Cegah Varian Baru, Uni Eropa Periksa Pelaku Perjalanan dari China
Para pakar krisis Uni Eropa sepakat untuk mewajibkan tes Covid-19 bagi pelaku perjalanan dari China guna mencegah masuknya varian atau subvarian baru dari virus korona.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pakar krisis Uni Eropa sepakat untuk mewajibkan tes Covid-19 bagi pelaku perjalanan dari China guna mencegah masuknya varian atau subvarian baru dari virus korona. Pertemuan tersebut juga merekomendasikan agar penumpang ke dan dari China memakai masker.
Pertemuan yang digelar pada Rabu (4/1/2023) itu bertujuan untuk mengoordinasikan tanggapan bersama Uni Eropa (UE) terhadap arus masuk pengunjung dari China setelah Beijing mencabut kebijakan ”nol-Covid” dan sekarang memicu lonjakan kasus Covid-19 di negara terserbut. Pertemuan dipimpin oleh Presidensi UE, Swedia, dan diikuti 27 negara anggota.
Berdasarkan laporan AFP, negara-negara anggota sepakat untuk merekomendasikan ”pendekatan pencegahan” di tengah kekhawatiran kedatangan pelaku perjalanan dari China yang dapat membawa varian atau subvarian baru virus korona ke Eropa.
Poin penting dari kesepakatan itu, antara lain, negara-negara anggota UE merekomendasikan semua penumpang yang meninggalkan China menunjukkan hasil negatif Covid-19 dari tes yang dilakukan kurang dari 48 jam sejak keberangkatan. Penumpang dalam penerbangan dari China juga diwajibkan memakai masker medis atau masker bedah yang dapat mencegah penularan partikel kecil dalam penerbangan.
Selain itu, para ahli mengatakan, negara anggota UE harus melakukan tes Covid-19 secara acak pada penumpang yang masuk, menguji air limbah dari penerbangan dan bandara, dan terus mempromosikan vaksinasi serta suntikan penguat.
Menurut para ahli, mereka akan terus memantau situasi di UE dan di China ”termasuk tingkat data yang dibagikan”. Mereka akan meninjau kembali langkah-langkah yang diambil pada pertengahan Januari.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam rilis tertulis menyebutkan, pejabat organisasi itu telah mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dalam beberapa pekan terakhir dengan rekan-rekannya di China.
”Kami terus meminta China untuk mendata rawat inap dan kematian yang lebih cepat, teratur, dan dapat diandalkan, serta pengurutan virus real time yang lebih komprehensif,” kata Tedros.
Kami terus meminta China untuk mendata rawat inap dan kematian yang lebih cepat, teratur, dan dapat diandalkan, serta pengurutan virus real time yang lebih komprehensif.
Dia menegaskan kembali bahwa badan kesehatan PBB memahami mengapa beberapa negara memberlakukan pembatasan Covid-19 baru pada pengunjung dari China. ”Dengan peredaran di China yang begitu tinggi dan data yang komprehensif tidak tersedia... dapat dipahami bahwa beberapa negara mengambil langkah yang mereka yakini akan melindungi warganya sendiri,” katanya.
Lebih dari selusin negara, termasuk Amerika Serikat, mulai besok, mengumumkan persyaratan pengujian Covid-19 baru bagi pelaku perjalanan dari China untuk mendapatkan izin masuk domestik, di tengah kekhawatiran penyebaran varian terbaru ini. Berbeda dengan negara-negara lain, Indonesia sejauh ini belum mewajibkan pemeriksaan Covid-19 untuk penumpang dari China (Kompas.id, 3 Januari 2022).
Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan mengkritik ketidaktransparanan China dalam penanganan Covid-19, termasuk di antaranya dengan mempersempit definisi kasus dan kematian Covid-19. Hal ini dianggap bakal menutupi dampak sebenarnya dari wabah tersebut sehingga menyulitkan respons global.
Sekalipun kasus dan kematian di China meningkat, sejak Desember 2022 hingga awal Januari 2023 ini, China hanya mencatat 22 kematian akibat Covid-19.”Kami percaya bahwa angka saat ini yang diterbitkan dari China kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, penerimaan ICU, dan khususnya dalam hal kematian,” kata Ryan.