Selain Jalan Mencari Kerja, Pendidikan Juga untuk Wujudkan Peradaban
Pendidikan Indonesia menjadi tumpuan untuk mewujudkan sumber daya manusia unggul dengan tetap berpegang pada nilai-nilai budaya bangsa. Namun, pendidikan belum memiliki arah jalan yang jelas untuk terus konsisten.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan tidak semata-mata tentang proses pembelajaran dan kesiapan memasuki dunia kerja. Namun, pendidikan juga harus menjadi proyek untuk mewujudkan peradaban dan keadaban publik dengan menjalankan proses pendidikan sesuai nilai-nilai dasar dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Karena itu, peta jalan pendidikan penting dibuat secara demokratis sebagai acuan atau arah bagi pencapaian pendidikan nasional.
Romo Darmin Vinsensius Mbula OFM, Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik, di webinar Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk ”Kaleidoskop Pendidikan Indonesia 2022”, Minggu (18/12/2022), mengatakan, pendidikan dimaksudkan untuk membawa orang terdidik, punya akal sehat, dan bisa berpikir untuk masa depan yang lebih baik. Karena itu, penting untuk terus berefleksi apakah pendidikan sejati sudah dijalankan bangsa ini guna menghasilkan orang-orang yang bisa melindungi satu sama lain, menyejahterakan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta menciptakan ketertiban dunia.
Menurut Romo Darmin, pendidikan Indonesia masih jauh dari menjalankan pendidikan yang mengacu pada nilai-nilai dasar sesuai tujuan pendidikan di pembukaan UUD 1945. Demikian pula pendidikan belum berjalan pada garis sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
”Apalagi menjadi proyek peradaban dan keadaban publik untuk menghasilkan manusia yang bebas, mencintai perdamaian, dan menjunjung tinggi keadilan sosial,” kata Romo Darmin yang juga tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Indonesia.
Romo Darmin menilai, masyarakat masih belum mampu saling menghormati terhadap keyakinan/religiositas dan hak asasi manusia; belum berwawasan kebangsaan, persatuan, dan demokrasi; serta belum bisa menegakkan dan menjunjung keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dengan adanya intoleransi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya menjadi oasis tempat teduh semua warga negara yang multikultural, yang semestinya saling menghargai satu sama lain. Belum lagi marak pula kekerasan seksual di dunia pendidikan yang melukai harkat dan martabat manusia.
Soal demokratis pun seakan-akan hanya urusan dunia politik, padahal demokrasi pendidikan juga harus ada yang dimulai dari sekolah. ”Awalnya dengan Merdeka Belajar diharapkan ada ruang penuh kebebasan berpikir, tetapi ternyata masih proyek yang belum menjawab hakikat inti kebebasan. Karena itu, agar jelas arah pendidikan ini, pendidikan direncanakan dengan adanya peta jalan pendidikan untuk membuat manusia Indonesia yang bebas berekspresi, mengalami perdamaian/harmoni dan pendidikan membuat semua warga negara merasakan keadilan sosial,” ujarnya.
Peta jalan pendidikan
Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu) Arifin Junaidi mengatakan, berbagai kebijakan dan kejadian dalam dunia pendidikan sepanjang tahun 2022 memperlihatkan pendidikan yang semakin tidak ”mengindonesia”, yakni tidak berangkat dari kondisi aktual bangsa serta terindikasi tidak menuju Indonesia yang lebih baik dan maju.
”Memang dunia semakin tidak ada batas. Namun, kita bisa belajar dari negara lain, seperti China, Korea, atau Jepang, yang bisa menjadi negara maju tetapi tidak meninggalkan budaya dan karakter bangsanya,” kata Arifin.
Menurut Arifin, ketidakjelasan arah pendidikan nasional untuk mendukung lahirnya SDM unggul karena ketiadaan peta jalan pendidikan sebagai rujukan. Ada ketidakseriusan Kemendikbudristek untuk merampungkan peta jalan pendidikan yang disusun dengan menampung aspirasi masyarakat lewat kelompok kerja nasional peta jalan pendidikan.
”Ketika belum jelas nasibnya, tiba-tiba Kemendikbudristek malah mengajukan usulan untuk merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003,” katanya.
Padahal, kata Arifin, adanya peta jalan menjadi pengikat bagi siapa pun menteri pendidikan kelak dalam pengambilan kebijakan, setidaknya hingga sampai 2045. Pembangunan pendidikan akan menjadi lebih terarah sehingga terjadi pencapaian signifikan, berkeadilan, dan merata dalam bidang pendidikan. Desain peta jalan pendidikan dibuat dengan menyesuaikan empat perubahan yang terjadi secara nasional dan global, yakni mengacu pada perekonomian Indonesia, sosial kultural, pasar kerja, dan visi Indonesia 2045.
Program mahal
Dhitta Puti Sarasvati dari Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas mengatakan, yang menggelisahkan dalam kebijakan dan program pendidikan lewat Merdeka Belajar antara lain lahir berbagai program mahal. Namun, perlu dikritisi apakah program tersebut berdampak dalam menyentuh yang paling membutuhkan serta meningkatkan kualitas yang paling membutuhkan dukungan. Saat ini, justru terlihat upaya-upaya sentralisasi program.
Dhitta menilai program Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan bagi calon guru justru mahal. Calon guru dari perguruan tinggi umum dan non-guru harus menjalani PPG satu tahun setelah lulus sarjana untuk dapat menjadi guru.
Menurut Dhitta, sebenarnya penguatan kependidikan di PPG prajabatan bisa dipelajari S-1 Kependidikan. ”Seharusnya S-1 pendidikan sudah layak menjadi guru tanpa PPG prajabatan. Tampaknya pembenahan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau perguruan tinggi penghasil calon guru tidak terjadi sehingga diadakan PPG prajabatan. Padahal, dengan membenahi kurikulum LPTK jauh lebih murah dan efeknya lebih besar,” kata Dhitta yang juga dosen di salah satu LPTK swasta.
Demikian pula program guru penggerak (GP) yang dinilai sebagai inovasi. Program ini menyiapkan guru menjadi penggerak dengan kepemimpinan baik, visi jelas, dan paham konteks lokal, serta dapat menggerakkan sekitar. Program GP ini diikuti guru terpilih selama sembilan bulan yang kemudian mereka diprioritaskan untuk diangkat menjadi kepala sekolah. Para guru merasa senang dengan program ini karena selama ini ”haus” pada pendidikan dan pelatihan guru.
”Dari testimoni guru GP, mereka mendapatkan dukungan untuk lebih berpihak pada anak. Artinya, pendidikan sembilan bulan GP itu memberikan keterampilan dasar pendidikan yang seharusnya diajarkan di tingkat LPTK. Namun, label GP itu begitu wah, tetapi sebenarnya masih jauh dianggap sebagai penggerak,” kata Dhitta.
Menurut Dhitta, program GP sembilan bulan dengan anggaran saat ini sebenarnya bisa digunakan untuk banyak hal lain. Demikian juga adanya platform merdeka mengajar (PMM) yang menekankan tentang berbagi praktik baik sesama guru dan selama ini sudah terjadi lewat platform Rumah Belajar yang dibuat Kemendikbudristek sebelumnya.
Bahkan, untuk bisa masuk PMM harus mendaftar lewat akun lain dulu. Kenyataannya, banyak tekanan bagi guru di daerah untuk bisa mengakses ke PMM karena diwajibkan dinas pendidikan. Tidak heran jika PMM diklaim diunduh dan digunakan guru secara masif.