Aspek Pendanaan Masih Jadi Kendala Perundingan COP15 Keanekaragaman Hayati
Konferensi Para Pihak tentang Keanekaragaman Hayati Ke-15 atau COP15 di Montreal, Kanada, telah memasuki minggu akhir perundingan. Namun, setiap delegasi masih belum mencapai kesepakatan terkait pendanaan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Para Pihak tentang Keanekaragaman Hayati Ke-15 atau COP15 di Montreal, Kanada, telah memasuki minggu akhir perundingan. Namun, sampai sekarang delegasi setiap negara masih belum memperlihatkan tanda-tanda tercapainya berbagai kesepakatan penting, khususnya terkait dengan pendanaan konservasi.
Perundingan COP15 yang berlangsung sejak 7 Desember lalu mulai memasuki perundingan akhir minggu ini sebelum resmi selesai pada Senin (19/12/2022) mendatang. Dalam pertemuan ini, para delegasi setiap negara terus berunding untuk mencari kesempatan bersama terkait dengan upaya untuk mengatasi kerusakan alam dan kepunahan spesies.
Kantor berita Reuters pada Jumat (16/12) dini hari melaporkan, isu pendanaan masih menjadi kendala setiap delegasi dalam perundingan tersebut. Setiap delegasi masih merundingkan terkait penyelesaian pembiayaan dan komitmen konservasi lahan.
Dalam COP15, Pemerintah Indonesia perlu melangkah untuk berbicara atas nama masyarakat adat, bukan korporasi.
Aspek pendanaan ini kerap menjadi isu yang diperdebatkan dan sulit disepakati dalam setiap perundingan. Dalam COP15 Keanekaragaman Hayati, negara-negara berkembang mendorong negara maju untuk menyediakan sekitar 100 miliar dollar AS per tahun hingga tahun 2030 untuk membantu membiayai upaya konservasi di wilayah mereka.
Meski demikian, negara maju enggan menyepakati permintaan pendanaan baru dari negara berkembang ini. Sikap negara maju tersebut kemudian direspons kembali oleh delegasi dari negara-negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika dengan meninggalkan ruang perundingan (walk-out) pada awal pekan lalu.
Saat ini, Uni Eropa(UE) merupakan salah satu pihak yang telah mendonorkan pendanaan terbesar untuk upaya menjaga keanekaragaman hayati. Dalam COP15 ini, UE kembali diharapkan menanggung sebagian besar pendanaan dari negara-negara maju.
Akan tetapi, Amerika Serikatyang juga sebagai negara maju tidak memiliki kewajiban terhadap pendanaan ini. Sebab, ASmerupakan negara besar yang tidak meratifikasikesepakatan internasional dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Permintaan pendanaan ini turut direspons oleh UE yang menolak usulan dari negara berkembang. UE memandang, pendanaan itu jangan dibebankan kepada satu pihak, tetapi perlu dukungan dari sumber lainnya, seperti swasta, bank pembangunan, ataupun filantropi.
”Sungguh tidak realistis menganggarkan 100 miliar dollar AS hanya dari dana pembangunan. Negara tidak boleh menjanjikan pendanaan secara berlebihan dari apa yang tidak dapat kami berikan,” kata Komisioner Lingkungan Uni Eropa Virginius Sinkevicius.
Para negosiator sebelumnya juga telah membahas target pendanaan hingga 200 miliar dollar AS per tahun yang bersumber baik dari pemerintah maupun sektor swasta. Namun, sampai saat ini, perundingan tersebut juga belum mencapai kesepakatan bersama.
Dengan rangkaian perundingan COP15 yang tampak masih belum mencapai kesepakatan, sejumlah pihak, seperti ilmuwan dan aktivis, khawatir target melindungi keanekaragaman hayati akan semakin sulit. Padahal, konvensi memiliki target bersama untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan pada tahun 2030 atau dikenal dengan istilah 30x30.
Perlindungan masyarakat adat
Hasil dari COP15 ini juga sangat dinanti negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, tak terkecuali Indonesia. Kesepakatan dari COP15 sekaligus diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pihak yang selama ini telah menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati di wilayahnya.
Greenpeace pun mendesak agar COP15 dapat mengadopsi kerangka keanekaragaman hayati global yang kuat, menjalin kemitraan dengan masyarakat adat, dan memastikan pendanaan yang memadai. Kegagalan dalam menyepakati kerangka kerja keanekaragaman hayati yang kuat dipandang tahun ini dipandang akan kian mempersulit upaya melindungi spesies, alam, dan iklim di masa mendatang.
Juru Kampanye HutanGreenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji menilai, kepentingan korporasi dan program pembangunan pemerintah kerap menjadi petaka bagi eksistensi masyarakat adat di Indonesia. Bahkan, wilayah masyarakat adat terus terancam dan sampai sekarang mereka masih terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan hukum.
”Bahan bakar fosil, penebangan, pertambangan, hingga perkebunan kelapa sawitdibangun dari sebidang tanah adat.Jadi, dalam COP15, Pemerintah Indonesia perlu melangkah untuk berbicara atas nama masyarakat adat, bukan korporasi,” ungkapnya.