Sastrawan multitalenta Remy Sylado meninggal hari ini pada usia ke-77. Remy tidak hanya dikenal sebagai sastrawan, tetapi juga sutradara, aktor, pelukis, hingga ahli bahasa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sastrawan dan seniman multitalenta Remy Sylado (77) meninggal di Jakarta, Senin (12/12/2022). Jenazah sastrawan kelahiran Makassar, 12 Juli 1945, ini menurut rencana dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta, Selasa siang.
Beberapa tahun sebelum wafat, sastrawan dengan nama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong ini sakit. Tubuh bagian kirinya lumpuh akibat terserang stroke sejak Desember 2020. Ia juga sakit hernia.
Pelukis Mas Padhik mengatakan, sekitar seminggu lalu, Remy dalam keadaan yang relatif baik. Mas Padhik bahkan sempat mengirim seorang terapis untuk membantu merawat Remy di rumah. Berita kematian Remy sempat membuat dia kaget.
”Saya dan Remy kenal sejak 1996 dan kami sudah lama bertetangga. Jarak kami hanya terpaut dua rumah,” ujarnya. ”Kalau saya mau lihat Remy masih melek atau enggak, saya lewat depan rumah dia. Kalau suara mesin ketik masih terdengar, artinya dia belum tidur,” ujarnya.
Dalam kondisi sakit pun Remy tetap menulis. Ia mendiktekan naskah teater dan novelnya secara lisan, lalu anak dan istrinya mencatatkan naskah di laptop (Kompas, 6/3/2022).
Remy sebelumnya dirawat di rumah. Namun, setelah kondisi kesehatan Remy disiarkan ke publik, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menanggung biaya perawatan Remy di rumah sakit. Gubernur Anies Baswedan pun sempat menjenguk Remy di kediaman Remy tahun ini.
Pada Februari 2022, sejumlah sastrawan, seniman, hingga wartawan yang adalah teman-teman Remy mengadakan pameran lukisan bertajuk ”Doa untuk Remy Sylado”. Ada 20 lukisan dari 18 pelukis di pameran itu. Mas Padhik berpartisipasi dalam pameran ini.
Sementara lukisan di pameran dilelang dan sebagian hasilnya akan diberikan kepada Remy. Pelelangan lukisan menghasilkan Rp 125 juta. Seiring berjalannya waktu, hasil lelang diberikan juga kepada penggiat seni budaya lain yang sedang sakit kala itu, antara lain penyair Sutardji Calzoum Bachri. Mas Padhik berharap ke depan pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib penggiat seni dan budaya.
”Remy banyak menurunkan ilmunya ke yang muda-muda, bukan cuma di sastra, melainkan juga drama hingga seni rupa. Tidak banyak seniman sebesar itu yang punya banyak talenta,” kata Mas Pandhik.
Sastrawan Jose Rizal Manua mengibaratkan Remy sebagai kamus berjalan. Menurut dia, Remy bukan sekadar seniman, melainkan juga sastrawan dan budayawan. Remy punya pengetahuan yang luas dan dalam, baik tentang filsafat, kesenian, kebudayaan, dan bidang lain.
”Remy Sylado adalah pembaru di berbagai bidang kesenian, terutama puisi,” kata Jose yang bersahabat dengan Remy selama 50 tahun.
Sebagai sastrawan, Remy telah menghasilkan berbagai tulisan, seperti Kerudung Merah Kirmizi; Gali Lobang, Gila Lobang; Hotel ProDeo; dan Menunggu Matahari Melbourne. Ia juga dikenal sebagai pelopor puisi mbeling.
Mengutip laman Ensiklopedia Sastra Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, puisi mbeling adalah respons terhadap masa pemerintahan Orde Baru. Puisi mbeling bisa dibilang puisi yang luwes dan mendorong kebebasan ekspresi. Penyair tidak mesti menggunakan stilistika atau gaya bahasa sastra yang baku. Sebaliknya, penyair bisa menggunakan bahasa sehari-hari atau bahkan ”ugal-ugalan”.
Puisi-puisi mbeling Remy kala itu hadir, antara lain, dalam majalah Aktuil pada tahun 1970-an. Puisi tersebut sempat membuat dunia sastra heboh. Kompas edisi 11 Februari 1976 menulis, ”Lirik yang ugal-ugalan dan seenaknya itu sampai-sampai sempat mengundang seorang Subagio Sastrawardojo untuk setia mengikutinya. Bahkan, HB Jassin pun akhir-akhir ini sempat mengerlingkan matanya dan membahas, serta mencernanya.”
Adapun Remy juga sastrawan multibahasa. Ia menguasai berbagai bahasa asing, seperti Jepang, Arab, Mandarin, Inggris, Belanda, dan Yunani.
Serbabisa
Selain menjadi sastrawan, Remy juga menggeluti seni rupa, seperti melukis dan mematung. Dulu, Remy juga pernah menjadi wartawan yang berkarya di harian Sinar Harapan, Tempo, majalah Top, majalah Fokus, hingga majalah Vista.
Remy juga pegiat teater yang telah menjajal peran sebagai aktor maupun sutradara. Pada tahun 1970, ia mendirikan Teater 23761 (dibaca re-mi si-la-do). Ia pernah pentas di mana-mana, mulai dari Taman Ismail Marzuki di Jakarta, hotel bintang lima. Remy juga pernah membina teater buruh di Depok pada tahun 1980-an.
”Di samping teater yang menghibur untuk kalangan atas di hotel bintang lima, perlu juga menyelami kehidupan kalangan bawah, dan bagi saya, teater buruhlah tempatnya,” kata Remy (Kompas, 19/5/1991).