Aturan dalam RKUHP Mengancam Perlindungan Lingkungan Hidup
Pengesahan RKUHP dengan draf yang ada saat ini akan membuat penegakan hukum lingkungan kian terancam. Sebab, beberapa pasal berpotensi melemahkan sanksi pidana bagi korporasi ataupun pihak perusak lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP mengancam perlindungan lingkungan hidup dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Negara diminta untuk membahas kembali RKUHP ini dan mengeluarkan ketentuan terkait tindak pidana lingkungan dalam RKUHP.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring mengemukakan, beberapa ketentuan dalam RKUHP saat ini berpotensi melemahkan sanksi pidana bagi korporasi ataupun pihak perusak lingkungan. Padahal, ancaman sanksi ini seharusnya lebih besar daripada keuntungan yang diterima perusak lingkungan.
”Ancaman sanksi dalam RKUHP tidak sebanding dengan keuntungan yang diterima korporasi atau pihak perusak lingkungan. Artinya, mereka akan sangat diuntungkan dengan adanya RKUHP ini,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Kamis (18/8/2022).
RKUHP membuktikan negara semakin memberikan karpet merah kepada perusak lingkungan dengan kian melemahnya sanksi bagi mereka.
Sejumlah ketentuan dalam RKUHP yang mengancam perlindungan lingkungan hidup ini adalah Pasal 344 dan 345. Kedua pasal ini mengatur masalah tindak pidana lingkungan hidup. Namun, ketentuan dalam RKUHP ini berbeda dengan tindak pidana lingkungan utama yang diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah penggunaan unsur ”dan” pada baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan. Pasal dalam RKUHP tersebut juga tidak ada pengaturan sanksi minimal khusus dan sanksi pidananya lebih rendah daripada UU PPLH.
Selain itu, Pasal 344 dan 345 bermasalah mengingat masih ada unsur melawan hukum yang membuat pembuktian akan sulit karena dapat disanggah. Kemudian, pengaturan baku mutu lingkungan dalam pasal tersebut juga tidak jelas. Ini akan sulit menjerat pelaku karena harus membuktikan terlampauinya baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan.
”Kalau tidak diantisipasi, hal ini akan membuat sebuah penegakan hukum lingkungan memasuki jurang. Sebab, akan sulit menjerat pelaku ketika harus membuktikan kriteria baku kerusakan. Sementara secara ilmiah dan metodologi, tidak perlu membuktikan kriteria baku kerusakan dalam hal terjadinya pencemaran,” tuturnya.
Menurut Raynaldo, pengesahan Pasal 344 dan 345 RKUHP ini akan menimbulkan kebingungan dari para penegak hukum. Pada akhirnya, kebingungan ini berpotensi membuat para perusak lingkungan tidak bisa dijerat hukuman secara maksimal.
Kebingungan ini muncul karena terdapat dualisme dalam pengaturan tindak pidana lingkungan hidup. Di satu sisi, penyusun RKUHP ingin menempatkan Pasal 344 dan 345 sebagai pengganti dari Pasal 98 dan 99 UU PPLH. Di sisi lain, ketentuan tersebut tidak bisa digantikan karena pengaturan dan implikasinya berbeda-beda.
Selain Pasal 344 dan 345, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana juga menyoroti ketentuan terkait pemidanaan korporasi dalam Pasal 45-50 RKUHP. Andri mencatat pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam ketentuan ini masih bermasalah dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.
Rumusan pertanggungjawaban korporasi yang tertuang dalam Pasal 37 huruf b RKUHP juga dipandang akan menyulitkan pembuktian kesalahan korporasi. Sebab, alih-alih mengatur pemidanaan agen korporasi, RKUHP justru mengatur pertanggungjawaban pengganti individual (individual vicarious liability).
”Dalam Pasal 37 disebutkan, seseorang dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana orang lain. Ini sangat berbahaya karena merupakan vicarious liability. Secara konsep pidana ini sangat keliru karena hanya berlaku pada kasus perdata,” ucapnya.
Dibahas kembali
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, ICEL dan Walhi meminta pemerintah beserta DPR untuk membahas kembali ketentuan tindak pidana lingkungan hidup dan korporasi dalam masa sidang saat ini. Ketentuan terkait tindak pidana ini juga diminta untuk dikeluarkan dari RKUHP agar tetap menjadi tindak pidana yang diatur dalam UU khusus.
Selain itu, negara juga diminta memperbaiki ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi. Ini meliputi memperbaiki atribusi kesalahan pada korporasi, mengharmonisasi RKUHP dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi dan administrasi negara, serta memperjelas pemidanaan dan sanksi pidana bagi korporasi.
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi Puspa Dewy mengatakan, sejumlah catatan dalam RKUHP ini semakin mempertegas upaya negara dalam membatasi ruang demokratisasi rakyat, khususnya pada aspek lingkungan. Sebelumnya, aspirasi masyarakat juga diabaikan negara dalam penyusunan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
”Ini mempertegas bagaimana negara meletakkan rakyat hanya sebagai obyek dan bukan subyek penentu kedaulatan lingkungan hidup. RKUHP membuktikan negara semakin memberikan karpet merah kepada perusak lingkungan dengan kian melemahnya sanksi bagi mereka,” katanya.