Pemetaan Formasi Kebutuhan Dokter Spesialis Lebih Mendesak
Akselerasi produksi dokter spesialis di Indonesia perlu direncanakan secara matang. Akselerasi yang tidak terencana dikhawatirkan dapat menimbulkan persoalan baru, seperti penurunan potensi kesejahteraan dokter.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Solusi untuk meningkatkan produksi dokter spesialis tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerataan dokter di Indonesia. Untuk itu, penambahan jumlah dokter spesialis perlu disesuaikan dengan kebutuhan di setiap wilayah. Sementara saat ini, peta formasi kebutuhan dokter per wilayah belum tersedia.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh Adib Khumaidi mengatakan, jumlah dokter yang kurang di Indonesia merupakan persoalan yang tidak bisa ditepis. Namun, persoalan tersebut tidak dapat selesai secara serta-merta dengan menambah jumlah dokter secara masif. Jumlah dokter yang berlebihan tanpa perencanaan yang matang justru bisa menimbulkan persoalan baru.
”Kita harus hitung formasi yang tepat antara pendidikan dan produksi dokter, termasuk dokter spesialis. Akselerasi produksi dokter yang tidak terencana bisa menimbulkan produksi dokter yang berlebihan yang bisa memberikan masalah ke depan, seperti penurunan potensi kesejahteraan dokter, potensi konflik yang meningkat, serta degradasi profesi,” katanya di Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Maka, Adib menyampaikan, peta kebutuhan formasi dokter per wilayah di tingkat kabupaten/kota sangat dibutuhkan. Sementara saat ini peta tersebut belum tersedia. Dengan adanya peta kebutuhan formasi dokter per wilayah, distribusi dokter akan lebih mudah dilakukan. Penempatan dokter yang dihasilkan pun bisa tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Akselerasi produksi dokter yang tidak terencana bisa menimbulkan produksi dokter yang berlebihan yang bisa memberikan masalah ke depan, seperti penurunan potensi kesejahteraan dokter, potensi konflik yang meningkat, serta degradasi profesi.
Hal tersebut tampak dari data Kementerian Kesehatan terkait dengan persentase puskesmas tanpa dokter pada 2020. Dari data menunjukkan, 6,9 persen puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter. Namun, kesenjangan ketersediaan dokter di puskesmas semakin besar jika melihat secara detail di tingkat provinsi. Di Papua setidaknya 48,2 persen puskesmas tidak memiliki dokter, sedangkan di Banten hanya 0,4 persen puskesmas yang tidak memiliki dokter.
Masalah distribusi dokter juga terlihat dari ketersediaan dokter spesialis di setiap rumah sakit umum daerah. Kementerian Kesehatan menetapkan setidaknya terdapat tujuh jenis dokter spesialis di RSUD. Namun, 41,58 persen atau 269 RSUD kini belum memenuhi standar tersebut. Tujuh dokter spesialis tersebut meliputi dokter spesialis anak, dokter spesialis kandungan, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah, spesialis anestesi, spesialis radiologi, dan spesialis patologi klinik.
DI DKI Jakarta, setiap RSUD sudah mampu memenuhi standar jenis dokter spesialis yang dibutuhkan. Namun di Maluku Utara, dari tujuh RSUD hanya ada satu RSUD yang mampu memenuhi standar tersebut. Begitu pula di Papua. Dari 19 RSUD yang tersedia di Papua hanya empat RSUD yang memiliki tujuh jenis dokter spesialis.
Menurut Adib, terdapat persoalan di daerah yang harus diatasi untuk memastikan pemerataan dokter spesialis bisa lebih baik. Hal itu antara lain, infrastruktur sarana dan prasarana yang kurang mendukung, jenjang karier yang tidak pasti, serta insentif yang tidak mencukupi.
”Peran pemerintah daerah sangat besar untuk mengatasi persoalan tersebut. Itu termasuk untuk memetakan jumlah kebutuhan dokter di masing-masing wilayah. Selama ini belum ada daerah yang mengusulkan kebutuhan dokter sesuai dengan kondisi di daerahnya,” katanya.
Itu sebabnya pendidikan kedokteran tidak hanya melibatkan Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tetapi juga perlu melibatkan Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong peran yang lebih besar pada pemerintah daerah. Anggaran dari pemerintah daerah pun perlu difokuskan untuk biaya pendidikan bagi putra daerah yang akan menjadi dokter di daerahnya.
Kualitas
Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) Setyo Widi Nugroho berpendapat, upaya untuk menambah jumlah dokter secara masif tidak terbukti dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Strategi yang terbaik adalah dengan memberdayakan dokter di tempat yang sesuai. Jika jumlah dokter berlimpah sementara hanya terpusat di beberapa wilayah saja, itu bisa berdampak buruk.
”Kompetisi dokter di tempat tersebut menjadi tidak sehat. Sementara di wilayah lain masih terjadi kekurangan dokter. Akhirnya, pelayanan di masyarakat pun menjadi tidak terstandar. Karena itu, kebutuhan dokter harus dipetakan dengan baik sehingga produksi bisa terukur,” tuturnya.
Widi mengatakan, peraturan terkait pendidikan kedokteran yang berlaku saat ini sebenarnya sudah baik. Namun, peraturan tersebut belum terimplementasi dengan baik. Penguatan pada implementasi peraturan dinilai lebih diperlukan dibandingkan dengan mengubah peraturan yang sudah ada.
Sistem kesehatan akademik
Strategi untuk akselerasi produksi dokter spesialis telah dilakukan melalui program sistem kesehatan akademik (AHS). Program tersebut diatur melalui Keputusan Bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis, dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Sistem Kesehatan Akademik.
Menurut Widi, program tersebut dapat mempercepat produksi dokter spesialis hingga tiga kali lipat dari yang berjalan saat ini. Dokter pendidik yang berada di rumah sakit pendidikan akan dilatih sehingga kualitas dokter yang dihasilkan tetap terjamin. Jumlah rumah sakit pendidikan pun akan diperluas. Selain itu, rasio dosen dengan mahasiswa pun akan diperbesar sehingga jumlah mahasiswa yang diampu bisa lebih banyak.
”Dengan cara ini produksi dokter bisa semakin cepat sekaligus bisa menjaga kualitas dari dokter yang dihasilkan. Cara ini tidak mengubah pendidikan secara radikal,” katanya.
Hal tersebut juga disampaikan secara terpisah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Dialog Pertemuan Koordinasi dan Evaluasi Pendayagunaan Dokter Spesialis. Program AHS diselenggarakan untuk memastikan lebih banyak dokter yang terfasilitasi dalam pendidikan dokter spesialis yang saat ini berbasis perguruan tinggi. Dalam program tersebut juga akan diperkuat juga dengan sistem pendidikan berbasis rumah sakit.
”Konsep pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit memungkinkan adanya sistem pembayaran gaji bagi peserta PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) untuk mendukung perbanyakan produksi dan pemerataan dokter spesialis. Obyektifnya untuk membuka peluang baru dan menambah jumlah produksi dokter melalui sistem pendidikan berbasis rumah sakit,” katanya.
Terkait dengan insentif, Wakil Ketua Umum II PB IDI Mahesa Paranadipa Maikel menuturkan, aturan pendidikan kedokteran sudah menyebutkan bahwa mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis berhak mendapatkan insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran. Namun, aturan teknis terkait pemberian insentif tersebut belum diterbitkan sehingga sejumlah rumah sakit belum bisa memberikan insentif pada peserta PPDS.