Hutan yang ditebang perusahaan memaksa orang Marind Anim di Kampung Zanegi itu kini menjadi pemulung di tanah ulayatnya sendiri.
Oleh
AHMAD ARIF, SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Proyek lumbung pangan dan energi di Merauke yang dimulai pada 2010 telah mengambil alih lahan dan hutan, yang sebelumnya menjadi sumber hidup orang Marind Anim, lalu diserahkan ke perusahaan. Hutan yang ditebang itu memaksa para pemburu dan peramu menjadi pemulung kayu di tanah ulayat sendiri.
Tanpa alas kaki, Sirilius Jongos Basik-Basik (7), warga Kampung Zanegi, Distrik Animha, sekitar 100 km dari Kota Merauke itu berjalan di hamparan hutan yang baru dibuka dengan alat berat. Matanya awas mencari ranting dan batang kayu berserakan. Dengan sigap, dia kemudian memungut sisa tebangan itu.
Dengan segenap tenaga, dia angkat dahan kayu yang panjangnya lebih dari tiga kali tinggi tubuhnya. Kayu tersebut diletakkan di pundak kanannya. Sebatang kayu lain yang berukuran sama kembali diletakkan di pundak kirinya. Dua kayu itu menyilang di antara leher kecil siswa Kelas I SD Gonzaga, Zanegi, Distrik Animha, Merauke.
Sirilus berjalan perlahan. Dia melewati titian kayu kecil di atas parit, sebelum akhirnya tiba di tepi jalan utama. Dahan-dahan di pundaknya diturunkan dan ditumpuk di pinggir jalan itu, untuk kemudian akan diambil perusahaan.
Demikianlah, sepanjang siang hingga sore pada Jumat (11/11/2022) itu, dia hilir mudik dengan beban di pundaknya. Di kejauhan terdengar suara gergaji mesin meraung-raung, seperti memberitahukan, esok Sirius bisa ke bekas tebangan itu untuk memungut sisa kayu dan ranting.
Sebagaimana Sirius, kakaknya Aprilia Basik-Basik (10) juga turut bekerja. Demikian juga Giventus Basik-Basik (30), sang ayah, sibuk membawa potongan kayu yang menggunung di pundaknya. Sementara itu, sang Ibu, Parsila Samkakai (30) bertugas merapikan hasil pencarian.
Kayu yang lebih panjang dipotong hingga seukuran satu meter. Dia kemudian menumpuknya dengan rapi. Anak-beranak ini terus bekerja, sekalipun kayu sudah menumpuk. Mereka akan menerima bayaran tergantung berapa kubik ranting dan sisa kayu yang bisa dikumpulkan.
“Ini oleh orang perusahaan sebut kerja leles," kata Giventus.
Menurut Giventus, satu kubik kayu hasil leles dihargai Rp 80.000, yang kemudian akan dipotong jasa kontraktor Rp 20.000. Kontraktor merupakan penghubung warga dengan perusahaan. Kontraktor juga menyediakan gergaji mesin dan kendaraan untuk pergi dan pulang ke kampung.
Kontraktor ini juga yang menyediakan “bama” atau bahan makanan, yang kemudian akan dipotong dari bayaran mereka. Biasanya, warga akan tinggal di bivak ini selama berhari-hari dengan membawa seluruh anggota keluarga, dan baru pulang ke kampung jika ada hajatan atau setelah gajian.
Setiap dua pekan, yaitu tanggal 15 dan 30, tumpukan kayu leles akan dihitung oleh perusahaan. Biasanya, dalam dua minggu kerja kerasnya bersama anak dan istri, Giventus bisa mengumpulkan hingga panjang 20 meter. Namun, kontraktor hanya akan menghitungnya di kisaran 12 kubik, dengan alasan penyusutan.
Ini berarti, dalam dua minggu ia hanya mendapatkan uang Rp 720.000. Setelah dipotong biaya bahan makanan, rata-rata hanya akan tersisa Rp 200.000.
“Tapi sering juga malah tidak bisa tutup uang bama, jadi berutang,” ujarnya.
Untuk bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari selama di bivak biasanya berupa beras dan mi instan. Selain itu ada gula kopi, lempeng (tembakau) dan sirih pinang.
Saat berada di bivak, malam harinya mereka kerap berburu, atau memancing di pagi hari. Itulah yang menjadi lauk-pauk mereka. Namun, sehari-hari mereka lebih sering makan nasi saja dengan mi instan.
Menurut Giventus, orang Marind Anim dulu hanya mengenal istilah takafi, yaitu mengambil ranting dan pokok kayu mati sebagai kayu bakar. "Dulu ambil kayu bakar untuk kebutuhan di rumah saja, bukan ambil kayu untuk dijual.”
Bekas hutan yang telah dibuka ini, dulunya adalah tempat berburu Giventus saat remaja. Hutan itu penuh rusa, saham (kangguru), babi, hingga kasuari. "Berangkat pagi dari kampung, sore hari ia bisa membawa pulang dua hingga tiga ekor binatang buruan," kata dia.
Namun, semuanya berubah saat pemerintah menetapkan hutan itu sebagai bagian dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Penetapan ini merupakan bagian dari proyek lumbung pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang menargetkan untuk mengonversi 1,2 juta hektar lahan dan hutan di Merauke untuk industri pertanian, perkebunan dan energi.
Pada 22 Januari 2009, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No.18/MENHUT-II/2009 memberikan konsesi kepada PT Selaras Inti Semesta (SIS) seluas 169.400 hektar, sekitar 2,5 kali luas DKI Jakarta (66.150 hektar) dengan izin operasi selama 60 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun.
Dalam perjanjian dengan perwakilan marga, perusahaan akan memberikan kompensasi untuk setiap penebangan. Sebesar Rp 2.000 per kubik untuk hutan alam, dan Rp 1.500 per kubik untuk hutan tanaman.
Menurut Giventus, di awal masuk, perusahaan menjanjikan bakal banyak kemajuan di kampung. Selain bisa bekerja dan mendapatkan gaji di perusahaan, juga bakal ada pembangunan rumah dan perbaikan infrastruktur.
Ia pun sempat bekerja sebagai buruh harian lepas sebagai penebang pohon. “Saya ikut buka jalan dan tebang pohon. Menyesal juga kalau tahu begini susahnya sekarang,” katanya.
Saya ikut buka jalan dan tebang pohon. Menyesal juga kalau tahu begini susahnya sekarang.
Penyesalan itu terutama dirasakan karena sulitnya memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Parsila, sang istri, menuturkan, salah seorang anaknya, Erlina (1,5 tahun) meninggal pada 2013 lalu karena gizi butuk. "Dia sempat dua bulan dirawat di RSUD Merauke," katanya.
Sejak itu, keluarga ini bertekad untuk mengumpulkan lebih banya uang agar bisa memberi makan anak-anaknya. Namun, uang yang dikumpulkan tidak pernah cukup. “Sekarang mau makan jadi harus kerja berat. Kalau saya tinggal di rumah sama anak-anak, dapat dari leles sedikit. Tidak akan cukup beli beras. Kalau sagu mereka sudah tidak suka. Biar makan nasi kosong saja tidak apa-apa,” ujar Parsila.
Vitalis Gebze, Ketua Marga Gebze yang juga Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Zanegi mengatakan, kehidupan warga memang semakin sulit, terutama setelah hutan menyusut dan binatang buruan menghilang. Sementara itu, pergeseran pola pangan sudah terjadi, anak-anak tidak bisa kenyang kalau tidak memakan nasi yang harus dibeli.
Johanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke dua periode 2000-2010, mengatakan, lumbung pangan yang dia gagas dulu jauh berbeda dengan program yang berjalan saat ini. Dia adalah penggagas Merauke Integrated Rice Estate (MIRE), sebelum kemudian menjadi kebijakan nasional sebagai MIFEE.
“Adanya HTI itu bukan kami yang buat. Itu program dari Jakarta (pusat). Itu aplikasi dari kebijakan negara, memang kita pembuat kebijakan negara?” ujarnya, saat ditemui di Merauke. “Kita ini tong sampah!”
Giventus dan keluarganya tak tahu ke mana harus meminta pertanggungjawaban atas hancurnya ruang hidup mereka. Ia pun tak tak berharap banyak. Ia hanya ingin agar keluarganya bisa makan setiap hari, tidak kekurangan gizi sehingga tidak ada lagi yang meninggal dunia.
Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center