Kesiapan sekolah-sekolah inklusi belum merata. Hal ini disebabkan kapasitas para guru yang mendampingi para siswa berkebutuhan khusus masih terbatas.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pencanangan sekolah inklusi bagi kesetaraan pendidikan perlu didukung dengan tenaga pendidik dan fasilitas yang siap dan merata. Hal itu perlu disertai dengan kesamaan pemahaman dan pengetahuan mengenai inklusivitas dan keberagaman siswa di kalangan tenaga pendidik. Namun, kapasitas para guru dalam memahami siswa berkebutuhan khusus belum merata sehingga pendampingan belum optimal.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat SMAN 12 Kota Bekasi, Tri Wahyuni, Senin (5/12/2022), di Kota Bekasi, mengutarakan, pendampingan anak berkebutuhan khusus (ABK) dilakukan guru bimbingan konseling (BK). Tidak ada guru khusus yang lebih jauh mengerti tentang ABK di sekolahnya. ”Pelacakan, konseling, sampai pemberitahuan ke semua guru mata pelajaran terkait adanya ABK dilakukan guru BK,” tambah Tri yang juga guru BK di sekolahnya.
Dalam pendampingan ABK, dia dan guru BK lainnya di sekolah tidak mendapat pelatihan khusus. Hal ini membuat para guru belajar mandiri melalui buku dan media pembelajaran lain. Selain itu, kesulitan mendampingi ABK di sekolah adalah pelacakan, lantaran anak yang diterima baru diketahui statusnya ketika sudah masuk sekolah.
”Kebanyakan orangtua mendaftarkannya melalui jalur afirmasi dengan status tidak mampu. Padahal ada jalur ABK, itu bisa memudahkan kami untuk mendampingi anak sampai dia lulus,” tambah Tri. Setelah ditelusuri, alasan orangtua mendaftarkan karena malu dan tidak enak.
Meski sudah menerima ABK sejak tahun 2019, perbedaan antara murid tidak terasa. Semua murid juga mendukung dan menerima keberadaan ABK di sekolah dengan tidak adanya kelas terpisah pada kegiatan belajar mengajar maupun ujian pada Senin (5/12/2022).
Sementara itu, kesulitan mengikuti pelatihan terkait standar pengajaran bagi ABK tidak dialami para guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri 10 Tambun Selatan, Bekasi. Asisten Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMPN 10 Yoni Kurniawan, mengatakan, para guru sudah mendapatkan pelatihan dengan modul secara daring.
”Kami belajar secara mandiri melalui aplikasi Sistem Informasi Manajemen untuk Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan atau SIMPKB. Sudah ada petunjuk pelaksanaannya di situ,” ujar Yoni.
Untuk ABK di sekolahnya kebanyakan dengan kondisi keterbatasan intelektual seperti sulit membaca. Hal ini diatasi dengan memberikan kelas tambahan membaca di sela mengajar dan istirahat anak di ruang guru. Kelas tambahan ini juga tidak dipungut biaya dan para guru mengajar dengan sukarela.
Kami belajar secara mandiri melalui aplikasi Sistem Informasi Manajemen untuk Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Sudah ada petunjuk pelaksanaannya di situ.
”Selain itu, kami sesuaikan kriteria kelulusan minimal atau KKM-nya. Jika anak biasa didorong untuk menelaah sebuah pelajaran, ABK bisa sampai ke tahap mengerti saja cukup,” tambah Yoni. Harapannya, orangtua ABK lebih berani melaporkan dan berkoordinasi dengan para guru mengenai kondisi anaknya. Selama ini tim guru yang mendampingi ABK baru mengetahui kondisi anak saat sudah masuk sekolah.
Persamaan persepsi
Dosen Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Mohammad Arif Taboer menilai, pandangan tentang sekolah inklusi harus disamakan. Sekolah yang tak terdapat ABK bukan berarti bukan sekolah inklusi.
“Selain ABK, sekolah juga harus fokus pada anak dengan kesulitan belajar yang peringkat di kelasnya paling bawah. Jangan sampai fokus ke satu hal, tapi melupakan yang lainnya. Itulah inklusifitas yaitu menyeluruh,” ujarnya.
Pada hakikatnya guru diajarkan agar bisa menerima keberagaman murid. Anak berkebutuhan khusus, anak dengan kesulitan berpikir, maupun anak dengan gangguan jiwa bisa diterima dengan baik agar ke depan guru khusus hanya mendampingi dan bukan berfokus pada ABK.
”Tujuan sekolah inklusi sebenarnya bagus, tetapi tujuan ke depannya agar ABK dan disabilitas lainnya bisa mandiri serta dianggap setara. Di masa depan, saya berharap dunia tanpa disabilitas sudah tidak ada, dan itu mungkin terjadi jika pendidikan dan pola pikir masyarakat kita sudah berubah,” tambahnya.