Pemahaman Baru tentang Hubungan Genetik dengan Tinggi Badan
Studi terbaru yang melibatkan 5 juta orang memberikan info detail dan wawasan biologis baru tentang mengapa orang tinggi atau pendek.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Petugas PKK Desa Karangrau, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, mengukur tinggi badan anak balita, pertengahan Februari 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Studi terbaru yang menggunakan DNA lebih dari 5 juta orang mengungkap tentang kaitan antara variasi genetik dengan perbedaan tinggi badan. Temuan penelitian ini dapat membantu dokter mengidentifikasi orang-orang yang tidak dapat mencapai ketinggian yang diprediksi secara genetik, yang kemudian dapat membantu diagnosis penyakit tersembunyi yang menghambat pertumbuhan atau kesehatan mereka.
Laporan penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature pada Rabu (12/10/2022) ini merupakan studi asosiasi genom terbesar. Riset menggunakan DNA lebih dari 5 juta orang dari 281 studi yang berkontribusi. Kajian ini membuka kesenjangan pengetahuan dalam memahami bagaimana perbedaan genetik berkaitan dengan perbedaan tinggi badan. Lebih dari 1 juta peserta penelitian ialah keturunan non-Eropa, meliputi Afrika, Asia Timur, Hispanik, atau Asia Selatan.
Selama ini dipahami bahwa tinggi badan orang dewasa sebagian besar ditentukan oleh informasi yang dikodekan dalam DNA kita. Anak-anak dari orangtua tinggi cenderung lebih tinggi dan anak-anak dari orangtua pendek lebih pendek, tetapi perkiraan ini ternyata tidak sepenuhnya akurat. Dalam beberapa kasus, anak-anak bisa lebih tinggi dari rata-rata tinggi orangtuanya, demikian juga sebaliknya.
Jika bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang suatu sifat seperti tinggi badan pada tingkat genom, kita mungkin memiliki model untuk mendiagnosis dengan lebih baik dan mengobati kondisi yang dipengaruhi gen seperti penyakit jantung atau skizofrenia, misalnya.
Pertumbuhan dari bayi kecil menjadi dewasa, dan peran genetika dalam hal ini, secara tradisional merupakan bidang biologi manusia yang kompleks dan kurang dipahami. Sebelumnya, studi asosiasi genom-lebar terbesar yang melihat ketinggian menggunakan ukuran sampel hingga 700.000 individu. Dengan demikian, sampel saat ini sekitar tujuh kali lebih banyak daripada penelitian sebelumnya.
KOMPAS/AHMAD ARIF
Para peserta Sekolah Guru Kebhinekaan mendiskusikan materi tentang asal-usul manusia Indonesia yang sebelumnya dipresentasikan ahli genetika Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, awal Juli 2017, di Perpustakaan Museum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Skala penelitian yang belum pernah terjadi sebelumnya memberikan tingkat detail dan wawasan biologis baru tentang mengapa orang tinggi atau pendek, dengan heritabilitas dikaitkan dengan berbagai wilayah genomik tertentu. Temuan menunjukkan bahwa varian genetik yang terkait dengan tinggi terkonsentrasi di wilayah yang mencakup lebih dari 20 persen genom.
Penelitian ini menunjukkan bahwa single nucleotide polymorphism (SNP) atau variasi genetik pada individu dengan kode 12.111, secara signifikan terkait dengan tinggi badan dan menyumbang hampir semua faktor heritabilitas. Dalam estimasi dan prediksi di luar sampel, 12.111 SNP menyumbang 40 persen varian fenotipik pada populasi keturunan Eropa, tetapi hanya 10–20 persen dalam populasi nenek moyang lain. Perbedaan ini diduga lebih dipengaruhi oleh besaran sampel Eropa dan non-Eropa.
Secara keseluruhan, penelitian ini menyediakan peta komprehensif wilayah genomik tertentu yang berisi sebagian besar varian umum terkait tinggi badan. Meskipun peta ini jenuh untuk populasi keturunan Eropa, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencapai kejenuhan yang setara dengan keturunan lain.
Pengobatan presisi
Temuan penelitian ini dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak dapat mencapai ketinggian yang diprediksi secara genetik. Lalu, hasil riset ini dapat membantu dalam diagnosis penyakit atau kondisi tersembunyi yang mungkin menghambat pertumbuhan mereka atau memengaruhi kesehatan mereka.
Penelitian ini juga memberikan cetak biru (blueprint) yang berharga tentang bagaimana mungkin menggunakan studi luas genom untuk mengidentifikasi biologi penyakit dan selanjutnya komponen keturunannya. Sementara penelitian ini memiliki sejumlah besar peserta dari keturunan non-Eropa dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, para peneliti menekankan perlunya lebih banyak keragaman dalam penelitian genom.
Sebagian besar data genetik yang tersedia berasal dari orang-orang keturunan Eropa sehingga studi luas genom tidak menangkap berbagai keragaman leluhur di seluruh dunia. Meningkatkan ukuran studi luas genom pada populasi keturunan non-Eropa sangat penting untuk mencapai tingkat kejenuhan yang sama dan menutup kesenjangan dalam akurasi prediksi pada populasi yang berbeda.
AFP/SEBASTIEN BOZON
Suasana di Stasiun Victoria, London, Inggris, pertengahan September 2022. Studi genomik pada 5 juta orang yang mayoritas orang Eropa membuka wawasan kaitan genetika dan tinggi badan.
Eirini Marouli, penulis utama studi ini dan dosen senior dalam Biologi Komputasi di Queen Mary University of London, mengatakan, ”Kami telah mencapai suatu prestasi dalam mempelajari DNA lebih dari 5 juta orang yang secara luas dianggap tidak mungkin sampai saat ini.”
Studi genom bersifat revolusioner dan mungkin memegang kunci untuk memecahkan banyak tantangan kesehatan global. ”Jika bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang suatu sifat seperti tinggi badan pada tingkat genom, kita mungkin memiliki model untuk mendiagnosis dengan lebih baik dan mengobati kondisi yang dipengaruhi gen seperti penyakit jantung atau skizofrenia, misalnya,” katanya.
Marouli menambahkan, jika kita dapat memetakan bagian-bagian tertentu dari genom ke sifat-sifat tertentu, itu membuka pintu untuk perawatan yang ditargetkan dan dipersonalisasi secara luas lebih jauh yang dapat bermanfaat bagi orang-orang di mana saja.
Selain Eirini Marouli, penulis pendamping studi ini termasuk Loic Yengo dari University of Queensland dan Sailaja Vedantam dari Boston Children’s Hospital. Penulis senior lainnya adalah Yukinori Okada dari Universitas Osaka, Andrew R Wood dari Universitas Exeter, Peter M Visscher dari Universitas Queensland, dan Joel N Hirschhorn dari Rumah Sakit Anak Boston.