Dua Subvarian Baru Covid-19 Ditemukan di India hingga China
Varian baru Covid-19 terus bermunculan. Vaksinasi yang sudah dijalankan harus didukung penerapan protokol kesehatan untuk mencegah lonjakan kasus yang bisa memicu kemunculan varian baru.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua subvarian baru Omicron telah ditemukan secara terpisah di India dan China. Ini menjadikan upaya global untuk mengatasi Covid-19 kian sulit dilakukan. Kemunculan dua subvarian ini juga mengharuskan kita senantiasa waspada dan mencegah lonjakan kasus agar tidak terjadi mutasi-mutasi baru.
”India kita kenal sebagai negara yang pertama kali melaporkan varian Delta yang kemudian nyaris meluluhlantakkan dunia kesehatan. Kini, India kembali melaporkan subvarian baru, yaitu BA.2.75, yang oleh sebagian pihak disebut sebagai centaurus,” kata Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Senin (11/7/2022).
Para ilmuwan mengatakan, varian BA.2.75 ini mungkin dapat menyebar dengan cepat serta menghindari kekebalan dari vaksin dan infeksi sebelumnya. Tidak jelas apakah subvarian ini dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius dibanding subvarian Omicron lainnya, termasuk BA.5 yang menonjol secara global.
Konsorsium genomik SARS-CoV-2 India atau Indian SARS-CoV-2 Consortium on Genomics (Insacog) melaporkan bahwa BA.2 kini mendominasi dan banyak kasus telah direklasifikasi ke BA.2.38. ”BA.2.38 tampaknya menjadi sub-garis keturunan yang lazim dalam kumpulan pengurutan terbaru,” sebut buletin Insacog.
Di India, BA.4 dan BA.5 hanya ditemukan pada kurang dari 10 persen sampel mereka, sementara BA2.38 telah ditemukan pada 30 persen sampel. Namun, sejauh ini tidak ada peningkatan rawat inap atau laporan peningkatan keparahan penyakit yang dipicu oleh varian baru ini.
”Beberapa kematian yang dilaporkan baru-baru ini disebabkan oleh penyakit penyerta. Protokol kesehatan kemungkinan akan mengurangi penyebaran infeksi dan karenanya terus direkomendasikan,” sebut Insacog.
Tjandra mengatakan, Indonesia juga perlu segera mengumpulkan data terkait varian BA.2 dan turunannya serta hasilnya segera diumumkan ke publik. ”Memang sejauh ini belum ada kepastian tentang penularan, berat-ringannya dampak BA.2.75, serta kemungkinan menghindar dari sistem imun seseorang. Hanya saja, sejak dari India, kini kasus sudah menyebar ke 10 negara. Penyebaran yang cukup cepat yang mengingatkan kita seperti varian Delta yang lalu,” sebut Tjandra.
Indonesia juga perlu segera mengumpulkan data terkait varian BA.2 dan turunannya serta hasilnya segera dimumumkan ke publik.
Menurut Tjandra, data sementara menunjukkan bahwa BA.2.75 memiliki setidaknya delapan mutasi tambahan dibandingkan BA.5 yang sekarang banyak beredar di Indonesia, utamanya di terminal N, yang dapat berpengaruh pada kemampuan menghindar dari imunitas yang sekarang sudah ada.
Tjandra menambahkan, selain BA.2.75 yang memang sudah dalam monitoring Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat subvarian lain yang juga perlu mendapat perhatian, antara lain BA.5.3.1 yang disebut juga sebagai ”Bad Ned” karena ada mutasi pada N:E136D. ”Otorita kesehatan Shanghai kemarin (10 Juli 2022) juga menyebut tentang BA.5.2.1 yang terdeteksi di Pudong, Shanghai,” kata Tjandra.
Wakil Direktur Komisi Kesehatan Kota Pudong, Zhao Dandan, seperti dilaporkan Reuters menyebutkan, "kota kami baru-baru ini terus melaporkan lebih banyak kasus positif yang ditularkan secara lokal (Covid-19) dan risiko penyebaran epidemi di masyarakat tetap sangat tinggi."
Tjandra mengatakan, kemunculan varian baru di berbagai negara ini membuat kita perlu lebih waspada. Sesuai arahan Presiden Jokowi pada saat Idul Adha bahwa baik di dalam maupun luar ruangan memakai masker masih sebuah keharusan. ”Arahan Presiden ini perlu jadi perhatian karena memang perlindungan dengan masker amat penting,” katanya.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, SARS-CoV-2 secara normal akan bermutasi setiap dua minggu. ”Di era Omicron, mutasi efektif menyebar, termasuk di tubuh orang yang sudah divaksin, ditambah sejak awal 2022 banyak pemerintah melakukan pelonggaran dan masyarakat abai. Kombinasi varian yang sangat menular dan longgarnya pembatasan, membuat kasus Covid-19 membesar dan akhirnya memicu banyak mutasi dan subvarian baru Omicron,” katanya.
Dicky khawatir jika mutasi terus terjadi dengan cepat, sangat mungkin suatu saat akan muncul varian super yang bisa menyiasati antibodi dan menjadikan vaksin kurang efektif lagi. ”Ini yang harus dicegah bersama agar pandemi tidak terus berkepanjangan,” katanya.
Menurut dia, vaksinasi yang sudah dijalankan secara global harus didukung oleh kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan. Apalagi, di masyarakat masih ada kelompok yang tidak bisa divaksinasi dengan berbagai alasan. ”Vaksin yang ada saat ini memang efektif mencegah keparahan, tetapi belum bisa mencegah penularan dan infeksi. Perlu kombinasi dengan memakai masker, menjaga jarak, dan pengaturan ventilasi untuk menekan kenaikan kasus,” katanya.