Tiga abad setelah gempa Lisabon yang turut melahirkan Zaman Pencerahan di Eropa hingga Jepang, masyarakat Indonesia masih diliputi tafsir bahwa gempa merupakan azab atas dosa-dosa personal.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Gempa berkekuatan M 5,6 yang menewaskan ratusan orang di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) telah memicu kontestasi tafsir. Ketika sebagian ilmuwan berusaha menjelaskan penyebab banyaknya korban jiwa sekalipun kekuatan gempanya kecil dari aspek geologi dan ilmu konstruksi bangunan, sebagian orang justru mengaitkan bencana ini sebagai azab karena kemaksiatan.
Mengaitkan gempa dengan azab memang bukan hanya kali ini saja. Dalam berbagai kejadian bencana, seperti gempa bumi dan tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, gempa Padang 2009, hingga gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu 2018, tafsir tentang azab ini kerap muncul, dan hal ini biasanya diamini otoritas di pemerintahan untuk menghindari pertanggungjawaban karena lemahnya mitigasi.
Bahkan, setelah gempa Padang pada 30 September 2009, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, dalam khotbahnya menyalahkan banyaknya tayangan pornografi di media sebagai penyebab terjadinya banyak kejadian bencana di Indonesia.
Di dunia Barat, kontestasi antara ilmu pengetahuan dan keyakinan yang dipicu oleh gempa bumi pernah terjadi di abad pertengahan, yang kemudian melahirkan Zaman Pencerahan (enlightenment) dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Gempa bumi itu terjadi di Kota Lisabon, Portugis, pada 1 November 1755 pukul 09.40, bertepatan dengan peringatan Hari Raya Orang Kudus (All Saints’ Day). Kekuatan gempa yang diperkirakan mencapai M 8,5 itu menghancurkan gedung-gedung megah, disusul kebakaran hebat.
Sekitar 40 menit setelah gempa, tsunami menerjang dan menghancurkan kota pelabuhan terbesar di Eropa saat itu. Sekitar 40.000 jiwa dari 200.000 penduduk Lisabon tewas. Kalangan agamawan di Eropa menyatakan bahwa gempa dan tsunami itu merupakan hukuman atas dosa-dosa masyarakat. Namun, filsuf Perancis, François-Marie Arouet atau yang terkenal dengan nama penanya, Voltaire, melalui bukunya, Candide or Optimism (1758), menentang keras dogma agama tentang gempa itu.
Voltaire berargumen, gempa mengikuti hukum alam, bukan disebabkan tindakan manusia. Bukunya kemudian dilarang otoritas Katolik di Vatikan pada 1762, tetapi semangat untuk memahami gempa secara rasional menyebar luas di Eropa.
Butuh berapa banyak lagi gempa untuk sampai ke pemahaman bahwa gempa merupakan mekanisme alam yang bisa dipelajari dan dimitigasi?
Perdana Menteri Portugis, Sebastião José de Carvalho e Melo, Marquis de Pombal, termasuk yang terpengaruh dengan filsafat Pencerahan. Setelah gempa tersebut, De Pombal mengirimkan kuesioner ke seluruh kerajaan untuk mengevaluasi kerusakan di setiap wilayah. Dia berupaya memahami bencana ini sebagai fenomena ilmiah, bukan peristiwa misterius karena dosa-dosa manusia.
Dalam kuisinoer itu, Pombal menginginkan adanya pengamatan faktual yang ketat, seperti kapan gempa dimulai; berapa lama guncangan berlangsung; dan apakah ada kelainan yang diamati di laut atau di sepanjang sungai dan mata air.
Apa yang telah dilakukan Pombal ini, pada dasarnya, adalah apa yang dianut oleh para ilmuwan era Pencerahan, yaitu menggunakan sains dan alasan untuk lebih memahami dunia agar dapat bertahan hidup dari hal yang mengerikan dan tidak dapat dijelaskan. Data yang berhasil dikumpulkan Pombal ini menjadi dasar analisis banyak ilmuwan alam saat itu untuk menjelaskan mekanisme gempa bumi dan tsunami.
Para sarjana ilmu alam dari Eropa ini kemudian membawa pemahaman baru tentang gempa ini ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Jepang 100 tahun kemudian. Sebelum kedatangan para sarjana Barat, masyarakat Jepang meyakini bahwa gempa disebabkan namazu atau ikan lele raksasa yang hidup di bawah tanah.
Jika namazu bergolak sehingga memicu gempa bumi untuk menghukum kekuasaan yang korup dan tidak adil. Kisah namazu ini masih sangat populer saat ibu kota Jepang, Edo—Tokyo—dilanda gempa pada 1855 yang menewaskan 10.000 orang.
Perubahan persepsi masyarakat Jepang tentang gempa baru terjadi ketika Kaisar Jepang mengeluarkan maklumat yang disebutnya Meiji (Enligtened Rule) pada 1868. Upaya ini dilakukan salah satunya dengan modernisasi pendidikan dengan mengundang para sarjana Barat.
Salah satu sarjana yang diundang ke Jepang saat itu adalah John Milne, geolog muda Inggris. Milne mengajar di College of Engineering—yang kemudian menjadi Tokyo University—dan menjadi profesor pertama dari Jurusan Pertambangan dan Geologi di kampus tersebut.
Bukan hanya itu, Milne juga mendirikan Seismological Society of Japan (Nihon Jishin Gakkai), asosiasi akademik gempa bumi pertama di dunia pada 1881, setahun setelah gempa menghancurkan Yokohama. Berikutnya, pada 1881, Milne bersama rekannya di Seismological Society of Japan merancang alat ukur guncangan gempa yang kemudian dinamainya seismograf.
Sumbangan terbesar Milne bagi masyarakat Jepang adalah membuka kesadaran baru tentang gempa. Pemahaman gempa sebagai fenomena alam telah memicu semangat untuk memitigasinya hingga menjadikan Jepang sebagai salah satu negara terdepan dalam teknologi bangunan tahan gempa.
Bagi masyarakat Jepang, gempa bumi, termasuk tsunami, adalah mekanisme alam yang bisa dijelaskan dengan nalar ilmiah. Dan mengaitkan bencana dengan keyakinan bisa menjadi aib besar bagi mereka. Maka, ketika Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara menyatakan bahwa gempa dan tsunami yang melanda Sendai pada 11 Maret 2011 sebagai tenbatsu atau hukuman Dewa, dia pun langsung menuai kritik pedas dari seluruh penjuru negeri.
Pernyataan Ishihara itu menuai respons balik yang keras dari berbagai kalangan. Salah satunya, yang paling menohok adalah pernyataan Gubernur Miyagi Yoshihiro Murai yang mengatakan bahwa Ishihara telah melukai perasaan rakyat yang dilanda bencana. Dan ketika Ishihara kemudian mencalonkan kembali sebagai Gubernur Tokyo untuk periode kedua, warga menghukumnya dengan tidak memilih dia.
Kini, tiga abad setelah gempa Lisabon yang turut melahirkan Zaman Pencerahan di Eropa hingga Jepang, masyarakat Indonesia masih diliputi tafsir bahwa gempa merupakan azab atas dosa-dosa personal. Butuh berapa banyak lagi gempa untuk sampai ke pemahaman bahwa gempa merupakan mekanisme alam yang bisa dipelajari dan dimitigasi?