Jempol tangan kanan Putu Wijaya sampai kini telah menghasilkan tujuh buku dengan ketebalan masing-masing mencapai 500 halaman. Satu buku berisi 100-200 cerita pendek, lakon drama, dan monolog.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA, RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Usia sepuh dan keterbatasan fisik bukan halangan bagi pengarang untuk menulis cerita. Putu Wijaya (78), sejak sembilan tahun lalu, praktis hanya menulis menggunakan jempol tangan kanannya. Meski terbaring lemah, Remy Sylado (79) mendiktekan karya-karyanya kepada istri atau siapa pun yang ada di sekitar. Mereka memperlakukan dunia menulis sebagai terapi atau pelecut daya hidup.
Semua jari tangan kiri Putu Wijaya tak mudah dikendalikan. Bahkan seringkali kehendak otak. Sejak melakukan operasi kepala sembilan tahun lalu, tubuh bagian kiri dari tangan sampai kaki sastrawan kelahiran Tabanan, Bali, itu tidak bekerja normal. Kini hanya ”tersisa” jempol kanannya yang bisa bekerja selaras dengan kehendak pikirannya. Meski begitu, Putu tak pernah menyerah. Ia mencoba mencari cara agar terus bisa menulis. Kebetulan, ujar Putu, ia menemukan telepon pintar Blackberry. ”Karena masih ada tombol keypad-nya, saya mudah menulis menggunakan jempol,” kata Putu, Rabu (2/3/2022), di Jakarta.
Masalah kapasitas internal disk telepon seluler itu terbatas. ”Ada tiga Blackberry yang enggak bisa dibuka lagi. Isinya ratusan tulisan. Katanya harus bayar 4 juta untuk bisa mengaksesnya, itu pun di Amerika,” kata penulis novel Bila Malam Bertambah Malam ini. Ia tidak menyerah. Dengan kerja keras, Putu berhasil menyelaraskan jempolnya dengan jenis ponsel layar sentuh seperti Android. ”Sekarang sudah bisa pakai Android walau kadang harus waspada, dia terlalu pintar bisa koreksi sendiri, he-he-he…,” ujar Putu.
Jempol tangan kanan Putu Wijaya sampai kini telah menghasilkan tujuh buku dengan ketebalan masing-masing mencapai 500 halaman. Satu buku berisi 100-200 cerita pendek, lakon drama, dan monolog. Itu belum termasuk karya-karya yang masih tersimpan di dalam dua ponsel Androidnya, yang kini terus dipakainya menulis.
Sejak Desember 2020, sastrawan Remy Sylado (79) terserang stroke. Tubuh bagian kirinya, dari tangan sampai kaki, lumpuh total. Sejak itu, Remy bahkan hanya berbaring di tempat tidur. Meski begitu, penulis novel Kerudung Merah Kirmizi itu tidak pernah menyerah. Hasratnya menulis tetap menggebu-gebu. Beruntung seorang penulis biografi memberinya hadiah sebuah laptop. Kini, ia mendiktekan naskah teater dan novelnya secara lisan, sementara istri dan anaknya menuliskannya lewat laptop.
”Nanti bulan Juli, naskah ’Om Endi dan Tante Ugu’ akan dipentaskan di Manado. Sekarang Jose (Rizal Manua) sedang mengetiknya,” kata Remy, Rabu (2/3/2022), di Jakarta. Saat itu Remy berbaring di rumahnya di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, ditemani istrinya, Emmy Maria Louise Tambayong. Ia berbicara dengan terbata-bata, jauh dari kondisi sebelumnya dengan kata-kata yang selalu meluncur penuh tenaga.
Sebelum sakit, Remy dikenal sebagai penulis yang super produktif. Ia bisa bekerja pada tiga mesin ketik sekaligus. ”Sekarang rindu sama suara tik-tik-tik,” kata Remy. Di atas mesin ketiknya masih tersisa ketikan sebuah novelet yang belum selesai ia kerjakan. Ia berharap suatu hari tulisan itu akan diselesaikannya.
Terapi batin
Martin Aleida (78) mungkin tak mempunyai hambatan fisik ketika harus menulis. Patah tulang yang dialaminya akibat kecelakaan tak menyurutkan tekadnya menjelajah jalanan Jakarta untuk mendatangi penerbit. Ke mana-mana, Martin tetap menggunakan kendaraan umum seorang diri. Ia bahkan hanya berdua bersama istrinya mengerjakan tugas domestik, seperti mengepel, memasak, dan menyapu halaman rumahnya.
Pada usia sepuh ini, ia sedang menyelesaikan beberapa buku, terutama buku nonfiksi tentang perjalanan pascaperistiwa tragedi 1965. Untuk menggarap buku nonfiksi ini, banyak bacaan dan tayangan yang harus dituntaskannya guna melengkapi data dan latar belakang fakta. Dari buku Jess Melvin berjudul The Army and the Indonesian Genocid e, tulisan John Roosa yang bertajuk Buried Histories, laporan Komnas HAM 2012, hingga tayangan dari BBC dengan teliti ditranskripnya dan dikutipnya.
”Ini jadi semacam kompendium begitu. Kutipan dan fakta yang ada. Jadi, memang perlu banyak yang dibacakan. Beda dengan fiksi yang banyak kebebasan dan hanya etika yang dibatasi. Non-fiksi hati-hati dengan fakta. Nah, sekarang saya duduk selama 1 jam aja, untuk bangun susah. Ha-ha-ha,” tulisnya.
Ahmad Tohari (74) mempunyai kebiasaan berbeda. Ia menyatakan tidak memiliki cukup energi lagi untuk menulis novel, tetapi masih menulis puisi di beberapa media. Tantangannya sebagai penulis, katanya, menggerakkan dunia literasi kepada anak-anak remaja. Tak jarang, ia bercerita secara suntuk di depan anak-anak SMP yang datang ke rumahnya.
”Saya tertantang melakukannya mengingat rendahnya literasi di Indonesia. Saya dorong terus penulis-penulis remaja agar punya kepercayaan diri berkarya. Sebab, literasi adalah pengembangan sumber daya manusia,” kata penulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Bagi Tohari, sebagai penulis, ia hampir-hampir tidak membutuhkan apa-apa lagi, semua hal telah diwujudkannya. Sekarang, pekerjaan yang tersisa bagaimana mendorong lebih banyak remaja untuk berkarya, terutama menulis. ”Sebab itulah sumber rendahnya literasi di negara kita ini,” katanya.
Putu, Remy, dan Martin sampai kini masih menjalani terapi secara fisik. Putu sepekan sekali mendatangi sebuah rumah sakit di kawasan Bumi Serpong Damai, Serpong, Banten, untuk menjalani fisioterapi. Sementara Remy masih harus terapis ke rumahnya dua kali seminggu. Martin berusaha disiplin berenang untuk menyembuhkan kakinya.
Namun, kata mereka, menulis adalah terapi yang berbeda. ”Kata-kata, perasaan harus saya sampaikan, apalagi jika memang itu kebenaran. Kita tidak pernah tahu sampai kapan kita hidup. Kita harus berani. Karena itu, saya terus menulis. Sebab, yang diperlukan adalah kejujuran, terutama untuk menyampaikan fakta dan menuliskannya,” ujar Martin, penulis buku Tanah Air yang Hilang itu.
”Menulis jelas terapi, karena daya hidup saya seperti dipompa terus-menerus. Bukan hanya untuk menghasilkan karya, tetapi juga peperangan di sana sebelumnya setelah melahirkan karya,” ujar Putu Wijaya.
Meski secara fisik Remy telah lemah, gairah menulisnya tak pernah surut. Ia merasa ketika mendiktekan karya-karyanya, secara berbarengan terembus juga kegairah untuk melestarikan hidup. ”Kangen sekali menulis…,” katanya masih terbata-bata.
Sementara Ahmad Tohari melihat hidupnya sungguh optimis ketika banyak remaja yang mulai menulis dunia menulis. Menulis bukan tentang bagaimana bercerita semata, melainkan juga bagaimana menghargai dan memperlakukan bahasa. Hal yang tercipta, terus menggebu menulis tak lain sebuah majalah berbahasa lokal Banyumasan yang ia pimpin. ”Saya selalu terpacu menulis editorial. Itu yang membuat hidup terasa penuh gairah,” katanya.
Pada akhirnya usia tidak benar-benar menjadi pertimbangan. Perkelahian menemukan ide dan kemudian menuangkannya ke dalam bentuk karya tidak pernah terhambat oleh usia. Bahkan, ketika karya itu mewujud dalam sebuah buku, seolah-olah telah menjelma sebuah anugerah bagi hidup, yang dipanjangkan oleh Sang Maha Pencipta.