Studi Genetika Perkuat Keberagaman Bangsa Indonesia
Keberagaman bagi bangsa Indonesia adalah keniscayaan. Tidak hanya dilihat dari segi fisiologi dan budaya, keberagaman itu secara ilmiah semakin diperkuat melalui studi genetika.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Sejumlah pengunjung mengamati papan informasi yang disajikan dalam Pameran Asal Usul Orang Indonesia (Asoi) di Museum Nasional, Selasa (15/10/2019). Pameran yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama majalah sejarah daring Historia.id ini berlangsung sejak 15 Oktober 2019 sampai 10 November 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Keberagaman bagi bangsa Indonesia adalah keniscayaan. Tidak hanya dilihat dari segi fisiologi dan budaya, keberagaman itu secara ilmiah semakin diperkuat melalui studi genetika. Studi ini bahkan dapat membuktikan setiap individu terdiri atas beragam unsur genetik.
Deputi Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Aru Sundoyo mengatakan, kemajemukan bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak puluhan ribu tahun lalu. Secara genetis, empat gelombang migrasi manusia modern ke Nusantara berkontribusi membentuk pembauran genetika manusia di Indonesia.
Gelombang ini dimulai dengan kedatangan dari Afrika melalui jalur selatan Asia menuju Paparan Sunda. Pada gelombang kedua, migrasi terjadi dari Asia Daratan pada 4.300 sampai 4.100 tahun lalu saat dataran Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih menyatu.
Kemudian, gelombang ketiga pada periode Holosen, sekitar 4.000 tahun lalu, saat migrasi terjadi dari daerah China selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai Sulawesi dan Kalimantan. Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah, termasuk periode masuknya India, Arab, dan Eropa di Kepulauan Nusantara.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Peta Migrasi Manusia Modern (Homo Sapiens)
”Gelombang migrasi yang dilakukan oleh nenek moyang orang Indonesia menjadi penanda adanya sikap toleransi. Ketika bermigrasi, mereka tidak berkompetisi dengan berperang dan mengambil alih wilayah, melainkan terjadi pembauran. Menariknya, gelombang migrasi yang baru datang beradaptasi dengan yang lama. Begitu pula yang lama juga menerima yang baru. Itu sebabnya, pembauran pun menjadi semakin kompleks,” tuturnya pada acara pembukaan Pameran Asal Usul Orang Indonesia (Asoi) di Museum Nasional, Selasa (15/10/2019).
Pameran yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bersama majalah sejarah daring Historia.id ini berlangsung sejak 15 Oktober 2019 sampai 10 November 2019. Dalam pameran ini disajikan beberapa koleksi arkeologis dan antropologis dari Museum Nasional Indonesia yang menunjukkan keberagaman leluhur bangsa.
Selain itu, ditampilkan pula hasil tes DNA dari beberapa tokoh publik dan anggota masyarakat yang membuktikan keberagaman unsur genetika yang dimiliki. Ada 16 orang yang terlibat dalam proyek DNA itu, antara lain presenter Najwa Shihab, politikus Hasto Kristiyanto, penyanyi Ariel ”Noah”, penulis Ayu Utami, dan produser film Mira Lesmana.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Hasil tes DNA dari presenter Najwa Shihab.
Hasil tes DNA pada Najwa Shihab, misalnya, menunjukkan adanya 10 fragmentasi DNA yang berasal dari 10 nenek moyang yang berbeda. Latar belakang genetik yang dimiliki paling dominan dari Asia Selatan (48,54 persen), kemudian Afrika Utara (26,81 persen), Afrika (6,06 persen), Asia Timur (4,19 persen), dan Timur Tengah (3,48 persen).
Gelombang migrasi yang dilakukan nenek moyang orang Indonesia menjadi penanda adanya sikap toleransi. Ketika bermigrasi, mereka tidak berkompetisi dengan berperang dan mengambil alih wilayah, melainkan terjadi pembauran.
”Proyek DNA ini setidaknya mengungkapkan tidak ada manusia Indonesia yang punya latar belakang genetik murni. Ciri fisik pun tidak dapat menentukan latar belakang genetik seseorang,” kata Herawati.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Deputi Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Aru Sundoyo
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid berpendapat, studi genetika yang dihasilkan dari manusia Indonesia semakin memperkuat keberagaman bangsa ini. Untuk itu, Bhinneka Tunggal Ika seharusnya tidak hanya menjadi semboyan, tetapi juga benar-benar menjadi dasar negara yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat untuk menjaga keutuhan bangsa dan budaya.
”Perbedaan seharusnya kita pahami sebagai keragaman, bukan penghalang. Tidak perlu melihat keragaman di suatu keluarga, satu orang saja sudah terdiri dari berbagai macam unsur. Dengan begitu, semakin kecil ruang orang untuk intoleran. Jika seseorang itu mau menegaskan suatu identitas sulit dibuktikan karena dirinya sendiri saja sudah terdiri dari berbagai macam unsur,” ucapnya.
Pendidikan
Hilmar mengatakan, pendidikan bisa menjadi wadah yang tepat untuk menanamkan nilai keberagaman yang terjadi di Indonesia sebagai realitas dan kenikmatan yang dimiliki. Intervensi ini perlu dilakukan sejak dini, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga desa dan keluarga.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid
”Sudah dari awal kita ini beragam. Ini perlu kita pahami bersama secara bijak. Identitas itu sendiri hanya konstruksi sosial yang dibangun. Karena itu, pembangunan dan pengelolaan bangsa juga harus berdasar pada kemajemukan dan keberagaman yang ada,” tuturnya.
Direktur Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Triana Wulandari menambahkan, studi genetika tentang migrasi nenek moyang Indonesia memberikan pemahaman yang baru bagi pendidikan sejarah di Indonesia. Hasil ini bisa menjadi pembelajaran dan membuka wawasan baru bagi guru sejarah.