Tanpa Target, 100 Negara Deklarasikan Perlindungan Keanekaragaman Hayati
Lebih dari 100 negara menandatangani Deklarasi Kunming. Namun, niat untuk mengarusutamakan perlindungan keanekaragaman hayati dalam pengambilan kebijakan itu tidak disertai target spesifik dan dukungan riil.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KUNMING, RABU — Pemerintahan lebih dari 100 negara, Rabu (13/10/2021), menandatangani Deklarasi Kunming, sebuah rumusan tentang tekad negara-negara untuk melindungi keanekaragaman hayati. Namun, deklarasi itu tak disertai komitmen khusus dan target spesifik untuk implementasinya.
Deklarasi Kunming merupakan salah satu hasil dari Konferensi Keanekaragaman Hayati yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kota Kunming, Provinsi Yunan, China, 11-15 Oktober. Tujuan utama forum tersebut adalah menetapkan kerangka kerja keanekaragaman hayati global pasca-2020.
Draf pertama yang dirilis Juli lalu didasarkan atas pengalaman pelaksanaan Rencana Strategis Keanekaragaman Hayati 2011-2020 berikut target-target yang ditetapkan pada forum di Aichi, Jepang, 2010. Agenda ini berangkat dari kesadaran bahwa aksi global, regional, dan nasional diperlukan untuk mentransformasi model-model ekonomi, sosial, dan keuangan lama ke model baru.
Dalam beberapa dekade terakhir, model lama terbukti memperburuk fenomena punahnya keanekaragaman hayati. Melalui model baru, situasi keanekaragaman hayati diharapkan akan stabil pada 2030 sehingga memungkinkan pemulihan ekosistem alami dengan perbaikan pada 2050.
Menteri Lingkungan China Huang Runqiu menyatakan, Deklarasi Kunming adalah dokumen politik. Dokumen itu bukanlah perjanjian internasional yang mengikat. Deklarasi Kunming menyerukan tindakan mendesak dan terpadu untuk menempatkan keanekaragaman hayati sebagai wawasan dalam semua kebijakan ekonomi global. Namun, langkah konkret implementasinya tidak disinggung dan dibiarkan jadi agenda masa depan. Misalnya, pendanaan konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati di negara-negara miskin serta komitmen para deklarator untuk menjaga agar rantai pasok ramah terhadap keanekaragaman hayati.
Deklarasi Kunming juga menempatkan perlindungan habitat dan keanekaragaman hayati di setiap wilayah negara sebagai jantung pada setiap pengambilan keputusan serta kebijakan pemerintah masing-masing.
Tak tercapai
Pada forum serupa yang dihelat di Aichi, Jepang, 2010, negara-negara deklarator menyetujui 20 target untuk memperlambat punahnya keanekaragaman hayati dan melindungi habitat. Namun, 10 tahun berselang, tak satu pun target terpenuhi.
Hilangnya spesies tumbuhan dan hewan yang terjadi beberapa dekade belakangan adalah yang tercepat dalam rentang waktu 10 juta tahun terakhir. Para politisi, ilmuwan, dan ahli telah mencoba meletakkan dasar bagi kerangka kerja bersama untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati.
PBB menyerukan kepada semua negara untuk melindungi dan melestarikan 30 persen wilayahnya pada 2030 atau yang dikenal sebagai ”30 di 30”. Deklarasi itu (Kunming) mengacu pada target ’30 di 30’, tetapi tidak menunjukkan apakah Beijing setuju atau tidak,” kata Li Shuo, penasihat iklim senior di kelompok lingkungan Greenpeace.
Target 30 persen itu, menurut Li, membuktikan adanya tekanan terhadap Pemerintah China yang memiliki hampir 10.000 lokasi cagar alam di seluruh wilayahnya. Agregasi luasnya setara dengan 18 persen luas seluruh wilayah China.
Alice Hughes, ahli konservasi biologi yang berbicara pada forum di Kunming atas nama Yayasan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan Hijau China, mengatakan, sejumlah akademisi mengusulkan target perlindungan areal keanekaragaman hayati yang berbeda-beda. ”Ada yang 24 persen, 25 persen, dan sebagainya. Namun, untuk mencapai angka 18 persen saja menantang. Jadi, 30 persen itu mungkin sulit,” ujarnya.
Selain itu, Hughes melanjutkan, menyamaratakan target luas wilayah yang harus dilindungi untuk semua negara kurang tepat. Dia mencontohkan, Indonesia dan Brasil bisa jadi justru akan memanfaatkannya untuk melakukan deforestasi dibandingkan melindungi keanekaragaman hayatinya.
Sekretaris Eksekutif Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati Elizabeth Mrema tidak begitu ambil pusing dengan target 30 persen itu. ”Kita perlu ingat bahwa kita harus fokus pada hasil keanekaragaman hayati daripada luasan wilayah spasial,” katanya.
Di luar persoalan tentang target konservasi, beberapa aktivis mengeluhkan soal ketidaksepakatan atas rumusan Deklarasi Kunming yang telah mengalihkan perhatian delegasi atas tindakan mendesak yang diperlukan.
Draf pertama deklarasi, misalnya, memasukkan sejumlah slogan politik terkait Presiden China Xi Jinping. Hal ini menuai kritik dari beberapa pihak sekaligus mengonfirmasi minimnya pengalaman tuan rumah untuk mengawal perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Setelah mendapat umpan balik dari lebih dari 40 negara, slogan Presiden Xi soal frasa ”air jernih dan pegunungan yang subur” akhirnya dihapus dari teks. Sementara konsep peradaban ekologis dipertahankan sesuai dengan draf aslinya.
Menurut sumber yang mengetahui perjalanan deklarasi itu, Jepang mengeluhkan sikap China yang mendorong deklarasi tanpa diskusi memadai. ”Pada dasarnya mereka merasa bahwa tidak ada cukup waktu untuk berkonsultasi mengenai beberapa deklarasi,” kata Hughes. (REUTERS)