Ketika pandemi diharapkan segera berakhir, kemungkinan bakal munculnya mutasi varian baru akibat tingginya kasus di China kembali menjadi kekhawatiran global.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Sekitar tiga tahun lalu, versi awal virus korona penyebab Covid-19 menyebar dari China ke seluruh dunia dan akhirnya digantikan oleh varian Delta, kemudian Omicron dan turunannya. Kini, ketika pandemi diharapkan segera berakhir, kemungkinan bakal munculnya mutasi varian baru akibat tingginya kasus di China kembali menjadi kekhawatiran global.
Sebulan terakhir, Pemerintah China telah mencabut banyak pembatasan yang diberlakukan untuk meredam penyebaran virus setelah banyaknya tekanan warga. Antara lain, mengakhiri penguncian massal seluruh kota, mencabut pembatasan perjalanan di dalam dan antarwilayah, serta memungkinkan orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 untuk mengisolasi diri di rumah alih-alih di fasilitas terpusat. Di beberapa kota, orang yang terinfeksi dengan gejala ringan atau tanpa gejala bahkan dapat bekerja.
Secara resmi, jumlah kasus yang dilaporkan di China memang menurun sejak akhir November 2022, namun hal itu lebih karena perubahan persyaratan pemeriksaan. Akan tetapi, beberapa data menunjukkan ada indikasi lonjakan infeksi Covid-19 di beberapa daerah di China.
Laporan Kathy Leung dari WHO Collaborating Centre for Infectious Disease Epidemiology and Control, The University of Hong Kong di medrxiv.org pertengahan Desember 2022 lalu menunjukkan, infeksi di Beijing mungkin mencapai puncaknya.
Jika memang kasus gawat dan kematian karena Covid-19 di China meningkat padahal cakupan vaksinasi mereka sudah mencapai 89 persen, maka ada kemungkinan yang terjadi.
Jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 di China saat ini menjadi misteri, seiring dengan keputusan Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) untuk berhenti menerbitkan data kasus harian mulai Minggu (25/12/2022). "Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CDC China) akan merilis informasi Covid-19 yang relevan untuk studi dan referensi," kata NHC dalam pernyataan singkat.
China juga mengubah definisi kematian karena Covid-19. Sebagaimana disampaikan Wang Guiqiang, Kepala Departemen Penyakit Menular di Peking University First Hospital kepada Reuters (22/12/2022), hanya kematian yang disebabkan oleh pneumonia dan gagal napas setelah tertular Covid-19 yang akan diklasifikasikan sebagai kematian akibat Covid-19.
Metode penghitungan ini bertentangan dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang bahkan memperhitungkan kematian yang tidak secara langsung disebabkan oleh Covid-19, tetapi disebabkan oleh efek lanjutannya-termasuk orang yang tidak dapat mengakses rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
Hal ini menyebabkan banyak peneliti yang khawatir bahwa situasi di China jauh lebih buruk dari yang dilaporkan ke dunia. Beberapa laporan parsial dari beberapa daerah di China juga menunjukkan eskalasi kasus Covid-19 yang terjadi.
Misalnya, Pemerintah Provinsi Zhejiang, dalam peryataan yang dikutip sejumlah media internasional menyebutkan, mereka sedang berjuang melawan sekitar 1 juta infeksi Covid-19 baru setiap hari, jumlah yang diperkirakan akan berlipat ganda di hari-hari mendatang.
Studi pemodelan oleh Kathy Leung dan tim yang diunggah pracetak pada 14 Desember 2022, menggunakan data wabah di Hong Kong dan Shanghai awal tahun ini untuk membandingkan berbagai skenario di China. Hasilnya, ditemukan bahwa rumah sakit akan kewalahan jika infeksi meningkat secepat yang diperkirakan karena pelonggaran pembatasan terbaru. Dia memperkirakan, hal ini mungkin akan mengakibatkan sekitar satu juta kematian dalam beberapa bulan ke depan.
"Padahal, perkiraan ini hanya mencakup kematian yang disebabkan langsung oleh Covid-19 dan belum memperhitungkan kematian berlebih karena keterlambatan dalam merawat orang dengan penyakit non-Covid-19," kata Ewan Cameron, ahli pemodelan di Telethon Kids Institute di Perth, Australia, kepada Nature.
Waspada varian baru
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, situasi di China memang masih belum jelas karena jumlah kasus dan kematian yang cenderung tidak transparan. "Hari-hari ini bahkan update resmi kasus harian akan dibatasi sehingga informasi menjadi makin sulit terkonfimasi," kata dia.
Tjandra menambahkan, jika pada akhirnya banyak yang tertular karena dilonggarkannya pembatasan maka itu dapat diterima. Sebab, walaupun cakupan vaksinasi tinggi maka penularan dapat tetap terjadi apalagi kebijakan sebelumnya sangat ketat dan tiba-tiba dilonggarkan.
Namun, jika memang kasus gawat dan kematian karena Covid-19 di China meningkat padahal cakupan vaksinasi mereka sudah mencapai 89 persen, maka ada kemungkinan yang terjadi. "Pertama, efikasi vaksin mungkin sudah turun. Kedua, mungkin saja ada varian atau subvarian baru yang dapat menghindar dari proteksi vaksin," kata dia.
Menurut Tjandra, situasi di China ini tidak bisa dihubungkan dengan pelonggaran kebijakan karena waktunya relatif dekat sekali dengan berita kenaikan kasus. "Dengan Omicron yang ada sekarang maka banyak negara di dunia yang juga sudah longgar kebijakannya, tetapi tidak mengalami kenaikan tingkat keparahan dan kematian seperti yang diberitakan di China," kata dia.
Epidemiolog dari Girffith University Dicky Budiman juga mengkhawatirkan munculnya varian baru yang bersirkulasi dan tidak terdeteksi. "Populasi di China sangat besar dan kekebalannya sepertinya terbatas karena rendahnya infeksi sebelumnya selama karantina," kata dia.
Setiap infeksi baru memberi kesempatan bagi virus corona untuk bermutasi. Dengan besarnya kasus di populasi peluang mutasi juga membesar. "Ketika kita melihat gelombang besar infeksi, seringkali diikuti oleh varian baru yang dihasilkan. Oleh karena itu, kita harus mewaspadai peluang terjadinya mutasi baru ini," kata dia.
Apalagi, laporan terbaru juga menunjukkan, Jepang saat ini mengalami kenaikan kasus Covid-19 dari 89.622 pada 4 Desember menjadi 136.407 pada 18 Desember, dan menjadi 149.665 pada hari Minggu (25/12/2022). Jepang pada hari Jumat (23/12/2022) juga mencatat 371 kematian baru terkait Covid-19, merupakan angka harian tertinggi selama pandemi.
Shan-Lu Liu, ahli virus di Ohio State University kepada AFP mengatakan, banyak varian Omicron telah terdeteksi di China, termasuk BF.7 yang diketahui sangat mahir menghindari kekebalan dan diyakini mendorong lonjakan kasus di negeri itu saat ini.
Para ahli juga mengatakan, populasi yang sebagian sudah kebal karena vaksinasi juga bisa memberi tekanan khusus pada virus untuk berubah. Jika diibaratkan, virus korona ini seperti petinju yang terus belajar menghindari lawan dan beradaptasi untuk menyiasatinya.
Mutasi dan kemunculan varian baru sepertinya memang tak terhindarkan, selama virus ini masih beredar di populasi. Hingga saat ini, yang tidak diketahui adalah apakah varian baru ini akan menyebabkan penyakit yang lebih parah. Namun, dampak yang seolah lebih ringan dari Covid-19 selama beberapa bulan terakhir terutama juga disebabkan oleh akumulasi kekebalan yang dimiliki penduduk dunia, baik melalui vaksinasi atau infeksi, bukan karena virusnya yang melemah.
Di tengah situasi di China yang masih misterius ini, Tjandra menyarankan agar Kementerian Kesehatan Indonesia melakukan analisis mendalam dan rinci agar dapat mengantisipasi apa yang terjadi, khususnya tentang efikasi proteksi vaksin. Apalagi, sebagian besar populasi di Indonesia juga memakai vaksin dari China.
"Pemerintah juga meningkatkan pengawasan bagi pendatang dari China, termasuk kemungkinan kejadian penularan dan juga sampai ke analisa whole-genome sequencing," kata dia. Hal ini terutama untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya varian baru.