Larangan menjual rokok ketengan bertujuan menekan prevalensi perokok anak dan remaja yang terus meningkat. Kebijakan pelarangan menjual rokok batangan diharapkan bisa segera disahkan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menerbitkan regulasi larangan menjual rokok batangan dinilai membutuhkan pengawasan dan penindakan secara tegas sebagai bagian dari upaya menekan jumlah perokok usia anak. Karena itu, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan diperlukan dalam mengawasi praktik di lapangan.
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/12/2022), mengatakan tujuan menurunkan prevalensi perokok anak salah satunya dengan kebijakan pelarangan menjual rokok batangan. Hingga saat ini, anak masih sangat mudah mengakses rokok dan harganya terjangkau di kantong mereka.
Meski merupakan kebijakan pemerintah pusat, pengawasan implementasi aturan ini bisa dilakukan pemerintah daerah melalui penerbitan peraturan daerah. Pengawasan yang berada di level daerah dapat dibantu satuan polisi pamong praja (satpol PP).
”Satpol PP dilibatkan dalam menindak pelanggar. Sosialisasi dan pelibatan masyarakat penting untuk mengawasi warung-warung rumahan yang menjual rokok batangan,” ujarnya.
Namun, hal yang lebih utama adalah mengawal dan memastikan agar kebijakan itu dapat segera disahkan. Proses revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan itu memuat banyak sekali instrumen pengendalian tembakau salah satunya larangan menjual rokok batangan.
Sejak tahun 2018, proses revisi PP No 109/2012 berjalan alot bertahun-tahun. Walaupun sudah dilakukan beberapa kali pertemuan antar-kementerian untuk membahasnya, hingga kini proses revisi tak kunjung selesai.
Satpol PP dilibatkan dalam menindak pelanggar. Sosialisasi dan pelibatan masyarakat penting untuk mengawasi warung-warung rumahan yang menjual rokok batangan.
Selain larangan rokok batangan, kata Lisda, dalam revisi PP No 109/2012 itu juga terdapat aturan tentang iklan, sponsor rokok, dan gambar peringatan akibat merokok yang diperbesar. Apalagi, kebijakan tersebut juga sudah berjalan di banyak negara yang telah berhasil mengendalikan konsumsi rokok dan menekan jumlah perokok anak.
”Dari yang kami telusuri meningkatnya perokok anak karena juga dipengaruhi iklan, promosi, sponsor, dan harga rokok yang murah. Maka itu, kami terus mendesak agar aturan tersebut segera disahkan. Karena dengan adanya kebijakan konkret, selanjutnya untuk mencapai target menekan jumlah prevalensi perokok anak bisa dilakukan,” kata Lisda.
Pemerintah pun sudah mempunyai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 yang menargetkan turunnya perokok usia 10-18 tahun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di tahun 2024.
”Jangan sampai selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo terus terjadi kenaikan jumlah perokok anak. Sudah saatnya Presiden mengesahkan kebijakan tersebut untuk menekan jumlah perokok anak yang kian memprihatinkan,” kata Lisda.
Perokok muda
Merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), sejak 2013, prevalensi merokok remaja usia 10-18 tahun yang sebesar 7,2 persen meningkat menjadi 9,1 persen (Riskesdas 2018). Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, 71 persen remaja membeli rokok secara batangan atau ketengan dan 60 persen penjual tidak melarang saat remaja membeli rokok (Kompas, 28/12/2022).
Siswa kelas 12 SMA di Jakarta Timur, Fathi (18), menuturkan, alasannya membeli rokok batangan karena harganya lebih murah. Ia mulai merokok sejak usia 15 tahun lantaran terpengaruh oleh temannya. Saat itu, ia pertama kali membeli rokok batangan dan berlanjut menjadi kebiasaan merokok. Setiap hari, Fathi dapat menghabiskan enam batang rokok.
”Kalau dihitung dengan uang jajan sehari paling bisa untuk membeli rokok batangan saja di warung. Karena jika membeli satu bungkus harganya rata-rata Rp 28.000 per bungkus,” kata Fathi.
Hal serupa juga dilakukan oleh Malik (18), siswa kelas 12 SMA di Jakarta Selatan. Ia mengaku memilih membeli rokok batangan karena harganya lebih terjangkau untuk kantong anak sekolah. Jika ada larangan membeli rokok batangan, hal itu bisa memengaruhinya untuk mengurangi konsumsi rokok.
Sementara itu, Fikri Qoisi (24), penjaga warung kecil di kawasan Petamburan, Tanah Abang, mengatakan, pembeli rokok ketengan didominasi kalangan remaja dan dewasa. Ia menjual rokok dengan harga Rp. 2.000 per batang. Konsumen lebih sering membeli rokok batangan karena harganya lebih terjangkau dibandingkan harga rokok satu bungkus yang terus naik.
Terkait rencana kebijakan larangan menjual rokok batangan, ia belum mengetahui secara detail larangannya nanti. Saat ini pemerintah sebatas melarang memasang spanduk iklan rokok di warung.
Sebelumnya, Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim mengatakan, jika rencana kebijakan tersebut terealisasi, pemerintah menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan kesehatan publik. Kebijakan tersebut juga dapat melindungi kelompok rentan, khususnya anak-anak, perempuan, hingga kelompok rumah tangga miskin, dari bahaya rokok.
”Regulasi tersebut juga akan membuat harga rokok mahal dan sulit diakses oleh kelompok rentan. Semua pihak harus mengawal agar wacana tersebut bisa sampai dalam bentuk regulasi konkret,” ucap Ifdhal.