Dugaan Malaadministrasi Kasus Gangguan Ginjal Akut Terbukti
Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan terbukti telah melakukan malaadministrasi terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak. Hal ini berdasarkan hasil pemeriksaan dari Ombudsman RI.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan Ombudsman RI atas malaadministrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan terkait kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal telah terbukti. Laporan hasil pemeriksaan telah diberikan kepada dua instansi tersebut. Tindakan korektif pun diminta untuk segera dilakukan.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, kegiatan investigasi atas dugaan malaadministrasi terkait kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal dilakukan atas prakarsa sendiri dari Ombudsman. Terdapat dua pihak terlapor yang diperiksa, yakni Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
”Jadi, dari hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman RI, dugaan malaadministrasi oleh Menteri Kesehatan dan Kepala BPOM terbukti,” ucapnya di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Ia menuturkan, temuan malaadministrasi yang dilakukan Menteri Kesehatan adalah tidak melakukan pendataan dan surveilans sejak awal munculnya gejala gangguan ginjal akut pada anak. Selain itu, Menteri Kesehatan juga tidak segera menindaklanjuti kasus gangguan ginjal akut sebagai kejadian luar biasa (KLB) sehingga berdampak pada pasifnya respons pemerintah dalam menindaklanjuti kasus tersebut.
Padahal, menurut Robert, penetapan KLB sangat diperlukan untuk menggerakkan semua pemangku kepentingan dalam penanganan gangguan ginjal akut. Kasus penularan yang terjadi di masyarakat pun harus dilakukan secara luar biasa.
”Status KLB yang tidak segera ditetapkan menyebabkan penanganan menjadi lamban. Pihak yang di luar rumpun kesehatan pun tidak bisa bergerak secara aktif. Jika alasannya karena bukan termasuk penyakit menular, pada 2013 lalu pernah ditetapkan KLB pada kasus keracunan makanan sehingga penanganan bisa lebih cepat,” ujarnya.
Robert menyampaikan, temuan malaadministrasi lain yang dilakukan Menteri Kesehatan adalah sosialisasi dan penegakan peraturan yang dilakukan secara tidak kompeten terhadap fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tentang tata laksana dan manajemen klinis dari gangguan ginjal akut pada anak akibat cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Menteri Kesehatan pun dinilai tidak menyampaikan informasi secara luas mengenai konklusi pasti penyebab dari gangguan ginjal akut pada anak.
Jadi, dari hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman RI, dugaan malaadministrasi oleh Menteri Kesehatan dan Kepala BPOM terbukti.
Sementara pada Kepala BPOM, temuan malaadministrasi yang dilakukan adalah tidak ada pengawasan yang baik dari proses peredaran obat sirop mengandung EG dan DEG yang melanggar ambang batas. Hal itu mengakibatkan obat tercemar tersebut terdistribusi dan dikonsumsi oleh masyarakat.
Malaadministrasi yang juga terbukti dilakukan oleh BPOM adalah tidak optimal dalam mengawasi kegiatan farmakovigilans (penggunaan obat) dan kepatuhan industri farmasi terhadap aturan yang berlaku. Koordinasi yang lebih baik seharusnya bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dari industri.
Korektif
Robert mengatakan, merujuk pada tindakan malaadministrasi yang dilakukan Menteri Kesehatan dan Kepala BPOM terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak, sejumlah tindakan korektif perlu segera dilakukan oleh kedua pihak terlapor. Tindakan korektif ini diharapkan bisa dilakukan setidaknya dalam kurun waktu 30 hari ke depan.
Tindakan korektif yang harus dilakukan oleh Menteri Kesehatan antara lain meningkatkan kapasitas tim surveilans data melalui penyediaan struktur kerja yang dapat mendukung tersedianya data yang akurat dan komprehensif.
Tindakan lain, menyempurnakan peraturan terkait KLB, khususnya mengenai cakupan penyakit menular dan tidak menular. Selain itu, melakukan sosialisasi secara masif dan terukur kepada semua fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tentang tata laksana dan manajemen klinis penanganan gangguan ginjal akut. Menteri Kesehatan juga diminta untuk menyampaikan informasi kepada publik mengenai penyebab pasti dari gangguan ginjal akut yang terjadi pada sejumlah anak di Indonesia.
Robert menuturkan, BPOM pun diminta untuk melakukan tindakan korektif dengan mengevaluasi laporan farmakovigilans di semua industri farmasi yang memproduksi dan mengedarkan obat sirop. Pemeriksaan dan uji sampel produk juga perlu dipastikan terus berjalan.
BPOM diminta pula untuk melakukan pendataan terhadap volume penjualan dan area persebaran obat sirop yang mengandung EG dan DEG. Hasil dari pendataan tersebut kemudian dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan sebagai bahan penanggulangan gangguan ginjal akut pada anak.
”Hasil laporan dari Ombudsman telah disampaikan ke Kementerian Kesehatan dan Badan POM. Respons yang terlihat dari keduanya baik untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang diberikan. Kami terus kawal dan kami sudah berikan waktu tenggang setidaknya hingga 30 hari,” ujar Robert.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya, perwakilan Kementerian Kesehatan yang menerima laporan hasil pemeriksaan dari Ombudsman, menuturkan, laporan tersebut masih dipelajari lebih lanjut. ”Kami masih mempelajari laporan tersebut supaya kami bisa memahami secara utuh. Nanti kami akan informasikan sikap kami,” katanya.