Antara "Azab", Pasrah, dan Nekat
Di Indonesia, gempa bumi, tsunami, hingga letusan gunung api tidak semata-mata dipahami sebagai siklus alam yang bisa dimitigasi. Bencana alam ini senantiasa dikaitkan dengan perilaku manusia dan dimaknai beragam, mulai dari azab hingga takdir yang tak bisa dihindari. Konstruksi sosial ini membuat penanganan bencana menjadi lebih rumit.
Fenomena sosial ini bisa dilihat dari cara pandang korban bencana yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu, salah satunya Syahrudin Malewa (53), warga Desa Wani 1, Kecamatan Tanan Tovea, Donggala. Dia berjasa merekam detik-detik terjadinya gempa dan tsunami melalui CCTV atau kamera pengintai yang dipasang di beberapa penjuru rumahnya.
Kamera ini sedianya ditujukan untuk mengantisipasi maling yang kerap menyatroni. Namun, melalui kamera ini, para peneliti tsunami bisa mempelajari karakteristik tsunami yang melanda Teluk Palu, termasuk waktu tiba yang sangat cepat, hanya 4.05 menit setelah gempa.
Ketika gempa keras mengguncang pada Jumat sore itu, Syahrudin tengah membakar rumput di halaman rumahnya. Guncangan itu begitu kuat hingga membuatnya terjatuh. Perabotan dalam rumahnya porak-poranda, mobilnya bergeser, sepeda motornya terguling.
"Saat itu tak terpikir akan ada tsunami," kata Syahrudin, yang ditemui di rumahnya, Senin (12/11/2018). Bahkan, ketika orang-orang berlarian melewati depan rumahnya dari arah pelabuhan, Syahrudin masih terlihat santai.
"Saya masih sempat masuk ke rumah, ambil rokok, baru jalan keluar."
Ya, dari kamera pengintai terlihat Syahrudin hanya berjalan cepat, bukan berlari. Terekam, hanya delapan detik setelah dia meninggalkan rumah, gelombang laut datang seperti air bah. "Saya sempat kena air, tapi hanya semata kaki. Kalau lebih tinggi lagi mungkin tidak selamat, tapi belum nasib saya," kata dia.
Syahrudin bersyukur, seluruh anggota keluarganya selamat dan rumahnya yang hanya berjarak 40 meter dari pantai ini tidak hancur. Hanya dinding pagarnya saja yang jebol. Padahal, kerusakan di sekitar Pelabuhan Wani ini cukup parah. Keberadaan Kapal Motor Sabuk Nusantara berbobot 500 ton yang terdampar di atas bangunan, sekitar 30 meter rumah Syahrudin, menjadi bukti kedahyatan tsunami di kawasan ini. Sebanyak 32 orang meninggal di Desa Wani 1.
Namun, hanya sepuluh hari setelah bencana, Syahrudin kembali ke rumahnya. Dinding pagar telah dibangun kembali. Beberapa tetangganya yang selamat pun mulai membangun rumah sementara di bekas pondasi lama.
Saat ditanya apakah tidak takut atau trauma dengan gempa atau tsunami yang sewaktu-waktu kembali terjadi? Dia langsung tertawa dan balik bertanya,"Kenapa takut tsunami? Kalau takut berarti tidak yakin. Sebagai orang beragama, kita harus yakin di mana pun akan mati juga," kata dia.
Dia juga menyatakan akan menolak jika pemerintah melarang mereka kembali tinggal di pesisir. Syahrudin kemudian mengisahkan salah seorang temannya yang selamat dari gempa bumi di Nabire, Kabupaten Kaimana, Papua Barat pada 26 November 2004. "Setelah gempa dia pindah ke Aceh. Nah, dia justru meninggal kena tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Hidup dan mati kan memang kuasa Tuhan," ujar dia.
Narasi tentang keyakinan, agama, dan perilaku manusia memang menderas di setiap kejadian bencana. Eskpresi ini banyak terlihat dari coretan di puing-puing bangunan di tapak bencana yang mengecam perilaku maksiat hingga menyalahkan Walikota Palu yang menggelar Festival Palu Nomoni. Festival ini merupakan bagian dari peringatan ulang tahun Kota Palu, yang sedianya akan digelar di Pantai Talise malam itu.
"Oleh kalangan agama, festival ini dinilai syirik karena memasukkan ritual adat balia. Sementara dari kalangan adat juga menganggap prosesinya keliru. Harusnya ritual itu tidak dilakukan di pantai, tetapi di sungai," kata arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Daerah Sulawesi Tengah, Iksam.
Menurut Iksam, orang Palu meyakini bencana kali ini memang tak bisa dilepaskan dari perilaku manusia. "Selain ada kaiatannya dengan teori-teori sains, bencana ini tak lepas dari kehendak Yang Kuasa. Sebelum bencana memang banyak maksiat di Petobo. Di sini menjadi sarang perjudian, akhirnya yang kena azab banyak orang," kata Alif M Diwan (24), mahasiswa Universitas Tadulako, yang kehilangan orang tua dan kakaknya saat likuefaksi melanda rumahnya di Kelurahan Petobo, Kota Palu.
Abad pertengahan
Fenomena mengaitkan bencana dengan keyakinan dan agama ini sebenarnya bukan hal yang baru. Perdebatan serupa pernah terjadi di Eropa, tetapi ratusan tahun lalu, yaitu ketika gempa bumi dan tsunami menghancurkan Kota Lisabon, Portugis pada 1 November 1755.
Sebagian kalangan agamawan waktu itu berpandangan bahwa bencana yang menewaskan hampir seperempat penduduk kota Lisbon ini merupakan azab karena perilaku penduduknya. Namun, mereka yang tidak puas dengan pandangan dogmatis, di antaranya dipelopori filsuf dan penyair Voltaire, mencari jawaban pada ilmu alam. Perdebatan ini berujung pada ditinggalkannya dogma agama oleh ilmu alam. Lahirlah zaman Pencerahan atau Enlightenment di Barat.
Rasionalisasi pengetahuan, termasuk tentang gempa bumi, ini pula yang dibawa ke Jepang dari Eropa setelah Kaisar Jepang mengeluarkan maklumat yang disebutnya Restorasi Meiji (Enligtened Rule) pada 1868. Upaya ini dilakukan salah satunya dengan modernisasi pendidikan, termasuk kegempaan.
Orang Jepang, yang semula beranggapan bahwa gempa disebabkan geliat namazu atau ikan lele raksasa yang hidup di dalam Bumi sebagai hukuman dewa-dewa atas perilaku manusia, kemudian menyadari bencana ini merupakan siklus alam yang bisa dimitigasi. Maka, setelah gempa Nobi (1981) dan Kanto (1923), Jepang telah memiliki kurikulum nasional dalam bentuk tiga jilid buku sinsai ni kansuru kyoiko shiryo (materi ajar terkait gempa bumi). Sejak itu, mereka juga melakukan penataan ulang ruang dan standar bangunan, selain membangun sikap hidup dan pelatihan mengantisipasi kondisi darurat bencana (Borland, 2006).
Rasionalisasi ini sedemikian kuat melingkupi alam pikir masyarakat Jepang.
Maka, ketika Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara, menyatakan bahwa gempa dan tsunami yang melanda pesisir timur Provinsi Miyagi pada 2011 sebagai tembatsu atau hukuman Yang Kuasa atas kesombongan masyarakat Jepang, dia panen protes, termasuk dari Gubernur Miyagi. Pada akhirnya, Ishiara harus meminta maaf secara terbuka dan karir politiknya tamat. Sebagai petahan dia kalah pada pemilihan gubernur lagi di tahun berikutnya.
Situasi ini memang sangat berbeda dengan di Indonesia. Di negeri ini, bencana tidak bisa dilepaskan dengan perilaku manusia dan kuasa Tuhan. Survei Litbang Kompas (2011) terhadap 806 responden di enam kota di Indonesia, termasuk Banda Aceh dan Palu, menunjukkan, tak lebih dari 10 persen responden yakin risiko bencana alam dapat dihindari atau dikurangi. Selebihnya, bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung api merupakan takdir yang harus diterima.
Mengacu pada Kluckhohn (1952) dan Koentjaraningrat (1987), tipologi manusia Indonesia sebenarnya masih pada tahap tunduk dan pasrah terhadap alam, berbeda dengan masyarakat lain, seperti Jepang, yang pada tahap berupaya "menundukkan" alam.
Ini bisa menjelaskan potret sosial kita. Sekalipun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung malas melihat perkiraan cuaca dan menyiapkan diri menghadapinya. Sudah tahu musim hujan, membawa payung atau mantel hujan pun malas. Maka, bukan pemandangan aneh jika di musim hujan, jalan layang di Jakarta dipenuhi pemotor yang berteduh.
Di Indonesia, hujan masih menjadi alasan untuk terlambat datang atau bahkan membatalkan janji. Masalah sedia mantel atau payung sebelum hujan itu barangkali soal sepele, tetapi mencerminkan ekspresi kebudayaan kita dalam merespons alam.
Bagi orang Jepang, tak ada alasan membatalkan janji tiba-tiba karena faktor cuaca. Sebelum janji bertemu, terutama jika kegiatannya di luar ruang, mereka pasti mengecek berapa suhu hari itu, apakah terik, hujan, atau bahkan bakal datang badai. Prakiraan cuaca pun menjadi salah satu siaran paling populer di Jepang sehingga berulang kali disiarkan dalam sehari. Di Indonesia, acara prakiraan cuaca telah menghilang dari televisi swasta karena dianggap tak populer.
Bagi orang Jepang, alam bukanlah alasan menghentikan kegiatan. Fenomena alam yang kerap rutin harus disiasati. Itulah gunanya teknologi.
Dengan cara pandang ini, tidak mengherankan jika kawasan yang pernah dilanda bencana alam selalu dihuni kembali, seperti pesisir Aceh dan Pangandaran, Jawa Barat. Bahkan, di Banda Aceh sepuluh tahun setelah jumlah penduduknya sudah lebih banyak dibandingkan sebelum tsunami. Sebaliknya di Jepang, pesisir terdampak tsunami 2011 kini kosong karena penduduknya dipindahkan ke tempat tinggi.
Mental lebih tangguh
Sikap budaya masyarakat Indonesia ini kemudian berkelindan dengan persoalan ekonomi politik, karena pengalaman kegagalan pendekatan teknokratik dari negara dalam mengurangi dampak bencana. Ketidakpastian dan kegagalan demi kegagalan dalam mengantisipasi bencana ini menjadikan masyarakat yang tinggal di zona rentan bahaya kerap menyederhanakan syarat hidup dan mengembalikan semuanya kepada kepercayaan spiritualnya, sehingga mereka selalu memiliki harapan.
Cara pandang terhadap hidup dan mati ini memang tidak bisa dilihat hitam putih. Walaupun memang dari aspek mitigasi bencana kita lemah, namun penyintas di Indonesia sangat tangguh, seperti ditunjukkan Alif Diwan. "Kalau saya tidak punya iman, pasti akan terus stres. Tetapi, saya harus ikhlas dan melihat ke depan. Apalagi, sekarang saya menjadi kepala keluarga bagi dua adik. Prioritas sekarang harus cepat selesai kuliah," kata dia.
Jika di Jepang korban bencana terus dihantui trauma sehingga memicu angka bunuh diri yang dilaporkan meningkat signifikan, sebaliknya, di Indonesia masyarakat cenderung cepat pulih secara mental. Laporan Japan Cabinet Office dan National Police Agency (2012), selama Mei 2011 atau sebulan pasca bencana, angka bunuh diri di Jepang 3.375 atau naik 20 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Data Pemerintah Perfektur Fukushima pada tahun 2016, jumlah korban tewas saat gempa, tsunami, dan kebocoran radiasi di Fukushima 1.828 orang. Adapun jumlah korban meninggal setelah bencana akibat stres dan penurunan kesehatan karena tinggal di pengungsian mencapai 2.013 orang.
Bagaimana menyeimbangkan antara upaya keras memitigasi bencana dan sikap rendah hati menerima alam jika gagal setelah berupaya keras inilah tantangan besar agar ditemukan jalan keluarnya. Maka, penanggulangan bencana di Indonesia tidak bisa teknokratik, dengan melepaskan dimensi sosial dan budaya masyarakat...