dengan istilah farmakogenomik.
Kesehatan presisi memiliki dimensi yang lebih luas dibandingkan pengobatan presisi karena meliputi pendekatan yang terjadi di luar pengaturan dokter atau rumah sakit, seperti pencegahan penyakit dan kegiatan promosi kesehatan untuk populasi.
Pengobatan berdasarkan variasi genetik pada pasien ini merupakan satu aspek kunci dari ”pengobatan yang dipersonalisasi”, yang menitikberatkan pada bagaimana DNA seseorang memengaruhi tubuh dalam memproses dan merespons obat. Bidang ini menggabungkan farmakologi (ilmu obat) dan genomik (studi tentang gen dan fungsinya) untuk mengembangkan pengobatan yang efektif dan aman serta dosis yang disesuaikan dengan variasi gen seseorang.
Ada juga yang menawarkan paket pemeriksaan genetik untuk mengetahui kemampuan metabolisme seseorang terhadap suatu zat gizi atau dikenal dengan nutrigenomik, bahkan untuk mengetahui kondisi penuaan kulit seseorang atau skin genomic.
Biaya yang dipatok untuk tiap pemeriksaan ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Dengan besaran biaya ini, tentu saja akses publik menjadi terbatas dan memperbesar ketimpangan kesehatan di populasi.
Ketimpangan kesehatan di Indonesia itu tecermin dalam laporan di jurnal The Lancet pada Oktober 2022 yang menunjukkan, rata-rata tingkat harapan hidup dan harapan hidup sehat penduduk di Indonesia bagian timur jauh lebih rendah dibandingkan di bagian barat. Misalnya, angka harapan hidup laki-laki di Bali tahun 2019 mencapai 74,4 tahun dan harapan hidup sehat 64 tahun merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sementara angka harapan hidup laki-laki yang terendah di Papua, yaitu 64,5 tahun dan harapan hidup sehat 58,3 tahun.
Laporan ini juga menunjukkan, provinsi-provinsi di bagian barat Indonesia memiliki indeks pembangunan kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah timur. Ketimpangan itu terutama disumbang oleh perbedaan akses dan kualitas perawatan kesehatan. Sebanyak 14 provinsi yang memiliki Indeks Healthcare Access and Quality (HAQ) di atas rata-rata nasional mayoritas berada di bagian barat negara ini, sedangkan 20 provinsi lainnya yang memiliki indeks lebih rendah terkonsentrasi di timur.
Baca juga: Timpangnya Harapan Hidup dan Harapan Hidup Sehat Penduduk Indonesia
Mengatasi ketimpangan
Secara saintifik, kedokteran presisi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa gen, perilaku, meliputi olahraga dan kebiasaan makan, juga lingkungan menjadi faktor yang bisa memengaruhi kesehatan seseorang.
Kedokteran presisi berupaya mengukur faktor-faktor ini dan menindaklanjutinya. Intervensi dapat disesuaikan berdasarkan kondisi spesifik tiap individu daripada menggunakan pendekatan yang sama untuk semua orang.
Adapunn istilah kesehatan masyarakat presisi muncul lebih belakangan dan berupaya melengkapi pengembangan pengobatan presisi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi genetika, termasuk pengetahuan baru dari analisis mahadata dan biobank yang menargetkan upaya kesehatan masyarakat dalam skala populasi.
Kesehatan presisi memiliki dimensi yang lebih luas dibandingkan pengobatan presisi karena meliputi pendekatan yang terjadi di luar pengaturan dokter atau rumah sakit, seperti pencegahan penyakit dan kegiatan promosi kesehatan untuk populasi.
Minat global terhadap pendekatan kesehatan masyarakat mulai mengemuka dengan digelarnya konferensi ”Kesehatan Masyarakat Presisi” oleh Gedung Putih dan Yayasan Bill dan Melinda Gates pada 2018. Selain itu, Departemen Kesehatan Australia Barat dan Yayasan Rockefeller menyelenggarakan dua acara internasional terpisah tentang kesehatan masyarakat presisi pada tahun 2018.
Jika pengobatan presisi dapat dianggap memberikan intervensi yang tepat kepada individu yang tepat pada waktu yang tepat, kesehatan presisi dapat dilihat sebagai upaya untuk memberikan intervensi yang tepat pada populasi yang tepat pada waktu yang tepat.
”Kesehatan masyarakat yang presisi berakar kuat dalam upaya mengatasi kesenjangan kesehatan dan menggunakan data terbaik yang tersedia untuk menargetkan intervensi yang lebih efektif dan efisien kepada mereka yang paling membutuhkan,” sebut Richard Horton (The Lancet, 2018). Karena itu, riset untuk memetakan faktor risiko kesehatan di populasi, terutama yang terabaikan (neglected), menjadi sangat penting untuk kemudian menjadi dasar kebijakan. Di sinilah pentingnya kebijakan berbasis data sains.
Baca juga: Studi Genetika Perkuat Keberagaman Bangsa Indonesia
Contohnya, riset terkait kelainan enzim G6PD (defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase) pada populasi. Enzim ini sensitif pada beragam obat, di antaranya primakuin yang selama ini untuk mengobati malaria vivax. Dampak buruknya adalah pasien malaria akan terkena anemia hemolitik atau pecahnya sel darah merah jika mengonsumsi primakuin.
Riset Ari W Satyagraha (PLOS Neglected Tropical Diseases, 2015) terhadap 2.033 orang di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, menemukan, 104 di antaranya (5,1 persen) mengalami kelainan enzim G6PD. Dengan temuan ini, pemberian obat primakuin seharusnya didahului tes G6PD.
Contoh lain adalah riset Hana Krismawati (PLOS Ngelected Tropical Diseases, 2020) yang menemukan keberadaan gen HLA-B*13:01 pada orang Papua, yang memicu alergi dapson, salah satu antibiotik yang biasa dipakai untuk mengobati penyakit kusta. Hana menemukan, setidaknya 1,4 persen pasien kusta di Papua yang ditelitinya meninggal karena alergi dapson sehingga memicu dapsone hypersensitivity syndrome (DHS).
Ada banyak pekerjaan rumah yang bisa dilakukan dengan kesehatan presisi. Horton mencontohkan laporan Institute for Health Metrics and Evaluation yang ditulis Nick Golding dan tim (2018) yang mengulas lebih dari 200 detail geografis dan sensus penyebab kematian anak di 46 negara Afrika. Peta kematian anak-anak di bawah 5 tahun yang dilaporkan dalam data ”presisi” baru ini ”menyediakan informasi kunci bagi pengambil keputusan untuk menargetkan intervensi pada populasi yang paling membutuhkan di Afrika”.
Pemetaan seperti ini sangat dibutuhkan di Indonesia, misalnya untuk mengetahui tingginya tingkat stunting dan kematian anak di Papua. Bagaimana kaitan genetika dan perubahan lingkungan serta gaya hidup memengaruhi hal ini dan bagaimana intervensi yang tepat.
Baca juga: Pemahaman Baru tentang Hubungan Genetik dengan Tinggi Badan
Tanpa mengedepankan pendekatan kesehatan masyarakat, pengobatan presisi akan memperlebar ketimpangan. Praktik pengobatan presisi yang saat ini ditawarkan sejumlah fasilitas medis dengan harga selangit itu tentu saja hanya bisa diakses oleh kalangan berduit. Maka, inisiatif kesehatan presisi dengan penekanan pada upaya preventif dan promosi kesehatan di tingkat populasi harus lebih dikedepankan.
Di sinilah peran negara sangat dibutuhkan untuk mendukung riset-riset dasar tentang kesehatan individu dan populasi, membangun biobank, serta memperbaiki manajemen data kesehatan menjadi lebih akurat dan transparan. Tak kalah penting, harus ada kemauan untuk mengubah proses pengambilan kebijakan yang berdasarkan data sains agar intervensinya lebih presisi.