Komitmen Penegakan Hukum Lingkungan dan Ancaman yang Mengintai
Konsistensi dan komitmen penegakan hukum lingkungan dan kehutanan saat ini terancam oleh sejumlah ketentuan dalam KUHP baru.
Berbagai upaya penegakan hukum lingkungan dan kehutanan terus dilakukan sepanjang 2022. Namun, komitmen dan konsistensi penegakan hukum lingkungan ini dapat terancam karena sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru.
Komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam memperkuat tata kelola lingkungan hidup di Indonesia terutama dari aspek hukum mulai dilakukan sejak 2015. Saat itu, KLHK mulai membangun Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakkum) untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan kasus hukum lingkungan.
Sejak pertama kali dibentuk delapan tahun lalu sampai saat ini, Dirjen Gakkum secara konsisten melakukan pekerjaan penegakan hukum lingkungan baik dari aspek pidana maupun perdata. Capaian kerja penegakan hukum lingkungan dan kehutanan ini juga disampaikan dalam acara refleksi akhir tahun 2022 KLHK di Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Komunikasi di pucuk pimpinan seperti yang pernah dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala polri untuk kasus tambang emas di Poboya (Sulawesi Tengah) ini efektif sehingga mereka tidak berani memukul balik orang KLHK.
Direktur Jenderal Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani menyampaikan, KLHK masih sangat konsisten melakukan penegakan hukum lingkungan dan kehutanan. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari jumlah penanganan pengaduan yang mencapai 6.901 kasus sejak 2015-2022.
”Kami juga memberikan lebih dari 2.500 sanksi administratif dan melakukan operasi pengamanan kawasan hutan dan lingkungan hingga 1.893 operasi. Kemudian kami juga melakukan penegakan hukum pidana hingga 1.317 kasus dengan tersangka yang beragam seperti direktur perusahaan maupun aparat,” ujarnya.
Secara rinci, sepanjang 2022 Dirjen Gakkum telah melakukan 735 penanganan pengaduan, 378 pengawasan perusahaan, dan 368 penerapan sanksi administratif. Pada 2022 juga telah dilakukan 153 penyelesaian kasus pidana P21 yang terdiri dari 70 kasus pembalakan liar, 35 kasus perambahan hutan, 35 kasus peredaran ilegal tumbuhan dan satwa liar (TSL), 11 kasus pencemaran lingkungan, serta 2 kasus kerusakan lingkungan.
Selain itu, Dirjen Gakkum selama 2022 juga telah melakukan 115 operasi pengaman hutan dan hasil hutan dengan rincian 49 operasi perambahan hutan, 31 operasi TSL, dan 35 operasi pembalakan liar. Melalui serangkaian operasi tersebut, seluas lebih dari 492.000 hektar hutan dan 1.441 satwa dapat diselamatkan.
Baca juga : Sebanyak 941 Kasus Lingkungan Ditangani Sepanjang 2021
Upaya penegakan hukum yang dilakukan ini juga dilakukan untuk aspek kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sejumlah upaya yang dicapai meliputi penindakan dengan pemberian 112 surat peringatan karhutla, 15 gugatan perdata, 10 pengawasan perusahaan, dan 1 kasus fasilitasi Polri atau Kejaksaan.
”Penerimaan PNBP (penghasilan negara bukan pajak) dari Gakkum ini mencapai Rp 136 miliar. Perlu dijelaskan bahwa Gakkum tidak mencari uang, tetapi inilah bentuk kita untuk mengembalikan kerugian negara,” kata Rasio.
Menurut Rasio, segala upaya tersebut dilakukan karena Dirjen Gakkum tidak hanya fokus memperkuat aspek pencegahan, tetapi juga penegakan hukum untuk memulihkan kerugian yang diderita korban. Kerugian ini termasuk bagi lingkungan hidup, masyarakat, dan negara.
Ia juga menekankan bahwa penegakan hukum harus bisa memberikan efek jera bagi para pelaku. Dengan memperkuat aspek penegakan hukum, diharapkan hal ini bisa mendukung dalam pencapaian target penyerapan karbon bersih di sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU Net Sink) 2030 serta mencapai lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ancaman KUHP
Terlepas dari kinerja dan capaian tersebut, saat ini terdapat regulasi yang berpotensi mengancam proses penegakan hukum lingkungan. Ancaman tersebut datang usai disahkannya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Desember 2022.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional Nur Wahid Satrio Kusuma mengemukakan, KUHP tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga seluruh aspek pengelolaan atau demokratisasi sumber daya alam. Padahal, jaminan terhadap pengelolaan sumber daya alam berbasis pengetahuan lokal sangat penting dalam upaya pelestarian.
Baca juga: Aturan dalam RKUHP Mengancam Perlindungan Lingkungan Hidup
”KUHP disebut sebagai ancaman karena menghambat perwujudan demokratisasi sumber daya alam. Hambatan ini akan mengancam kelestarian alam dan lingkungan dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat,” ujarnya dalam diskusi daring tentang KUHP dan kelestarian lingkungan beberapa waktu lalu.
Satrio menjelaskan, terdapat dua aspek utama yang menjadi ancaman KUHP ini. Pertama, dalam KUHP tidak ada jaminan untuk menindak dan memberi efek jera terhadap kejahatan korporasi. Kedua, tidak ada jaminan juga untuk perlindungan terhadap setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ketentuan terkait lemahnya menjerat korporasi pelaku kejahatan lingkungan tertuang dalam Pasal 46-48. Ketentuan tersebut membuat penjahat lingkungan yang mayoritas adalah korporasi akan sulit dikejar karena bergantung pada kesalahan pengurus.
Pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga, Maradona, juga menyoroti tentang ketentuan terkait korporasi dan definisinya dalam KUHP baru yang tumpang tindih dengan UU lainnya. Pengakuan korporasi dalam KUHP dinilai tidak menjawab permasalahan beragamnya pendekatan pemidanaan korporasi dalam sistem hukum di Indonesia.
Menurut Maradona, ketentuan terkait korporasi dalam KUHP juga akan menimbulkan perdebatan mengenai pemberlakuan atau definisi lainnya yang tertuang dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Sebab, Pasal 116 UU PPLH juga mengatur tentang tindak pidana lingkungan hidup bagi korporasi.
Belum sesuai harapan
Founder Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mengapresiasi berbagai capaian dari aspek penegakan hukum lingkungan yang telah dilakukan KLHK selama ini. Meski tampak senyap, beberapa penanganan kasus pencemaran maupun kerusakan lingkungan di lapangan terbukti dirasakan langsung oleh masyarakat di sekitar lokasi tersebut.
Kendati demikian, Chalid menilai capaian tersebut masih belum sesuai dengan harapan dari publik secara luas khususnya para aktivis lingkungan. Hal ini ditunjukkan dari minimnya sumber daya manusia dan pendanaan untuk menyelesaikan berbagai kasus dari kegiatan ilegal di sektor kehutanan sehingga membuat proses penegakan hukum kurang efektif.
Chalid juga menyoroti tentang perlunya penguatan dan kolaborasi lintas sektor terkait penegakan hukum lingkungan hingga level tertinggi. Sebab, para pelaku eksploitasi sumber daya alam ataupun kejahatan lingkungan lainnya kerap didukung kekuatan modal dan kekuasaan, seperti korporasi, politisi, pejabat, hingga oknum aparat penegak hukum.
Baca juga: ICEL: Hukum Lingkungan Masih Akan Diarahkan Jadi Instrumen Pendukung Pembangunan
”Komunikasi di pucuk pimpinan seperti yang pernah dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala polri untuk kasus tambang emas di Poboya (Sulawesi Tengah) ini efektif sehingga mereka tidak berani memukul balik orang KLHK. Akan tetapi, banyak jumlah kasus seperti ini sehingga harus dicari cara lain yang lebih efektif,” ucapnya.
Salah satu upaya yang bisa dipertimbangkan guna mengatasi tantangan ini ialah melibatkan Presiden untuk memberikan mandat yang lebih tegas dalam penegakan hukum lingkungan. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan peran multipihak secara nyata dari aspek perundang-undangan hingga ke tingkat aparat penegak hukum.