Konferensi Keanekaragaman hayati ke-15 menghasilkan sejumlah kesepakatan. termasuk target yang terukur. Kesepakatan ini perlu segera ditindaklanjuti Indonesia demi memperkuat perlindungan keanekaragaman hayati.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Konferensi Keanekaragaman Hayati ke-15 di Montreal, Kanada, telah berakhir dan menghasilkan sejumlah kesepakatan termasuk target yang terukur untuk melindungi keanekaragaman hayati. Disepakati juga adanya pengakuan eksplisit atas hak, peran, wilayah, dan pengetahuan masyarakat adat sebagai perlindungan keanekaragaman hayati paling efektif.
Hasil perundingan dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati ke-15 atau COP15 di Montreal disepakati oleh para delegasi dari sejumlah negara pada Senin (19/12/2022) waktu Kanada. Kesepakatan tersebut dihasilkan melalui serangkaian proses perundingan selama hampir dua pekan sejak mulai diselenggarakan pada 7 Desember 2022.
Salah satu poin kesepakatan ini yaitu adanya upaya untuk mengarahkan setiap negaradalam mengalokasikan pendanaan hingga 200 miliar dollar AS per tahun untuk mempercepat pelestarian perlindungan keanekaragaman hayati. Pendanaan ini dapat dikumpulkan dari berbagai sektor baik publik maupun swasta.
Sementara khusus bagi negara-negara maju, mereka akan menyediakan pendanaan hingga 25 miliar dollar AS per tahun yang dimulai pada 2025. Pendanaan ini disepakati akan meningkat hingga 30 miliar dollar AS per tahun pada 2030.
“Kami memiliki pencapaian besar dalam teks kesepakatan ini sekarang. Kesepakatan ini adalah upaya besar untuk menemukan zona pendaratan dan membuat semua pihak bergabung dalam upaya konservasi,” ujar Komisaris Lingkungan Uni Eropa Virginijus Sinkevicius usai kesepakatan itu disahkan, Selasa (20/12/2022).
Perlindungan berbasis hak adalah masa depan konservasi. Pembiayaan langsung untuk masyarakat adat merupakan langkah penting berikutnya yang perlu dilakukan.
Selain itu, disepakati juga Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal2030 yang mencerminkan kepemimpinan bersama China dan Kanada. Kerangka kerja tersebut berisi total 23 target dan sekaligus menggantikan Target Keanekaragaman Hayati Aichi 2010. Namun, berbeda dengan Aichi, Kerangka Kerja Kunming-Montreal berisi sejumlah target yang lebih dapat diukur.
Beberapa di antaranya terkait dengan pengurangan subsidi berbahaya yang diberikan kepada industri, setidaknya hingga 500 miliar dollar AS per tahun. Upaya ini juga diyakini akan mempermudah penelusuran dan pelaporan kemajuan target tersebut.
Hal lain yang menjadi sorotan dalam kesepakatan COP15 yakni adanya pengakuan eksplisit atas hak, peran, wilayah, dan pengetahuan masyarakat adat. Setiap negara meyakini bahwa masyarakat adat menjadi pihak yang memberikan perlindungan keanekaragaman hayati paling efektif di wilayahnya masing-masing.
Kepala delegasi Greenpeace di COP15Lambrechts dalam siaran persnya menyatakan, masyarakat adat merupakan pihak yang paling mampu menjaga alam dan berpengetahuan luas. Potensi perlindungan keanekaragaman hayati diyakini akan semakin luas bila masyarakat adat memegang peran kepemimpinan.
“Perlindungan berbasis hak adalah masa depan konservasi. Pembiayaan langsung untuk masyarakat adat merupakan langkah penting berikutnya yang perlu dilakukan,” ucapnya.
Meski demikian, secara keseluruhan, Lambrechts menilai bahwa COP15 gagal mewujudkan ambisi, alat, atau keuangan yang diperlukan untuk menghentikan kepunahan massal. Target melindungi 30 persen daratan dan lautan pada 2030 atau dikenal dengan istilah 30×30tidakmenetapkan kualifikasi penting dari aktivitas merusak di kawasan lindung.
Berbasis komunitas
Juru Kampanye HutanGreenpeace Indonesia Sekar Banjaran Ajiyang turut hadir langsung dalam COP15 mengatakan, kesepakatan dalam COP15 menjadi tambahan amunisi untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat. Hal ini sekaligus memberikan peluang percepatan konservasi berbasis komunitas di Indonesia.
Menurut Sekar, sebelum memastikan percepatan konservasi berbasis komunitas, upaya yang perlu segera dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi keputusan ini yaitu segera mengakui masyarakat adat beserta wilayahnya. Pengakuan ini dapat dilakukan dengan merujuk data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
“Saat ini juga sudah ada Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta RUU Masyarakat Adat di DPR. Jadi, minimal perlu mengkoneksikan Kesepakatan Kunming-Montreal dengan dua RUU tersebut,” ucapnya.